Kamis, 02 April 2015

Surat ke-seratus

Diposting oleh Girl in the Rain di 22.16 1 komentar
Tidak semua yang kau baca itu tentangku.

Surat-surat itu adalah saksi bisu seberapa dalamnya perasaanku selama ini...

                Tiga tahun. Lebih dari seperempat dekade. Tiga puluh enam bulan. Dan entah sudah berapa jam, menit, dan detik telah aku habiskan untuk menunggunya; mengaguminya. Dalam waktu itu, banyak kata yang tak tersampaikan untuknya. Seorang yang telah membuatku mematung tanpa mau tahu tentang lini masa.
                Aku tak pernah menghitung sudah berapa banyak surat yang kutulis selama itu, karena aku yakin perkembangan surat-surat itu lebih cepat dari perkembangbiakan nyamuk yang bersarang di kolam-kolam.
                Surat-surat itu berkembang bersama rintik hujan, lirik lagu, sajak puisi, dan kutipan novel. Yang acap kali mengingatkanku pada sosoknya—mengulang kenangan tentang kami yang sering menerobos masuk dan memaksa jemari untuk terus menulis.
                Surat yang terdiri dari sebaris kata hingga berlembar-lembar halaman yang tak pernah sampai pada alamatnya. Bukan karena alamat yang tak lengkap bukan juga karena pos yang tak sampai. Hanya saja selama ini aku tak punya cukup keberanian untuk mengirim sejuta surat itu untuk pemilik nama yang selalu tertera di akhir surat itu.
                Jarak kami tak lebih dari seratus meter; tepatnya dua puluh langkah untuk dapat menjangkaunya. Ruang yang singkat dan tak ada waktu yang memisahkan kami.
---
                Surat pertama tertanggal saat kita saling beradu pandang untuk pertama kalinya. Kali itu aku dilanda cinta buta pada pandangan pertama. Cinta monyet yang terlalu malu untuk mengakuinya.
                Tapi aku yakin itu bukan hanya cinta monyet yang mudah hilang. Dia sempat datang dan pergi dalam kehidupanku. Setahun dia kembali pulang, aku tetap setia menunggunya perasaanku tak berubah malah semakin dahsyat. Saat dia kembali semuanya belum berubah, perasaanku mulai bertambah. Bukankah cinta tumbuh karena terbiasa?

                Surat itu yang menginduki berpuluh-puluh surat yang berserakan di mana-mana. Aku menulis surat itu bukan untuk berbicara padanya aku hanya ingin berbicara pada diriku sendiri. Menceritakan segala hal yang sebenarnya tak bisa kubagi pada siapapun. Merenungkan, menelaah, menafsirkan, dan meminda segala hal yang sebenarnya hanya kumengerti sendiri.
                Terkadang pada suatu titik kulminasi, aku sudah tidak tahan lagi untuk menyimpan semua itu sendirian—terkadang aku ingin mengatakan semua hal yang selama ini hanya dapat kuceritakan pada kertas lewat goresan tinta—dengan sosok asli harapanku.

                Tapi aku tak bisa. Harapanku sebenarnya bukanlah seorang yang pantas untuk diharapkan. Dia tak pernah menginginkanku. Dia tak pernah menyimpanku sedetikpun di hatinya. Tiga tahun kami hanyalah serangkain waktu yang mudah dilupakan, karena aku bukanlah sosok istimewa di matanya.
Dia tak pernah mengatakannya. Tapi aku cukup sadar untuk mengetahuinya dari segala tingkah polah yang dia tunjukkan. Ya. Aku tau kita tidak boleh melihat suatu hal hanya dari satu sisi, tapi aku terlalu takut untuk jatuh karena kenyataan yang sebenarnya tak pernah kuharapkan. Sehingga aku terbiasa menyimpulkan segala sesuatunya dari segi pikiranku sendiri.
---
                Surat-suratku memasuki tahun ketiga. Aku tak pernah lagi membaca ulang surat-surat lampau ku yang menceritakan betapa senangnya perasaan yang selama ini sudah kutanggung.
                Suratku pada tahun ketiga lebih mengarah pada keputus-asaan ku, tentang sikap acuhnya, pengabaian samarnya, dan penghindaran yang selama ini hanya ku lihat secara tak kasatmata.
                Tiga tahun waktu yang cukup lama untuk melihat perkembangan dan pertumbuhan nya di waktu remaja. Aku bisa melihat perbedaan postur tubuhnya yang mulai berubah dari tahun ke tahun, pola berpikirnya yang mencuat jauh dari kali pertama kami bertemu. Dan ku akui dia memang bertambah tampan, tinggi, dan mengagumkan.
Namun buruknya dia mulai berubah. Berubah menjadi sosok lain dari kali pertama kami bertemu; menjadi sosok asing. Dia tak lagi mengenalku tapi aku tetap yakin bahwa aku memang pernah benar-benar mengenalnya.
---
                Dia tak tahu seberapa besar dulu hingga sekarang perasaan yang telah kusimpan untuknya. Dan suatu saat berharap dapat tersampaikan dengan manis. Mendamba perasaan yang terbalas dan akhir yang bahagia.
                Dia tak tahu, bahwa di sini ada aku yang mau menerima dia apa adanya. Tanpa dia harus berubah menjadi orang lain untuk tampak memukau.

                Dan setelah tiga tahun ini aku memutuskan untuk ... BERPISAH. Ya. Aku akan melakukan perpisahan—yang kulakukan sendiri. Perpisahan pada perasaanku sendiri, merelakan perasaanku pergi tanpa balas yang selalu ku damba. Merelakan dia pergi sesuai apa yang dikehendakinya.
                Aku tahu perpisahan sendiri itu lebih sulit dan menyakitkan. Tidak ada yang mengatakan bahwa; cukup hubungan ini berakhir di sini. Atau tangis dan benci yang membuatmu kaku untuk berbalik. Atau malah janji manis yang terucap agar tidak berpaling. Itu semua tidak ada, yang ada hanya keberanian untuk berkomitmen pada diri sendiri; berjanji pada diri sendiri. Dan berani menanggung segala beban perih sendiri. Aku tahu betul sakitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.
Aku tak pernah memaksa bukan? Biar aku yang sakit, hingga perih ini luruh untuk menemukan muaranya. Beradu menjadi satu untuk dapat diikhlaskan.
                Tidak apa untuk sementara waktu aku hidup dengan penyesalan (lagi), mengenang segala yang telah terjadi—mengecap pahit-manis kenangan yang ditakdirkan tak pernah hilang dan mengakhiri seluruh surat ku yang keseratus dengan perpisahan.
“Semoga kau bahagia kelak dengan yang kau harapkan...”

Untuk dia :
Ini surat ku yang ke seratus dan terimakasih telah mengisi hari-hariku selama tiga tahun silam. Banyak kenangan yang telah kau berikan. Kau mampu membuatku  tertawa, mengenalkanku pada kesedihan dan kekecewaan & mengajariku untuk tetap tegar dan terus berdiri menghadapi perasaanku sendiri. Terima kasih. Semoga kita tetap bisa menjadi teman seperti sebelumnya tanpa rasa sakit yang terus menyiksa..


 2012 – 2015



Kamis/02042015

Jumat, 20 Maret 2015

Blinded

Diposting oleh Girl in the Rain di 08.00 0 komentar

  Andai aku tak pura-pura buta sejak dulu pasti semua tidak menjadi seperti ini…

Aku ingat saat pertama kali mengenal laki-laki itu, sosoknya yang baik dan ramah itu mampu melelehkan sikap dinginku. Awal yang canggung, karena aku orang yang sulit berkomunikasi dengan lelaki, tapi senyum dan sapanya yang meluluhkan mampu membiusku menjadi sosok yang utuh.

Waktu terus berlalu. Setahun tak terkira kami saling mengenal, dia banyak tahu tentang aku. Entah kenapa aku bisa mempercainya tentang cerita-cerita yang biasanya hanya kusimpan sendiri. Tapi sejak pertemuan pertama kami aku bisa mendefinisikan bahwa aku mengaguminya, aku suka wajah tampan dan senyum mempesona miliknya aku juga suka tubuh jangkung miliknya. Siapa yang tidak menyukai perawakannya yang begitu mempesona? Banyak kaum perempuan yang mengaguminya, aku tahu itu. Namun sikapnya yang biasa saja--yang tidak sok keren--itu yang membuatnya benar-benar terlihat keren di mataku.

Aku tidak tahu apakah kami memang ditakdirkan untuk bersama. Tahun berikutnya aku masih duduk di depannya seperti tahun kemarin. Dalam selang waktu setahun itu aku lebih mengenalnya, dia sosok yang baik kepadaku.
Aku ingat dia yang sering memotivasi dan memberiku nasehat untuk lebih semangat saat aku down, dia yang sering memujiku saat aku mendapatkan nilai bagus atau atas ide yang tercetus dari otakku. Dia yang sering mengorbankan diri atau lebih tepatnya mengalah hanya untuk memberikan satu hal kepadaku. Aku tidak tahu apakah itu yang membuatku merasakan perasaan yang lain setelah beberapa waktu itu. Dan sejak itu aku rasa aku menyukainya.

Aku sangat senang ketika tiap pagi dia memberi senyum sapa saat aku datang, senang caranya memperlakukanku dan perhatian-perhatiannya. Hingga aku buta—tak mau tau apapun tentang segala hal tentang dia dan orang lain akupun juga mulai tak memikirkan bahwa aku bisa terjatuh dengan terus seperti itu.

 Dia sering memberiku tumpangan saat pulang sekolah. Seperti hari itu, aku hampir hafal gerak-geriknya;  sesaat sebelum bel pulang berbunyi dia akan buru-buru mengemasi barangnya dan setelah bel berbunyi dia bergegas mengenakan tasnya dan mengajakku pulang bersama. Walaupun barang-barangku masih berceceran di mana-mana, tapi dengan sabar dia akan menungguku mengemasinya. Dan sejak rutinitas itu dimulai sepertinya aku salah menafsirkan apa yang terjadi antara aku dan dia.

Aku tak pernah membayangkan jika kemungkinan terburuk itu akan terjadi. Saat itu aku menolak ajakannya untuk pulang bersama karena harus menyelesaikan tugas dari grup jurnalistik.
Saat aku melewati koridor samping lapangan parkir, aku melihat sosok lelaki itu bersama seorang perempuan. Aku mengenal perempuan yang sedang berdiri di depannya itu. Dia teman sekelasku, tempat duduknya tepat di samping lelaki yang selama ini ku kagumi. Mereka tertawa bersama, entah apa yang sedang mereka bicarakan.
Saat melihat itu aku merasa ada batu yang tertahan di tenggorokanku, hingga nafasku terasa sesak. Aku tak pernah melihat dia seperti itu--aku tak pernah melihat dia tertawa lepas seperti itu bersama perempuan. Dan saat itu aku sadar bahwa aku cemburu dengannya, ada rasa kecewa dan marah. Namun tiba-tiba kenyataan menyentakku--aku sadar aku bukan siapa-siapa baginya.

Seminggu setelah kejadian itu aku menghabiskan waktu untuk menyadari kebodohanku selama itu. Aku baru sadar jika sebenarnya lelaki itu memang baik kepada siapapun, dia memang ramah dan sering menebarkan senyum-sapa pada siapa saja yang ia kenal. Sikapnya yang dia tujukan padaku bukanlah hal istimewa karena dia juga melakukan hal yang sama kepada orang lain. Aku salah mengartikan kebaikannya, aku yang salah karena terlalu berharap dengannya.

Karena setelah seminggu dari kejadian itu aku mendapat pukulan pahit; dia—orang yang kusukai berpacaran dengan wanita yang kulihat seminggu lalu.

Dan. Sekarang aku terjatuh. Sendirian. Tenggelam dalam kesalahanku…


14 Maret 2015

Sabtu, 21 Februari 2015

Stuck on You part 5 (END)

Diposting oleh Girl in the Rain di 04.24 0 komentar
Sabtu, tepatnya dua hari setelah kejadian pernyataan perasaan Gabriel pada Shilla. Shilla terpaksa harus izin tidak masuk sekolah. Asma nya kambuh, dia tahu ini pasti karena kelelahan berfikir dan kecapeannya akhir-akhir ini. Memang jika ia terlalu berat memendam pikiran fisiknya tak mau berbohong jika pemiliknya sedang lelah.
                Setelah pergi ke dokter, seharian itu Shilla beristirahat di kamarnya. Sebenarnya ia ingin bersekolah, ia rindu mencuri-curi pandang pada Cakka walau sebenarnya Cakka tak pernah sekalipun menoleh kepadanya. Dan dia cuma bisa berangan-angan tentang bayangnya.

*
                Minggu pagi, kali ini Angel meluangkan waktunya untuk jogging di taman kota. Ia sedang usaha menurunkan berat badan.
                “Tumben di sini? Kayaknya aku jarang lihat kamu jogging di sini.” Kata seseorang yang tiba-tiba duduk di samping Angel. Angel menoleh untuk melihat siapa pemilik suara itu. Cakka.
                “Oh, ini .. lagi pengen aja hehe. Jarang-jarang juga jogging. Kamu sering ke sini?”
Cakka mengangguk. “Rumahku enggak terlalu jauh dari sini.” Lanjutnya. Setelah itu mereka hanya saling diam.

                “Shilla ... gimana sekarang sama Gabriel?” kata Cakka ragu. Wajahnya terpasang ekspresi antisipasi. Sebenarnya selama ini ia selalu memperhatikan Shilla, begitu pula kedekatan Shilla dengan Gabriel. Cakka tau jika mereka sering berangkat dan pulang sekolah bersama, pergi ke kantin bersama. Semuanya dia tahu. Tapi dia tidak tahu apa hubungan mereka sebenarnya. Dia ingin tahu tapi dia tak siap menanggung resikonya.
                “Mereka enggak ada apa-apa.” Jawab Angel kemudian. Cakka terlihat terkejut tapi sorot matanya terlihat mulai tenang. “Shilla ...” suara itu menggantung, Angel terlihat bimbang untuk mengatakannya. Setelah sekali menghela nafas ia akhirnya memutuskan untuk melanjutkannya. “Shilla enggak ada perasaan apa-apa sama kak Gabriel. Shilla udah nganggeb kak Gabriel itu sebagai kakak kandung dia sendiri.” Angel diam sesaat. “Aku enggak tahu apa hak aku ngomomg gini tapi cuma satu tujuan ku; aku pengen bantuin Shilla. Denger aku Kka..” kata Angel dengan menatap Cakka menandakan kesuhguhan apa yang akan dia ucapkan.
                “Shilla itu sukanya sama kamu.” Cakka tak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya. Ia dengan spontan menoleh ke arah Angel. “Aku enggak tau, kenapa Shilla sebodoh itu. Kenapa dia dulu malah ngehindarin kamu dan milih ngehindarin gosipan anak-anak tentang kalian--sampai akhirnya dia sendiri yang menyesal.” Cakka tergugu, ia baru sadar jika ternyata kedekatan mereka dulu bisa membuat Shilla tersiksa seperti itu dan lebih lagi malah dia yang meninggalkan Shilla sendiri menghadapi itu semua.
                “Sekarang Shilla di mana? Kayaknya kemarin aku lihat dia enggak masuk.” Tanya Cakka kemudian. “Dia sakit. Tapi kayaknya hari ini dia udah baikan deh, soalnya tadi pagi dia bilang sama aku kalo pengen ikut jogging di taman kota.” Jawab Angel.
                “Yaudah Ngel, makasih banget karena kamu udah kasih tau semua jawaban yang selama ini jadi teka-teki di otakku.” Ucap Cakka kemudian. Angel mengangguk “Aku juga seneng asal kalian bahagia, enggak saling diem-dieman gitu.” Cakka tersenyum, ia benar-benar berterimakasih akan semua itu.

**
                Jam delapan malam, bel rumah Shilla berbunyi. Mama Shilla segera membukakan pintu dan mempersilahkan tamunya masuk. Tak berapa lama, pintu kamar Shilla diketuk.
                “Dicari Cakka, Shill. Kamu turun apa Cakka aja yang naik ke sini?” tanya mamanya. Shilla sedikit terkejut.

Ada apa tiba-tiba Cakka ke sini? Pikirnya saat dia menuruni tangga untuk menghampiri Cakka. Dia tidak bisa menebak-nebak maksud dan tujuan Cakka kemari, bukankah kemarin-kemarin Cakka masih sama; masih tetap menghindarinya—menganggabnya sebagai orang asing.
                Sesampainya di ruang tamu Shilla segera duduk, dia hanya diam karena merasa canggung dengan Cakka. “Kamu udah baikan?” tanya Cakka kemudian untuk memecah keheningan di antara mereka. Shilla mengangguk.
                “Aku mau ajak kamu ke suatu tempat.” kata Cakka. “Kemana?” jawab Shilla mulai biasa.
                “Nanti kamu juga tau. Tapi ... kamu udah bener-bener sembuhkan?” tanya Cakka dengan nada khawatir. Shilla mengangguk. Cakka malah beranjak berdiri dari kursinya menghampiri Shilla dan tiba-tiba saja menyentuh dahinya. Shilla yang merasakan sengatan tiba-tiba itu terkejut yang terlihat dari sorot matanya.
                Setelah Cakka memastikan bahwa Shilla memang benar dalam kondisi sehat dia mengangguk-angguk sendiri. “Yaudah kita berangkat sekarang. Kamu izin mama kamu dulu gih.” Lanjutnya.
                “Aku ... enggak perlu ganti baju dulu?”
                “Enggak usah, yang penting kamu pake jaket yang tebel.” Shilla mengangguk dan segera pergi ke kamarnya untuk mengambil jaket dan meminta izin mamanya.

                “Ma, aku mau keluar sebentar sama Cakka.” Izin Shilla kepada mamanya. Mamanya tersenyum. “Iya boleh, pulangnya jangan malem-malem, bawa inhaler kamu; buat jaga-jaga.” Shilla mengangguk dan memeluk mamanya tanda terima kasih.

                “Titip Shilla ya Kka, jangan pulang malem-malem.” Kata tante Wiwid; mamanya Shilla kepada Cakka saat beliau mengantar mereka menuju mobil. “Iya, tante. Saya bakal jaga Shilla kok.” Jawab Cakkka mantap.

*
               
                Setengah jam kemudian mereka tiba di tempat tujuan. Daerah ini agak jauh dari perkotaan. Ada taman dan lapangan yang biasanya di gunakan untuk olahraga dan bersantai oleh pengunjung. Shilla pernah mengunjungi tempat ini tapi tak pada malam hari seperti ini. Dia tidak tahu apa maksud Cakka membawanya ke tempat ini.
                “Ayo Shill, kita belum sampai.” Kata Cakka. Kemudian Shilla mengikuti Cakka dan berjalan di sampingnya. Mereka menaiki tangga yang tak jauh dari lapangan, berjalan menanjak menuju tempat yang seperti bukit jika dilihat dari bawah.
                Setelah tiba, Shilla terkagum-kagum terhadap apa yang dilihatnya dari atas sini dia dapat melihat kerlipan lampu jalanan dan lampu rumah-rumah yang berada di bawah sana. Sedangkan jika ia menengadah ke atas dia dapat melihat ribuan kerlip bintang yang bersinar. Cakka tersenyum melihat wajah Shilla. “Kamu suka tempat ini?” tanya Cakka kemudian. Shilla mengangguk senang. “Kok kamu tahu tempat kayak gini sih? Aku bahkan yang pernah ke taman di bawah sana enggak pernah tahu kalau malam, di sini ada tempat yang seindah ini.” Jawab Shilla.
                “Dulu aku sering ke sini sama anak-anak basket.” Jawab Cakka yang kemudian mengajak Shilla duduk di salah satu kursi yang menghadap lampu-lampu perkotaan.

                “Ini indah banget Kka. Makasih udah mau ajak aku ke sini, aku emang suka lihat bintang. Coba aja malam ini ada bintang jatuh kita bisa buat permohonan.” Ucap Shilla.
                “Apa permohonan yang kamu minta?” tanya Cakka penasaran. Shilla hanya memandang bintang di langit itu sambil tersenyum. “mm.. rahasia.” Jawab Shilla kemudian.
                Cakka ikut tersenyum dan mengikuti Shilla memandang langit. “Aku juga akan membuat permohonan.” Shilla menoleh ke arah Cakka, penasaran apa permohonan Cakka. “Apa yang kamu minta?” tanya Shilla.
                Cakka diam cukup lama dan Shilla pun tak mendesak atas jawaban itu, pertanyaan itu dibiarkannya menggantung beberapa saat. “Aku pengen kamu enggak ngehindarin aku lagi dan aku pengen kamu tetep di sampingku apapun yang terjadi.” Kata Cakka, yang sontak berhasil membuat Shilla terkejut.
                Cakka menolehkan wajahnya ke arah Shilla yang otomatis membuat mereka saling berhadapan. Mata mereka saling beradu. “Shill, apa kamu suka sama aku?” tanya Cakka kemudian. Shilla kembali terkejut, dia tak mampu berkata apa-apa lagi. Jantungnya mulai terpompa lebih cepat segala sesuatu di sekitarnya menjadi semakin kental, hingga rasanya ia susah untuk bernafas.
                Cakka masih menanti jawaban dari Shilla, sekalipun itu hanyalah anggukan atau gelengan. Ia ingin mendengar dari Shilla sendiri. Tapi tak ada reaksi apapun yang ditunjukkan Shilla. “Kalau kamu enggak bisa bilang kata-kata itu, aku yang akan bilang sama kamu.” Kata Cakka kemudian.
                “Aku suka sama kamu Shill.” Cakka diam sejenak. “Sebenernya aku udah suka kamu sejak pertama kali lihat kamu di SMA. Tapi, waktu kita sempet deket dulu, kamu seperti jaga jarak sama aku.” Ungkap Cakka. Shilla masih bergeming mulutnya sedikit membuka sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu tapi ditahannya.
                “Selama kedekatan kita dulu aku udah coba untuk nunjukin ke kamu perasaanku. Aku pengen ngungkapin perasaan ku, tapi sebelum aku sempat bilang, kamu malah ngejauh dari hadapanku.” Lanjut Cakka. Shilla mulai membuka mulutnya, mengatakan kata-kata yang sempat tertahan tadi, “Tapi kenapa kamu nyuekin aku terus? Seakan-akan aku orang asing di matamu.”
                “Aku enggak bermaksud jadiin kamu orang asing. Aku cuma coba ngertiin sikap kamu; yang kayaknya enggak nyaman kalau sama aku.” Cakka terdiam. “Dan waktu kamu sempet deket sama Gabriel aku kira hubungan kalian udah serius. Jadi aku coba untuk menghapus kamu dari pikiranku, tapi sebenernya aku enggak bisa.” lanjutnya.
                Cukup lama mereka terdiam dan suasana masih menggantung. Shilla hanya diam berkelana dengan pikirannya sendiri, mencari jalan keluar akan perasaannya. “Apa kamu tahu? Saat kamu tiba-tiba ngehindarin aku, aku mulai sadar kalau aku juga kehilangan setengah dari jiwaku. Karena aku baru sadar, ternyata aku suka sama kamu.” Shilla berhenti sesaat untuk mengambil nafas. “Aku selalu enggak bisa berhenti mikirin kamu. Aku kangen chatting bareng sama kamu. Aku kangen semua itu hingga rasanya aku pengen putar waktu untuk bareng sama kamu lagi aku pengen memperbaiki semua kesalahanku waktu dulu—karena udah ngehindarin kamu.”
                Cakka kemudian menggenggam erat kedua tangan Shilla, ingin menyampaikan segenap perasaannya. “Maafin aku, atas semuanya Shill. Kita bisa bersama lagi. Kita enggak perlu dengerin apa kata mereka tentang kita, karena ini semua tentang kita berdua bukan tentang apa yang mereka inginkan.” Ucap Cakka. Shilla mengangguk tanda mengerti.
                “Kamu enggak perlu takut sama apa yang mereka katakan tentang kita—tentang aku dan kamu. Karena akan selalu ada aku di sampingmu.” Kata Cakka menenangkan Shilla. “Aku tahu Ka. Makasih, karena udah mau bilang semua kejujuran itu. Aku seneng akhirnya bisa berakhir seperti ini.” Jawab Shilla.
                “Iya. Kamu juga harus percaya sama aku, because I love you no matter what people say about us.” Ucap Cakka dan kembali mempererat genggaman tangannya pada Shilla.
“Aku tau Cakka. I love you, too.
Semuanya menjadi indah; langit malam itu menjadi semakin cantik, dingin tubuh yang menjalari tubuh Shilla tak dirasakannya lagi. Hangat genggaman tangan Cakka telah mampu merambat ke hatinya dan membuat seluruh tubuhnya menjadi hangat kembali menggantikan mendung yang selama ini menggantung di hari-harinya. Karena seorang yang dicintainya telah kembali di sampingnya. Berjanji menjaganya.

25 Januari 2015

Stuck on You part 4

Diposting oleh Girl in the Rain di 04.10 0 komentar
POV Orang Ketiga

                Pukul setengah delapan Shilla sudah siap dengan pakain yang dia pikir tepat untuk dinner santai maupun formal.
                Otaknya penuh sesak dengan pertanyaan apa sebenarnya yang diinginkan Cakka, kenapa dia menjadi berbeda? Apa dia terlalu berlebihan menghindarinya?
                Bel rumah berbunyi dan sepertinya mamanya telah membukakan pintu. “Shill, udah ditunggu Cakka.” Kata mama Shilla sambil mengetuk pintu kamar putrinya. Shilla tak menjawab tapi sebagai gantinya dia segera keluar dari kamar dan berjalan turun menuju ruang tamu.

                “Langsung aja ya? Nanti keburu kemalaman.” Kata Cakka saat Shilla menghampirinya. Shilla membalasnya dengan mengangguk.
                Cakka membukakan pintu untuk Shilla dan segera duduk di kursi kemudi. Di perjalanan tak satupun yang angkat bicara mereka berdua asik bergeming dengan pikiran masing-masing, suasana canggung ini sangat kental. Hingga rasanya udara di sekitar mereka dapat diiris dengan pisau.
                Shilla tak tau kemana ia akan dibawa, mereka sudah melewati perkotaan tapi tak satupun restoran atau warung yang dimasukinya, namun setelah taman kota mobil itu melaju masuk ke dalam salah satu kompleks. Shilla tak berani bertanya apapun pada Cakka, karena Cakka sejak tadi seperti terlihat enggan dengannya.
               
                Setelah tak berapa lama memasuki kompleks itu, mobil itu berhenti di salah satu halaman rumah. Cakka mendahului turun dan segera membukakan pintu untuk Shilla. “Maaf aku enggak bilang kamu dulu. Hari ini mama aku ulang tahun, kita makan malam di rumahku kamu gapapa kan?” tanyanya kemudian. Shilla mengangguk dan tersenyum, tentu saja itu tidak apa-apa sudah lama Shilla tidak bertemu dengan Tante Ida , mama Cakka itu adalah seorang ibu yang baik beliau juga salah satu teman dekat mamanya.
                “Selamat Ulang Tahun tante.” Ucap Shilla sambil memeluk Tante Ida saat beliau menyambutnya di ruang tamu. “Ya ampun, ini Shilla? Udah tinggi banget ya sekarang, tambah cantik lagi.” Jawab mama Cakka. “Ah.. bisa aja tante.” Jawab Shilla sambil tersenyum. “Cakka sering cerita tentang kamu lho Shill, emang bener ya sekarang kamu jadi cantik banget.” Ucap beliau. Shilla sedikit tersipu saat mendengar ternyata Cakka sering menceritakannya kepada Tante Ida
                Mereka bertiga kemudian menuju ruang makan, di sana sudah tersaji beberapa makanan, yang ternyata dimasak sendiri oleh Tante Ida.
                “Makasih ya Shilla, udah mau dateng ke sini. Tante seneng banget ada temennya ngobrol sesama cewek, di keluarga ini kan tante yang cantik sendiri.” Ucap Tante Ida diiringi tawa setelah mereka selesai makan.
                “Hehe iya tante, saya juga seneng kok bisa kumpul-kumpul lagi. Omong-omong Om Gub kemana tante?”
                “Oh papanya Cakka hari ini baru ada tugas di luar kota, jadi dia enggak bisa ikut ngerayain ulang tahun tante.” Kemudian mereka asik melanjutkan obrolan mereka.

***
                Pagi hari kemudian, semua berjalan seperti biasa, hanya saja ada yang terasa asing dan mengganjal; sikap Cakka. Dia begitu berbeda setelah makan malam semalam, dia seperti orang yang sama sekali tak mengenal Shilla. Cakka tak pernah lagi mencoba untuk mengajaknya makan di kantin seperti biasa, tak pernah menawarinya untuk pulang bersama, tak pernah duduk di kursi Angel saat Angel latihan paduan suara. Semua menjadi aneh, walaupun hanya Cakka yang berubah tapi bagi Shilla semuanya yang berubah. Apa dia mulai terbiasa oleh Cakka? Ia tak mengerti tapi rasanya ia tak rela jika semuanya tiba-tiba berubah.

                Semua itu tak hanya terjadi satu hari maupun dua hari, semua itu sudah berlangsung selama seminggu. Shilla seperti kehilangan setengah dari jiwanya. Waktunya banyak ia habiskan untuk melamun, Angel hingga bosan sendiri jika Shilla mulai tidak konsentrasi jika diajak bicara.
                “Kamu ada apa sih Shill? Akhir-akhir ini nyawa kamu itu kayak enggak pada tempatnya, kamu sering ngelamun.” Tanya Angel.
                “Emm.. enggak kok. Emang aku ngelamun terus ya?” hanya jawaban bodoh itu yang dia katakan pada Angel. “Iya. Kalau ada masalah kamu kan bisa cerita sama aku, jangan dipendem sendiri gitu.” Shilla diam sejenak menimang-nimang.
                “Ngel, gimana perasaan kamu, kalau orang yang kamu suka tiba-tiba ngehindari kamu? Dan setelah kamu pikir-pikir ternyata dia ngehindar dari kamu juga karena kesalahan mu?” kata Shilla kemudian.
                Angel diam sejenak, sepertinya ia mengerti maksud dari ucapan Shilla. Dia tahu orang yang Shilla maksud adalah Cakka. “Aku pasti akan merasa frustasi, dan nyalahin diri aku sendiri.” Jawabnya kemudian.
                “Terus kamu bakal ngapain?” Angel diam sebentar--berpikir. “Aku enggak tau, mungkin aku akan milih diam aja tenggelam dalam rasa bersalah atau .. mungkin aku bakalan menyatakan perasaan ku pada orang tersebut.” Shilla diam, wajahnya terlihat gamang. Diam saja dalam rasa bersalah.. sepertinya itu yang sedang ia lakukan sekarang. Apa ia harus menyatakan perasaannya pada Cakka? Tapi itu sungguh tak mungkin, ia tak punya keberanian untuk melakukan itu.
                “Makasih Ngel. Udah mau dengerin curhatanku.” Kata Shilla setelah otaknya tenang, setidaknya ia sudah merasa lega karena telah mengatakan beban pikirannya pada orang lain.

*
                Waktu terus berjalan, Shilla masih dengan keputusan diamnya dan perlahan-lahan mencoba untuk ikhlas dengan apa yang telah terjadi. Cakka tak berubah dia masih menjadi sosok asing bagi Shilla ia tak pernah lagi mengirimi pesan maupun berbicara panjang padanya. Tapi perasaan hampa itu masih saja bergelantung di sisi hati Shilla.
                “Shill dicariin kak Gabriel tu.” Kata Angel saat Shilla asik memainkan ponselnya. Shilla sontak tersenyum mendengar nama itu disebut. Gabriel adalah kakak kelas Shilla dan sekaligus tetangganya. Mereka sudah sejak kecil berteman baik, mereka selalu masuk di SD, SMP, dan sekarangpun mereka di SMA yang sama. Sebenarnya umur mereka sama hanya saja Gabriel lebih cepat setahun saat masuk SD, sehingga Shilla tak memanggilnya Kak karena sejak kecil Gabriel sendiri yang ngotot enggak mau dipanggil kakak oleh Shilla.
                “Ke kantin yuk Shill.” Ajak Gabriel ketika Shilla menghampirinya di depan kelas. Shilla membalasnya dengan mengangguk dan tersenyum.
                Orang yang tak tau jika ternyata Shilla dan Gabriel adalah teman sejak kecil pasti sudah mengira jika mereka adalah sepasang kekasih. Kenapa tidak? Beberapa hari ini mereka menjadi semakin dekat. Mereka sering berangkat dan pulang sekolah bersama maupun ke kantin bersama.

**
                “Shill, sebenernya kamu ada apa sih sama kak Gabriel? Kayaknya kalian lengket banget sekarang.” Tanya Angel saat mereka pulang. Shilla yang mendengarnya seperti menahan tawa, ia geli sendiri menebak-nebak apa yang sedang dipikirkan oleh Angel.
“Kamu pikir aku ada apa sama Gabriel? Jangan aneh-aneh deh, dia kan temen kecilku, aku itu udah nganggeb Gabriel kayak kakak kandung aku sendiri.” Hanya hening Angel terlihat tidak percaya dengan jawaban yang didengarnya.
                “Beneran? Tapi kalo aku lihat, kak Gabriel mandang kamu itu enggak cuma sebagai adek kecilnya atau temen masa kecilnya. Dia itu mandang kamu sebagai cewek; sebagai orang yang ia sukai.” jawaban mengejutkan itu membuat Shilla berpikir lebih panjang.
“Shill, tapi kalo emang bener tebakanku ini; kalau kak Gabriel emang beneran suka sama kamu dan kamu sama sekali enggak punya perasaan sama kak Gabriek, sebaiknya kamu jangan ngasih harapan yang berlebihan deh sama kak Gabriel, kasihan dianya.” lanjut Angel kemudian.
“Iya Ngel aku tahu kok.” Jawab Shilla kemudian. Ia mulai sadar sepertinya ia tak terlalu peka terhadap perubahan Gabriel, sebenarnya memang terlihat perubahan pada sikap Gabriel akhir-akhir ini dia lebih dewasa jika dengannya. Sepertinya hatinya tidak bisa membaca akan tanda-tanda itu; hatinya sudah dibutakan oleh satu nama itu; Cakka, hingga ia tak melihat apapun lagi di hati dan di matanya.

**
Seminggu kemudian, masih saja Shilla terpikirkan oleh Cakka. Ia rindu saat mereka berkirim pesan, saat mereka pulang bersama. Bagaimanapun melupakan sesuatu yang sudah mulai melekat bukanlah hal yang mudah. Tak sadar ia mulai menghela nafas berat yang sudah ke sekian kali  dilakukannya.
“Kamu ada apa sih Shill? Kayaknya ada yang dipikirin gitu.” tanya Gabriel yang sadar akan tingkah Shilla, saat mereka pulang bersama waktu itu. Shilla tersadar akan lamunannya, lalu menggeleng untuk memberi jawaban.
“Enggak kok Iel, Cuma banyak tugas aja. Bingung nanti mau mulai ngerjain dari mana.” Kata Shilla berbohong untuk menutupi gejolak hatinya. “Aku bantuin gimana? Gini-gini aku juga bisa kok ngerjain tugas kelas sebelas.” Ucapnya sambil tersenyum manis pada Shilla.
Shilla menggeleng lagi dengan tersenyum. “Enggak usah, aku bisa sendiri kok. Kamu kan udah mau Ujian Akhir.” Gabriel hanya tersenyum mengalah.

Sore itu sepulang sekolah mereka mampir makan siang dulu di salah satu restoran. Sebenarnya ini tidak asing, karena mereka sudah kerap sekali melakukan rutinitas ini.
“Shill, aku mau bilang sesuatu sama kamu.” Kata Gabriel ketika mereka sudah selesai makan dengan ekspresi serius. Seketika suasana diantara mereka menjadi sedikit canggung. Shilla terlihat seperti sedikit berantisipasi, sepertinya ia mengerti apa yang akan terjadi.
“Mm.. aku pengen ngaku sama kamu.” Gabriel diam sesaat sepertinya ia sedang mengumpulkan keberaniannya. Setelah berdehem sekali lalu dia melanjutkan. “Shill, sebenernya aku suka sama kamu.” Wajahnya terlihat tegang ketika kata-kata itu berhasil keluar dari mulutnya.
Shilla hanya bergeming, suasana diantara mereka semakin canggung, mereka berdua diam menggantung. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing dan bersiap mengantisipasi apapun yang akan terjadi.
“Maaf .. tapi aku enggak bisa nerima perasaan kamu.” jawab Shilla kemudian. Raut wajah Gabriel terlihat kaget. “Bukan karena aku enggak suka kamu. Aku suka kamu, aku sayang kamu tapi sebagai kakak. Aku udah nganggeb kamu itu sebagai kakak kandung aku.”
Shilla diam sesaat menerawang dan menarik nafas. “Hubungan itu enggak akan berjalan baik, jika kedua pihak tak saling suka kan?” Katanya kemudian. Gabriel menghela nafas kemudian mengangguk tanda mengerti.
“Sekali lagi aku minta maaf ya Iel.” Bersambung

Senin, 26 Januari 2015

Berbalik Menjauh

Diposting oleh Girl in the Rain di 19.56 0 komentar
Tak semua yang kau baca itu tentang aku.~

                Pertemuan ini resmi dimulai, sebenarnya tak ada aba-aba resmi untuk pertemuan mingguan ini. Kami berempat duduk di meja ini dengan segelas minuman yang kami pesan masing-masing, dan selanjutnya akan kami hadapi selama berjam-jam yang akan datang sambil mengobrol.
                Pertemuan ini dihadiri oleh empat orang terhitung denganku, seorang perempuan teman dekatku, seorang laki-laki yang selalu berpikir bahwa dirinya keren, dan seorang lagi laki-laki yang berperawakan misterius yang selalu menjadi magnetku. Sebenarnya aku tak terlalu mengambil bagian dalam pertemuan ini, aku lebih banyak diam dan terkadang ikut tertawa ketika mereka membicarakan hal lucu; aku layaknya hanya sebagai aksesoris.

                Aku ingat saat pertama kali bertemu dengan mereka, saat itu temanku bilang bahwa dia akan menemui seorang yang sangat penting bagi hidupnya. Dia yang mengenalkanku dengannya, tanpa dia tahu bahwa diam-diam sebenarnya aku mulai mendekap bayangnya.
                Kesan pertama, saat aku melihatnya; dia menarik, misterius, pintar, dan wawasannya luas. Dia.. sempurna, setidaknya di mataku. Aku tak sadar jika sejak itu aku mulai mengaguminya dan candu akan dirinya.

                Setengah jam pertemuan ini sudah berlangsung aku masih asik dengan diamku dan sesekali mencerna kata-kata yang mereka bicarakan, sebenarnya dalam pertemuan ini yang banyak bicara hanya teman perempuanku dan pria sok keren itu. Dia lebih banyak diam, mengangguk, tersenyum, dan sesekali menimpali jika ada sesuatu yang menarik hatinya. Jangan tertawa, tapi memang aku hampir hapal dengan gerak-geriknya. Itulah alasanku di sini setelah pertemuan pertama kami, untuk melihat wajahnya, mendengar suaranya, dan merekam gerak-geriknya untuk dijadikan bingkisan terindah di malam menuju mimpi.
                Aku tahu, teman perempuanku juga sedang menyukainya. Walau sebenarnya aku tak pernah mendengar dari mulutnya sendiri. Tapi aku cukup sadar untuk membaca gerak-gerik, perhatian, dan caranya memandang laki-laki itu. Aku tahu benar.
                Lihat sekarang malah aku yang kecanduan akan laki-laki itu. Dia yang indah, mengagumkam, dan pintar. Dan inilah masalahnya dia terlalu jauh dariku hingga aku terlalu sulit untuk merengkuhnya. Hanya bayangnya yang dapat ku gapai tanpa jiwa maupun raga, semakin aku mencoba untuk berlari padanya hanya luka yang kudapat, aku lelah dan frustasi dengan diriku sendiri.
                Kadang aku berpikir kenapa aku menjadi seorang yang seperti ini? Terlalu pendiam, sukar berhubungan dengan orang lain. Sometimes I am being hating  myself! Kenapa aku tak bisa berubah normal seperti orang lain, walaupun sebenarnya aku mampu. Aku ingin menjadi orang yang biasa-biasa saja yang dapat diterima orang lain, yang dapat diterima olehnya.
                Tapi sebenarnya dia tak pernah melihatku seperti orang-orang lain yang menganggabku aneh. Dia biasa saja, dia tersenyum, berbicara, dan memandang ku seperti orang lain. Sudah ku bilangkan dia mengagumkan?
                Tak seperti pria sok keren yang duduk disebelahnya, yang sebenarnya dalam pertemuan-pertemuan kami hanya dia yang mengambil alih pembicaraan dengan hal-hal yang dia ucapkan secara berlebihan, aku akui dia memang tau tentang ini-itu, tapi kata-kata yang dikeluarkannya terlalu pahit untuk ditelan mentah-mentah. Terlalu tajam lidahnya untuk berbicara. Mungkin hatinya juga mati rasa, karena terkadang dia tak hirau jika kata-katanya melukai hati orang lain.

                Satu jam pembicaraan ini mengalir seperti biasanya, aku tak terlalu menanggapi apa yang mereka bicarakan walau sebenarnya ada beberapa hal yang lebih aku tahu tentang  topik pembicaraan mereka. Aku terlalu takut untuk mengeluarkan suara.

                Dia. Seorang yang misterius itu adalah fokusku setelah satu jam itu. Aku tak luput untuk memandang senyum manisnya yang membuat wajah misterius itu menjadi imut seperti anak kecil. Merekam setiap jengkal wajahnya yang selalu ku sukai, dagunya yang selalu menjadi fokus tersendiri, dan untuk menggenggamnya erat, membekukannya dalam hati sebagai kenangan terindah.
 Aku hanya ingin merekam suara, senyum, dan gerak-geriknya untuk terakhir kali. Dan berjanji tidak akan menemuinya lagi, setelah ini. Untuk menyimpan perasaan ini sendiri, aku tahu menghindarinya akan sulit. Tapi tak apa aku akan melakukannya, karena aku sadar persahabatanku lebih penting, karena aku sadar dia terlalu jauuh untuh ku raih. Dan aku memilih untuk MUNDUR...

20 Januari 2015  

Aku Menyerah

Diposting oleh Girl in the Rain di 04.37 0 komentar
             
 Aku terbangun masih dengan bayangan itu di sampingku. Dia tak hanya di mimpiku dan aku mulai menyadari itu.
Dia adalah bayangan yang ku gores sedikit demi sedikit oleh ilusi ku sendiri, bayangan yang terlalu sering di gambar hingga membekas dan berlekuk membentuk serupa pemilikya.
                Bayangan yang hingga kini tak lelah mempermainkanku dan tak lelah memaksaku bermimpi tentangnya hingga imajinasi ku penuh dengan bayangan semu itu.
Aku tak pernah tau benar pemilik bayangan itu, aku hanya memiliki bayangannya tanpa jiwa maupun raganya. Aku hanya merasakan dingin tubuh dari bayangan itu tanpa ku tahu pasti seberapa hangat tubuh pemilik bayangan itu.
Bayangan yang tak sengaja kuciptakan dua tahun yang lalu. Yang hanya kubutuhkan untuk melarikan diri. Hingga aku tak sadar bayangan itu mulai menetap di dasar hatiku, tanpa ku prediksi sebelumnya.
Dan aku sadar pemilik bayangan itu tak pernah sekalipun menengokku yang telah lama menyimpan bayangan miliknya. Aku sendiri di sini; tanpa siapapun dan lelah bermain dengan fantasiku sendiri.

Waktu terus berjalan, hingga bayangan itu tanpa kuduga telah mengacaukan segalanya, dia mempermainkanku. Aku lelah berkejar-kejaran dengannya. Aku lelah dipermainkan oleh mimpiku sendiri. Aku lelah ilusiku menguasai segalanya.
Bayangan itu semakin lama seperti pemiliknya. Dia mulai menghindariku, semakin aku melangkah maju untuk mengejarnya dia selalu berhasil untuk berlari menjauh. Tapi seberapa jauh aku menghindar, bayangan itu selalu ada di depan mataku. Bayangan itu tak mau hilang.
Sakit. Aku frutasi dan bingung dengan diriku sendiri. Aku terkapar oleh permainan yang kubuat sendiri. Aku lelah hingga rasanya aku habis daya untuk mengahadapi bayangan itu.
Dia magnet yang terlalu kuat. Memang aku yang salah, karena dulu telah membuatnya seperti itu. Aku yang membuat diriku sendiri selalu tertarik olehnya, aku memang bodoh! Aku yang salah, pemilik bayangan itu tak sedikitpun pantas untus disalahkan.
Aku tak bisa berjalan mundur, karena bayangan itu selalu berhasil menarikku untuk maju, seakan memberikan harapan-harapan semu. Bayangan itu terlalu liar hingga aku tak bisa mengendalikannya sendiri. Aku lelah sungguh. Aku hanya ingin menyerah.
Aku hanya ingin menutup mata, agar bayangan itu tak terlihat lagi di mataku. Aku hanya ingin berjalan mundur, agar bayangan itu dapat diam di tempat. Aku hanya ingin melupakan bayangan itu dan pemiliknya agar aku tak tersiksa lagi.
Aku menyerah...


22 Januari 2015

Kamis, 22 Januari 2015

Garis Waktu (2)

Diposting oleh Girl in the Rain di 05.09 0 komentar
“Kamu seharusnya enggak jadi pengecut seperti ini Yo!” ucapnya akhirnya dapat mengeluarkan emosi yang siap merambat ke ubun-ubunnya.
“Peduli apa kamu sama apa yang aku lakukan?! Tidak ada orang yang peduli denganku enggak juga kamu maupun mamaku. Sekalipun kamu satu-satunya anak di sekolah yang kuberi tahu kemampuanku.” Ucapnya kemudian bergegas pergi dengan memberesi barang-barangnya dengan kasar dan segera pamit pada mamanya Dira untuk segera pulang.
Dira hanya menarik nafas panjang, dia tidak peduli apa yang telah dia katakan sebelumnya. Ia merasa lega telah menyampaikan beban hatinya pada Rio. Dia melihat kertas hasil kerja Rio, ternyata semua soal telah dikerjakannya dengan rapi dan jelas sampai nomor terakhir. Sungguh tidak mencerminkan ciri-ciri Rio selama ini. Kenapa ia lebih memilih memakai topeng buruknya itu?

Esoknya di sekolah. Rio bersikap biasa saja kepada Dira. Sejam pelajaran pertama ia habiskan seperti biasa untuk tidur. Jam kedua adalah pelajaran matematika tak disangka Pak Duta mengadakan ulangan dadakan. Rio dengan santai tapi pasti mengerjakan tugas-tugas itu, dia mulai tersulut dengan ucapan Dira kemarin, ia bertekad untuk membuktikan pada Dira bahwa dia bukanlah seorang yang pengecut.
Sedangkan Dira ia sedikit kewalahan, namun dengan pasti dapat menemukan semua jawaban dari soal-soal yang diberikan Pak Duta. Sebenarnya ia kemarin mempelajari pekerjakan Rio yang lebih mudah untuk dipahami daripada buku modulnya yang serasa belibet.
Setelah semua lembar ulangan dikumpulkan tiba-tiba Rio berkata pada Dira. “Aku akan buktiin sama kamu bahwa aku bukan pengecut.” Lalu dia tersenyum puas kepada Dira. Dira hanya menatapnya bingung, namun samar ia tersenyum.

Seminggu ini, semua berjalan lebih baik. Nilai-nilai Rio mulai mengalami peningkatan. Hubungan Dira dengan Rio juga semakin membaik. Mereka malah sering pulang bersama. Terkecuali sore ini, kali ini Dira berjalan sendiri menuju lapangan parkir karena Rio baru saja dipanggil oleh Bu Juni.
Saat Dira melewati koridor kelas yang sepi, tiba-tiba ada tiga cowok yang menghadanganya.
“Dira, aku anter pulang yuk?” ucap salah satu dari mereka. Dira hanya diam jantungnya mulai berdegub kencang, dia mulai ketakutan. “Ayolah Dir, aku anak baik-baik kok.” Tanpa dia ngomong kayak gitupun Dira sudah tau kalau anak itu adalah salah satu berandalan di sekolah ini. Sebelum Dira ingin melarikan diri, tiba-tiba ada seseorang yang menarik pergelangan tangannya dan menempatkannya di belakang tubuhnya.
“Jangan gangguin dia!” teriaknya pada tiga cowok-cowok itu. “Oh.. jadi sekarang kamu udah jadi anak baik-baik ya, Yo. Dan kamu pikir kamu lebih berhak untuk deketin Dira?” ucap salah satu dari mereka yang tadinya menggoda Dira. “Itu bukan masalahnya. Aku enggak mau kalian nganggep Dira buat maen-maen.”
“Oh.. jadi sekarang kamu mau jadi pahlawan? Yaudah kita tanding satu lawan satu buat buktiin kalau kamu pantes jadi pahlawan.”
Emosi Rio tersulut, dia sudah menahan kepalan tinjunya yang siap melayang ke wajah cowok itu. Saat musuhnya itu mulai menonjok perutnya, kesabaran Rio sudah tak bisa dibendung lagi. Dia menghabisi musuhnya itu hingga babak belur. Dira tertegun ketakutan, bingung harus melerai bagaimana. Pertarungan itu baru berhenti setelah Bu Juni datang melerai mereka dan membawa mereka menuju ruang BP.

Paginya, Dira berangakat sendiri untuk menuju sekolah. Sepertinya Rio mendapat skorsing akibat perkelahiannya dengan cowok itu kemarin. Saat jam pelajaran matematika, hasil ulangan mereka dibagikan Dira tidak menyangka jika ia dapat meraih nilai yang bagus seperti ini sekalipun nilai itu tak sempurna 90 nilai yang didapatkannya.
“Kali ini ada yang mendapatkan nilai sempurna yaitu 100 satu anak, dia banyak berubah akhir-akhir ini. Dan bapak sangat bersyukur tentang itu. Karena anak ini kali ini sedang tidak masuk, hasil ulangnnya akan Bapak titipkan pada teman sebangkunya. Ini Dira, berikan pada Rio ketika dia sudah masuk.” Ucap Pak Duta.
Dira mengambil hasil ulangan itu dan menatap kertas itu dengan kagum. Dia tak menyangka ternyata Rio mampu berubah menjadi lebih baik seperti ini. Dia bangga pada Rio.
Dan tak disadarinya akhir-akhir ini ia kerap sekali memikirkan Rio. Memikirkan perhatian-perhatian kecil yang diberikan Rio padanya. Tentang pertemuan pertama mereka. Tentang sikap manisnya yang angin-anginan dan semua hal tentang Rio. Dia tidak tahu perasaan apa yang mulai tumbuh terhadap Rio, entah mungkin ia mulai menyukai Rio.

Sepulang sekolah Dira ingin segera menyampaikan berita mengembirakan itu kepada Rio. Setelah berganti pakaian ia bergegas menuju rumah Rio.
Dia dengan tak sabaran mengetuk pintu rumah Rio, beberapa saat tidak ada jawaban dari dalam. Dira menghela nafas sejenak sebelum membalik badan untuk kembali. Tiba-tiba terdengar pintu rumah terbuka, Dira tersenyum dan segera membalikkan tubuh. Tapi bukanlah Rio kali ini yang membukakan rumah. Seorang wanita tua setengah baya yang berdiri di depan pintu.
“Cari siapa?” kata wanita itu.
“Em.. Rio nya ada?” katanya sedikit gugup. Wanita itu hanya memandangnya dalam. “Kamu temannya Rio ya? Silahkan masuk dulu.” Ucapnya lembut, Dira baru sadar jika dilihat-lihat mata wanita itu merah seperti habis menangis. Dira mengikutinya ke dalam rumah.
“Oh iya kamu belum tau saya ya. Saya mamanya Rio. Kamu Dira kan?” Dira mengangguk dan tersenyum kepada mamanya Rio itu. Memang baru kali ini Dira melihat mamanya Rio secara langsung, dia hanya pernah melihat foto-foto keluarga Rio di dinding rumah Rio tanpa pernah tahu papa dan mama Rio yang sebenarnya. Rio tidak pernah memberi tahu tentang keluarganya sedangkan Dira tidak berani mengorek-orek tentang masalah pribadinya.
“Kamu tahu kan kalau Rio itu di sekolah jadi salah satu anak bandel selama setahun belakangan ini?” Ucap beliau dengan nada getir. Dira hanya mengangguk, tidak tahu ke arah mana pembicaraan ini akan berjalan. “Mungkin semua perubahannya itu diakibatkan oleh kesalahan saya; sebagai ibunya. Saya tau selama ini saya kurang perhatian dengan Rio. Tapi sungguh saya melakukan semua ini juga untuk kebaikan Rio.” Ucapnya sambil menerawang, Dira diam sambil mendengarkan baik-baik setiap ucapan yang keluar dari mulut beliau.
“Setelah semua kejadian pahit itu, mungkin membuat kehidupan Rio hancur, ini mungkin juga karena kesalahan saya.” Ucapnya bergetar dan mulai menitikkan air matanya. “Dulu waktu ujian kelulusan SMP semua masalah itu memuncak. Papanya Rio memutuskan untuk bercerai dengan saya. Kami telah mencoba mencari jalan untuk berdamai, namun semua jalan itu tidak bisa menghasilkan jalan keluar. Mungkin saat itu kami memang benar-benar egois. Masalah itu yang mulai mengacaukan kehidupan Rio.” Mama Rio sudah mulai menagis saat menceritakan itu, Dira sedikit bingung mengatasi atmosfer kecangguan itu.
“Mimpi-mimpi Rio yang telah dibangunnya sejak lama, ia putuskan untuk menghancurkannya. Dari kecil dia bermimpi untuk menjadi lecture atau vendor di bidang komputer. Dia ingin kuliah di jurusan Ilmu Komputer. Sejak kelas 9 dia sudah mempersiapkan targetnya untuk memasuki SMA pilihannya.” Mama Rio berhenti untuk mengambil nafas. “Hingga akhirnya malam di hari akan berlangsungnya ujian akhir kelulusan SMP, papanya Rio memutuskan untuk bercerai dengan saya dan pergi meninggalkan kami. Rio yang tak tau apa-apa sebelumnya, tertekan. Semalaman ia tidak keluar dari kamar. Dan paginya ia mengerjakan soal ujiannya dengan asal-asalan.” Dira mulai bisa menghubungan alur cerita itu, dan dapat menyimpulkan kenapa Rio menjadi sosok yang seperti itu sekarang ini.
“Akibat dari itu nilai dia turun drastis dari ujian-ujian sebelumnya. Tak ada satupun SMA yang ditargetkannya dapat dimasukinya. Dia mulai menutup diri, jadi sosok yang beda dari dia sebelumnya.” Beliau menatap Dira beberapa saat.
“Saya tau dia masih marah sama saya, tapi saya sudah buntu bagaimana menyakinkan pada Rio, bahwa saya benar-benar peduli kepadanya. Sejak dia bertemu kamu, sikap dia mulai berubah. Kamu bisa mengubah Rio jadi betah di rumah dan nilainya mulai naik. Saya benar-benar berterimakasih sama kamu, Dira.”
Dira tertegun beberapa saat. Dia hanya bisa mengangguk. Dan mengeluarkan selambar kertas hasil ulangan matematika Rio. “Ini tante saya titip untuk Rio.” Mama Rio menatap tak percaya pada angka seratus yang tertera di lembaran putih itu. Ada rasa kagum dan bahagia di sinar matanya. “Sudah lama sekali saya tidak melihat nilai matematika Rio seratus, saya benar-benar berterima kasih kepada kamu. Karena telah mampu menyadarkan Rio dari keburukannya.”
“Iya tante, sebagai teman saya akan tetap melakukan itu demi kebaikan Rio.”
“Oh iya, sebaiknya kamu susul Rio. Tadi dia pergi sesudah bertengkar dengan saya, mungkin dia pergi ke lapangan dekat taman di ujung kompleks ini. Ia sering pergi ke sana jika suasana hatinya sedang buruk. Pergilah menemuinya.” Kata mama Rio akhirnya.
Dira bangkit setelah pamit untuk menemui Rio. “Eh Dira lebih baik kamu berikan ini sendiri kepada Rio.” Ucap beliau sambil menyodorkan lembaran ulangan itu kepada Dira. Dira mengangguk, dan mengambil lembaran itu.

Dira segera menemui Rio sebelum langit gelap. Hanya butuh kurang dari lima menit untuk dapat mencapai taman di ujung kompleks ini. Benar Rio sedang duduk melamun di salah satu tepi lapangan. Dira berjalan dengan hati-hati menghampirinya, tapi berhenti beberapa meter dibelakangnya sambil mengamati punggung Rio.
“Duduk Dir, jangan berdiri terus di situ.” Kata Rio setelah beberapa lama Dira berdiri di belakangnya. Dira terkejut, setaunya Rio dari tadi tak pernah memperhatikannya sama sekali. Setelah sadar Dira segera duduk di sebelah Rio.
“Aku mau ngasih ini.” Kata Dira sambil menyodorkan lembaran hasil ulangan itu kepada Rio. “Selamat, dan terimakasih berkat kamu aku dapat nilai yang bagus.” Ucap Dira tulus.
Rio diam dan tertegun melihat nilai yang tertera di lembaran itu. “Sudah lama sekali aku tak pernah mendapatkan nilai sempurna, terakhir sepertinya sejak Ujian Akhir waktu SMP.” Hanya hening beberapa saat, Dira lebih memilih untuk mendengarkan ucapan Rio.
“Aku udah lupa gimana rasanya bisa ngebanggain orang tua. Aku lupa gimana ekspresi papa dan mama waktu aku dapet juara.” Ia menghela napas sejenak. “Mungkin aku anak yang kurang ajar, aku selalu saja menyalahkan mama dan papa karena mereka bercerai. Aku enggak bisa menerima perpisahan mereka hingga akhirnya aku selalu menyalahkan mama yang lebih memilih pekerjaannya daripada ngurusin aku.” Nafas Rio  mulai tak beraturan seakan dia sedang menata gejolak amarah yang sedang membara di dadanya. “Aku tau mama sebenarnya peduli sama aku, dia kerja kayak gitu juga buat aku. Tapi kenapa aku malah jadi anak kurang ajar seperti ini. Aku malu sama diri aku sendiri!” Ia kemudian menelungkupkan kepalanya pada kedua lututnya.
Dira memberi waktu pada Rio untuk menata hatinya. Setelah beberapa saat dia mulai angkat bicara. “Kamu enggak jahat Rio, kamu cuma butuh ngerubah cara berpikir kamu. Bagus kalau kamu udah tau kalau tindakan kamu itu salah dan kamu sudah bisa menerima perpisahan mama dan papamu.”
Hening beberapa saat. Rio mencoba mencerna kata-kata Dira barusan. “Iya kamu benar. Dan aku harus meminta maaf pada mama.” Kata Rio akhirnya. Dira mengangguk mantap dan tersenyum tulus sekaligus bangga kepada Rio.

Senja semakin menua, warna ungu semakin menguasai langit mengalahkan warna orange yang semakin menyipit. Mereka masih terpaku mengamati langit senja itu. Entah, berkelana dengan pikiran masing-masing. “Aku ..” suara Rio terdengar tercekat. “Aku suka sama kamu Dir.” Dira menatap Rio seakan meyakinkan bahwa barusan Rio sedang tidak bercanda. Tetapi Rio malah menatapnya tepat di matanya seakan meyakinkan bahwa dia sungguh-sungguh menyatakan perasaannya itu.
“Aku enggak tau sejak kapan perasaan ini muncul, entah sejak kamu berjalan menuju meja kita pada hari pertama kamu masuk sekolah atau saat kamu mengatakan bahwa aku pengecut. Aku enggak tau. Aku enggak tau kenapa aku suka sama kamu, yang aku tahu aku bisa jadi diri aku sendiri saat bersama kamu.” Ucapnya panjang lebar yang berhasil membuat jantung Dira berdegub sangat kencang.
Hanya diam beberapa saat Dira bingung harus bagaimana, hingga akhirnya dia memutuskan untuk memberitahu perasaannya juga. “Aku juga suka sama kamu, Yo. Entah sejak kapan. Tapi, sejak kamu nolongin aku saat aku digangguin cowok itu aku baru sadar akan perasaan ku kalau aku suka sama kamu.”
Rio memandang Dira tidak percaya. Lalu ia menggenggam erat-erat tangan Dira. “Selama ini aku enggak tau gimana caranya nyatain perasaanku ke kamu. Tapi kamu harus percaya; I love you not for what you are, but for what I am when I am with you.” Kata Rio kepada Dira. Dira mengangguk dan tersenyum. “Aku tahu. I love you too, Rio.”

Mereka segera kembali ke rumah mereka setelah matahari sempurna tenggelam. Dira meyakinkan Rio. “Kamu pasti bisa, Yo. Semuanya akan baik-baik saja. Percayalah.”

***

                Setahun kemudian Dira, Rio, dan teman-teman seangkatan lainnya merayakan kelulusan mereka. Sekolah mereka lulus seratus persen. Mengejutkan untuk Rio, nilai dia sangat memuaskan hampir sempurna. Rio pun dapat melanjutkan cita-citanya dari kecil ia berhasil masuk di universitas terbaik jurusan ilmu komputer. Sedangkan Dira memutuskan untuk mengambil jurusan Psikologi di universitas yang sama dengan Rio. Mereka berjanji untuk meraih sukses bersama.


Dunia akan terasa gelap jika kau hanya memutuskan jalan di tempat. Kau hanya perlu membuka mata dan tunjukkan--dirimu yang sesungguhnya. Dan kau hanya butuh seseorang yang tepat...

Garis Waktu (1)

Diposting oleh Girl in the Rain di 05.03 0 komentar

Dia benci hidupnya. Dia sudah tak pernah mau memperdulikan apapun lagi semenjak hidupnya hancur berantakan. Ia akan melakukan apapun, selama ia merasa bahwa itu benar di matanya. Sampai dia akhirnya menemukan seseorang yang mampu mengetuk pintu hatinya.

                 Rio sudah sangat akrab dengan masalah. Sudah berkali-kali ia berurusan dengan guru BP dan wali kelasnya. Sudah tak terhitung berapa kali ia mendapatkan skorsing. Kali ini dia menonjok hidung salah satu siswa SMA lain hingga tulang hidungnya remuk, hal inilah yang membuatnya berurusan dengan wali kelasnya lagi.
                “Kali ini apalagi yang kamu perbuat Yo? Kamu ingin ibu keluarkan atau skorssing untuk kali ini?” tanya Bu Juni wali kelasnya. “Tapi, kali ini bukan saya yang cari masalah Bu!” ucapnya seakan menekan emosi yang sedang meluap di dadanya. Dia memang murid berandal tapi bukan berarti dia menginginkan untuk di keluarkan dari sekolah, dia masih punya keinginan untuk tetap bersekolah walau entah apa yang akan dia lakukan di sekolah.
                “Ibu tidak peduli siapa yang memulai duluan, tapi seharusnya kamu tidak melawannya dengan kekuatan otot seperti itu, kamu lebih baik menyelesaikannya dengan otak--secara baik-baik.”
Rio mengepalkan tangannya menahan emosi yang siap meluap, ia ingin menjawab komentar wali kelasnya itu, tapi ia pikir mau dia bilang apapun mungkin hal itu tidak akan mengubah apapun dari keputusan Bu Juni.
                “Tapi, ibu akan berusaha agar kamu tidak dikeluarkan dari sekolah ini. Ibu tau kamu mempunyai sesuatu yang disembunyikan.” Tiba-tiba Bu Juni mengatakan itu dengan tegas, seakan-akan memantapkan pada dirinya sendiri. Rio hanya menatap bingung pada Bu Juni tak mengerti maksud ucapan beliau barusan. Tapi dalam hati ia bersyukur jika dia tidak perlu dikeluarkan dari sekolah ini.

                Rio segera ke kelasnya setelah kembali dari ruang Bu Juni. Pelajaran pertama adalah pelajaran Bu Juni yang mengajar bahasa inggris. Beberapa murid terburu-buru memasuki kelas sambil berseru. Beberapa celotehan temannya itu tertangkap di telinga Rio yaitu ada murid baru seorang cewek cantik yang akan masuk di kelas mereka. Seketika para cowok mulai ramai, tetapi tak untuk Rio dia hanya duduk menyandarkan punggung sambil memejamkan matanya tanpa menghiraukan berita yang menghebohkan itu.
                Bu Juni memasuki ruang kelas, seketika kelas menjadi hening, beberapa anak perempuan terlihat berbisik-bisik sambil mengamati anak baru itu. Bu Juni segera memperkenalkan anak baru itu. Namanya Adira Amandria, dipanggil Dira. Pindahan dari Jogja. Cewek itu memiliki perawakan yang lumayan tinggi putih dan bersih.
                “Dira silahkan kamu duduk di bangku kosong samping Rio, sebelah sana.” Kata Bu Juni sambil menunjuk letak tempat duduk Rio. Rio membuka matanya ketika dia mendengar namanya disebut-sebut, saat dia sadar ternyata cewek itu sudah berjalan ke arahnya. Dan dengan sedikit menundukkan wajahnya dia duduk di sebelahnya.

                Jam istirahat pelajaran dimanfaatkan Rio untuk duduk berkumpul di kantin bersama dengan gerombolan teman-teman berandalannya. Sebenarnya ini bukanlah pemandangan yang mengasingkan. Rio, dengan nama lengkap Rio Stevanus adalah satu-satunya anak IPA yang menjadi salah satu anggota kumpulan anak-anak bandel itu. Sejak kelas satu dia sudah mulai membuat masalah dan sering bolos pelajaran. Terkadang dari teman-temanya itu ada yang tertangkap sedang merokok di lingkungan sekolah, tapi Rio tak pernah ada minat untuk mengikuti teman-temannya itu--dia tidak suka merokok.
                Dalam waktu sekejap, berita bahwa Rio merupakan anak bandel dan barusan dipanggil karena menonjok hidung anak sebelah hingga remuk, sampai juga di telinga Dira. Sebenarnya dia tidak peduli dengan hal itu, selama dia tidak ada masalah dengan cowok itu kemungkinan dia tidak akan terkena dampak dari kebandelan Rio itu. Cowok itu sepertinya juga tak terlalu menggubris masalah-masalah kecil dengan perempuan. Jadi tak apalah, Dira menyakinkan bahwa apapun yang diperbuat Rio tidak akan berimbas kepadanya.

                Jam pelajaran Matematika kali ini terasa sangat lama bagi Dira. Jujur saja dia sangat tidak menguasai pelajaran yang penuh dengan rumus yang satu ini. Seserius apapun dia memperhatikan guru yang sedang menerangkan dan mencatat rapi seluruh catatan yang diberikan, dia takkan pernah benar-benar paham tentang rumus-rumus itu.
                Dia mengedarkan pandangan untuk beberapa saat, ketika Pak Duta akhirnya keluar meninggalkan kelas setelah memberikan tugas sebanyak 40 nomor. Ia melihat partner sebangkunya yang dengan santai menyandarkan wajahnya pada meja dan memejamkan mata. Dira tak habis pikir kenapa cowok ini bisa sesantai ini sih? Apa dia enggak pernah mikir tentang nilainya? Apa dia enggak pernah mikir tentang kenaikan kelas? Dasar aneh!
                Dira berkali-kali menghela nafas kasar ketika rumus yang dimasukkannya tak pernah ditemukan jawabannya dari soal itu. Rasa-rasanya ia ingin mengacak-acak frustasi rambutnya.
Dia sangat kesulitan, dulu di sekolah lamanya dia selalu dibantu oleh sahabatnya yang duduk di sampingnya yang kebetulan pintar matematika, jadi setidaknya ia sedikit mengerti bagaimana cara memasukkan rumus-rumus sehingga dapat ditemukan jawabannya. Sedangkan sekarang? Dia malah terdampar di sebelah cowok aneh seperti ini. Ah sungguh sial.
                Pak Duta kembali sepuluh menit kemudian dan mengatakan bahwa soal matematika itu menjadi pekerjaan rumah yang dikerjakan secara kelompok bersama teman sebangku. Dira tidak percaya mendengarnya. Tidak cukupkah jika hanya terjebak di kandang singa ini, masih perlukah terjebak dengan singa sekalian?

                Rio menuju lapangan parkir setelah bel tanda pulang berbunyi. Dia bergegas mengeluarkan motornya dan melajukannya keluar dari gerbang sekolah. Kali ini dengan disayangkan dia tidak mengikuti tawaran teman-temannya untuk mengeroyok anak SMA sebelah yang telah berani mengadukan Rio pada pihak sekolah. Sebelumnya Rio telah berjanji pada Bu Juni untuk waktu ini tidak membuat masalah lagi jika tidak ingin dikeluarkan dari sekolah oleh kepala sekolah.
                Sebenarnya ia paling malas pulang ke rumahnya. Di rumah ia bagai hidup di hutan yang sepi. Mamanya enggak pernah ada buat dia, beliau lebih mementingkan kesibukan mengurusi kantornya. Papanya sudah 2 tahun lalu bercerai dengan mama dan menikah lagi dengan perempuan selingkuhannya. Sebelumnya Rio tidak pernah tahu bahwa ternyata mama dan papanya ada masalah hingga akhirnya papanya memutuskan untuk bercerai dengan mamanya. Sejak saat itu ia tak pernah melihat papanya lagi. Dan sejak saat itu pula mamanya semakin sibuk bekerja dan tak pernah menghiraukan Rio, setidaknya seperti itulah yang ada dalam anggapan Rio.

                Dira berjalan sambil mengelap peluh yang mengalir di dahinya. Sejak dia pindah ke kompleks barunya ia memutuskan untuk jalan kaki dari sekolah menuju rumahnya yang tak seberapa jauh. Karena mamanya tidak bisa mengendarai motor maupun mobil untuk mengantar jemputnya  sedangkan papanya bekerja dan kakak-kakaknya kuliah.
                Tak sengaja ia melihat Rio yang sedang mengendarai motor melewatinya. Dira memperhatikan sungguh-sungguh cowok itu. Kenapa dia ada di sini? Tanyanya pada dirinya sendiri. Dira terus memperhatikan motor itu, hingga motor itu berbelok di salah satu rumah depan rumahnya. Jangan-jangan dia tetanggaku! pikirnya.
                Pikirannya itu memang terbukti, mamanya bilang emang bener ada cowok seusianya yang tinggal di depan rumah mereka. Tapi mamanya tidak tahu kalau ternyata anak itu juga bersekolah di tempat yang sama dengan Dira. Kata mamanya keluarga di depan rumah mereka itu cenderung tertutup.

                Beberapa hari kemudian, tepatnya hari Sabtu pagi. Dira berjalan tergesa-gesa dan sedikit berlari dari rumahnya. Kali ini ia bangun kesiangan, belum pernah sekalipun dia terlambat selama ia pindah ke sekolah barunya itu.
Sinar terik matahari pagi ini semakin membuatnya bertambah panik karena seakan memberi tahu bahwa sudah benar-benar siang, dengan sedikit panik ia mencoba berlari agar tidak terlalu terlambat untuk sampai ke sekolahnya. Tiba-tiba terdengar suara motor dari belakang dan tepat berhenti di sampingnya, Dira ragu untuk menoleh. Ia ingin pura-pura tak menanggapinya karena ingin cepat sampai di sekolah tapi suara itu mencegahnya.
“Naik gih. Kamu laripun enggak bakal bebas dari telat, ini udah bel masuk.” Dira menoleh ke sumber suara itu dan benar ternyata cowok itu Rio.
“Mau enggak? Kalau enggak yaudah, enggak ada ruginya juga buat aku.” Lanjutnya sambil bersiap jalan. Tersirat keraguan di wajah Dira, tapi dengan pasti dia naik ke atas boncengan motor Rio. “Udah, ayo jalan.” Katanya setelah siap. Dira melihat Rio tersenyum samar dari balik spion dan segera melajukan motornya dengan kencang.

Tidak ada lima menit mereka sudah sampai di kelas mereka. Untung saja di kelas belum ada guru yang datang. Waktu memasuki pintu kelas, Dira melihat beberapa orang sedang memandanginya dan Rio sambil berbisik-bisik, ia jadi risih sendiri menjadi pusat perhatian seperti itu.
Pelajaran kedua kali ini adalah Biologi, salah satu pelajaran favorit Dira. Dia memang bodoh dalam hal rumus tapi dia sangat menguasai segala pelajaran menghafal dan berhubungan dengan bahasa. Setidaknya kali ini moodnya menjadi lebih baik.
“Kumpulkan pekerjaan rumah kalian yang saya berikan beberapa hari yang lalu. Nilai kalian akan saya masukkan untuk menambah nilai untuk kenaikan kelas besok.” Kata Pak Adi dan dengan kompak anak-anak mengeluh bebarengan.
Shit”, Rio mengumpat sambil membolak-balik bukunya yang masih kosong. Dia memang terbiasa melupakan tugas sekolah dan tidak mengerjakannya, tapi bukan berarti dia ingin tinggal kelas dengan cara seperti ini.
“Oke karena banyak yang belum selesai, Bapak kasih waktu 5 menit untuk kalian menyelesaikannya.” Sambung Pak Adi dan diiringi helaan nafas lega dari beberapa anak.
Dira menyodorkaan buku tugasnya kepada Rio, Rio tidak paham apa maksud cewek itu. Ia menoleh kepadanya. Dira hanya tersenyum kaku, dan sedikit menunjukkan raut ketakutan di wajahnya.
“Aku enggak perlu bantuan kamu.” Kata Rio sambil menatap tajam kedua mata Dira. Dira tak bergerak dibiarkannya bukunya tetap di hadapan Rio. Bukankah ia berniat baik ingin menolong Rio kenapa sih ada manusia yang seaneh itu, pikir Dira dalam hati.
“Waktu kalian tinggal 2 menit.” ucap Pak Adi mengingatkan yang spontan menambah kepanikan anak-anak kelas. Rio sudah tidak sabaran mencari jawaban-jawaban itu di buku modulnya dan dengan cepat menyabet buku tugas Dira dan menyalinnya cepat di buku tugas miliknya.
“Kumpulkan sekarang.” Kata Pak Adi bebarengan dengan selesainya Rio menyalin jawaban Dira. Rio segera mengumpulkan bukunya dan buku Dira ke meja Pak Adi dengan bernafas lega. Ujung-ujungnya juga mau nyalin kan. Pake sok enggak nerima bantuan lagi dasar keras kepala, batin Dira.

Jam kosong untuk jam fisika adalah surga bagi Dira. Setidaknya ia tidak perlu berhadapan dengan rumus-rumus. Dia membaca novelnya sambil duduk di bangkunya, sesekali ia memperhatikan Rio yang tertidur bersandar di meja. Ia lalu teringat tentang tugas matematika 40 nomor yang baru berhasil diselesaikannya sekitar 10 nomor entah itu benar atau salah, dan ia juga teringat bahwa besok adalah hari pengumpulannya. Dengan bimbang ia menimang-nimang apa perlu dia mengerjakan dengan .. Rio?
Rio samar-samar mendengar seperti ada yang memanggilnya, dengan pandangan buram ia menghadap orang yang sedang memanggilnya itu. Dan memandangnya dengan tatapan seakan bertanya Apa? Nyali Dira semakin ciut untuk menanyakan tentang tugas itu. Apa Rio bener-bener mau ya diajak ngerjain tugas bareng?, tanyanya tidak yakin dalam hati.
Saat Rio akan kembali membaringkan kepalanya di meja, Dira coba memberanikan diri. “Yo, tugas matematika kita gimana? Kamu udah ngerjain?” Rio segera mengangkat kepalanya dan menghadap Dira, wajah mereka sangat dekat hanya ada celah sekitar 30 centi yang memisahkan mereka, spontan Dira memundurkan wajahnya. Namun Rio hanya diam saja sambil mengamati Dira. “Emang penting?” ucapnya kemudian dan kembali merebahkan kepalanya pada meja.
Arghh.. rasanya Dira ingin mengguncang-guncang badan Rio agar dia sadar kalau dia itu anak sekolah, harusnya dia juga mikirin tugas-tugasnya. Ah, bener-bener enggak beruntung deh dapat temen sebangku sama cowok aneh seperti ini.

Bel tanda pulang berbunyi, anak-anak mulai berhamburan keluar kelas. Dira berjalan perlahan untuk menuju gerbang sekolah.
“Kita pulang bereng, sekalian menyelesaikan tugas matematika di rumahmu.” Kurang lebih seperti itu yang terdengar di telinga Dira. Cewek itu segera mengangkat kepalanya untuk melihat kesungguhan cowok itu.

Rio menuruni motornya, dan berputar untuk mengecek ban depannya. “Shit, pake kempes segala lagi.” Ucapnya sambil mengacak-acak frustasi rambutnya.
“Aku mampir ke bengkel dulu, kamu duluan aja.” Katanya pada Dira. Dira memandangnya cukup lama, dia berpikir jangan-jangan cowok ini mau melarikan diri. Akhirnya Dira memutuskan untuk mengikuti Rio pergi ke bengkel.

                Mamanya Dira selalu siap dengan makanan-makanan enak di dapurnya, beliau memang hobi memasak. Dia ramah kepada siapapun. “Wah Dira bawa temen ya? Loh kamu rumahnya yang di depan itukan?” tanya mamanya kemudian.
“Iya tante.” Jawabnya dengan manis, Dira baru tau ternyata Rio bisa bersikap manis seperti itu. “Nama kamu siapa?” tanya mamanya lagi.
“Rio tante.” Mama Dira mengangguk sedikit sambil tersenyum tertahan, baru kali ini anak perempuannya membawa anak laki-laki ke rumah. “Dira itu di sini belum punya temen loh Yo, dia jarang main. Ajakin main kek kadang-kadang biar dia engggak kayak anak kuper yang di kamar terus.” Dira yang mendengarnya melayangkan tatapan melotot pada mamanya dan memangilnya dengan suara tertahan.
“Maaf, ya Yo. Mama ku emang kayak gitu, sering kelewatan kalo sama orang baru.” Ucap Dira setelah mereka berhasil melarikan diri dari mama ke taman belakang bersiap mengerjakan tugas. Rio hanya mengangguk dengan ekspresi datar. Dira sempat berpikir, kenapa manusia satu ini bisa berganti ekspresi dalam waktu yang sangat singkat tadi dia manis sekali saat di hadapan mama sekarang aja udah semasam belimbing wuluh, dasar cowok aneh.
“Yaudah kita bagi tugas aja aku mengerjakan 20 nomor dari atas, dan kamu 20 nomor selanjutnya, gimana?” usul Dira kepada Rio
“Terserah deh.” Lalu dia cepat-cepat mengambil soalnya dan mengerjakannya. Dira sedikit tidak yakin jika Rio memang benar-benar bisa mengerjakan soal-soal itu. Setengah jam kemudian Rio sudah selesai mengerjakan bagiannya, sedangkan Dira masih kewalahan memasukkan rumus-rumus itu.
“Kamu itu emang bener-bener enggak bisa matematika?” Dira menoleh ke arah sumber suara seakan memberi tahu lewat wajah kacaunya yang sedang mengerjakan matematika itu dengan susah payah. “Pantes aja, kemarin kamu bentar-bentar ngacak-acak rambutmu. Mirip orang frustasi.” Dira terkejut apa benar jika ia kemarin sekacau itu?
“Sudah tau, bantuin kek.” Jawab Dira ketus. Rio hanya diam di tempat tak bergerak sedikitpun. “Aku baru tau kalau ternyata kamu jago matematika.” Sambung Dira. “Emang semua orang perlu tahu ya? Buatku enggak penting!” jawabnya dingin.
Dira terdiam kaku sebentar, ini anak emang bodoh atau gimana? Kenapa ia milih menyembunyikan kepintarannya. “Aku sebenernya iri sama kamu Yo, kamu jago pelajaran menghitung. Sedangkan aku enggak pernah bisa dari dulu. Harusnya jika kamu punya kemampuan itu kamu harus menghargai dan memanfaatkannya.” Dira tak percaya bahwa ia telah mengucapkan kata-kata itu yang lantas disambut tatapan tajam dari mata Rio.
“Apa yang kamu pikirkan sampai kamu enggak mau orang tau kemampuanmu, kalau kamu terus menyembunyikan kemampuanmu. Kamu selamanya akan tejebak dalam sosok orang lain. kamu enggak bisa jadi diri kamu sendiri.” Dira berhenti sejenak untuk mengambil nafas, sebenarnya ia sudah tidak tahan ditatap dengan cara itu oleh Rio, namun entah dorongan dari mana ia mengatakan kata-kata itu. “Kamu seharusnya enggak jadi pengecut seperti ini Yo!” ucapnya akhirnya dapat mengeluarkan emosi yang siap merambat ke ubun-ubunnya. Bersambung
 

Girl in the Rain Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos