Kamis, 22 Januari 2015

Garis Waktu (1)

Diposting oleh Girl in the Rain di 05.03

Dia benci hidupnya. Dia sudah tak pernah mau memperdulikan apapun lagi semenjak hidupnya hancur berantakan. Ia akan melakukan apapun, selama ia merasa bahwa itu benar di matanya. Sampai dia akhirnya menemukan seseorang yang mampu mengetuk pintu hatinya.

                 Rio sudah sangat akrab dengan masalah. Sudah berkali-kali ia berurusan dengan guru BP dan wali kelasnya. Sudah tak terhitung berapa kali ia mendapatkan skorsing. Kali ini dia menonjok hidung salah satu siswa SMA lain hingga tulang hidungnya remuk, hal inilah yang membuatnya berurusan dengan wali kelasnya lagi.
                “Kali ini apalagi yang kamu perbuat Yo? Kamu ingin ibu keluarkan atau skorssing untuk kali ini?” tanya Bu Juni wali kelasnya. “Tapi, kali ini bukan saya yang cari masalah Bu!” ucapnya seakan menekan emosi yang sedang meluap di dadanya. Dia memang murid berandal tapi bukan berarti dia menginginkan untuk di keluarkan dari sekolah, dia masih punya keinginan untuk tetap bersekolah walau entah apa yang akan dia lakukan di sekolah.
                “Ibu tidak peduli siapa yang memulai duluan, tapi seharusnya kamu tidak melawannya dengan kekuatan otot seperti itu, kamu lebih baik menyelesaikannya dengan otak--secara baik-baik.”
Rio mengepalkan tangannya menahan emosi yang siap meluap, ia ingin menjawab komentar wali kelasnya itu, tapi ia pikir mau dia bilang apapun mungkin hal itu tidak akan mengubah apapun dari keputusan Bu Juni.
                “Tapi, ibu akan berusaha agar kamu tidak dikeluarkan dari sekolah ini. Ibu tau kamu mempunyai sesuatu yang disembunyikan.” Tiba-tiba Bu Juni mengatakan itu dengan tegas, seakan-akan memantapkan pada dirinya sendiri. Rio hanya menatap bingung pada Bu Juni tak mengerti maksud ucapan beliau barusan. Tapi dalam hati ia bersyukur jika dia tidak perlu dikeluarkan dari sekolah ini.

                Rio segera ke kelasnya setelah kembali dari ruang Bu Juni. Pelajaran pertama adalah pelajaran Bu Juni yang mengajar bahasa inggris. Beberapa murid terburu-buru memasuki kelas sambil berseru. Beberapa celotehan temannya itu tertangkap di telinga Rio yaitu ada murid baru seorang cewek cantik yang akan masuk di kelas mereka. Seketika para cowok mulai ramai, tetapi tak untuk Rio dia hanya duduk menyandarkan punggung sambil memejamkan matanya tanpa menghiraukan berita yang menghebohkan itu.
                Bu Juni memasuki ruang kelas, seketika kelas menjadi hening, beberapa anak perempuan terlihat berbisik-bisik sambil mengamati anak baru itu. Bu Juni segera memperkenalkan anak baru itu. Namanya Adira Amandria, dipanggil Dira. Pindahan dari Jogja. Cewek itu memiliki perawakan yang lumayan tinggi putih dan bersih.
                “Dira silahkan kamu duduk di bangku kosong samping Rio, sebelah sana.” Kata Bu Juni sambil menunjuk letak tempat duduk Rio. Rio membuka matanya ketika dia mendengar namanya disebut-sebut, saat dia sadar ternyata cewek itu sudah berjalan ke arahnya. Dan dengan sedikit menundukkan wajahnya dia duduk di sebelahnya.

                Jam istirahat pelajaran dimanfaatkan Rio untuk duduk berkumpul di kantin bersama dengan gerombolan teman-teman berandalannya. Sebenarnya ini bukanlah pemandangan yang mengasingkan. Rio, dengan nama lengkap Rio Stevanus adalah satu-satunya anak IPA yang menjadi salah satu anggota kumpulan anak-anak bandel itu. Sejak kelas satu dia sudah mulai membuat masalah dan sering bolos pelajaran. Terkadang dari teman-temanya itu ada yang tertangkap sedang merokok di lingkungan sekolah, tapi Rio tak pernah ada minat untuk mengikuti teman-temannya itu--dia tidak suka merokok.
                Dalam waktu sekejap, berita bahwa Rio merupakan anak bandel dan barusan dipanggil karena menonjok hidung anak sebelah hingga remuk, sampai juga di telinga Dira. Sebenarnya dia tidak peduli dengan hal itu, selama dia tidak ada masalah dengan cowok itu kemungkinan dia tidak akan terkena dampak dari kebandelan Rio itu. Cowok itu sepertinya juga tak terlalu menggubris masalah-masalah kecil dengan perempuan. Jadi tak apalah, Dira menyakinkan bahwa apapun yang diperbuat Rio tidak akan berimbas kepadanya.

                Jam pelajaran Matematika kali ini terasa sangat lama bagi Dira. Jujur saja dia sangat tidak menguasai pelajaran yang penuh dengan rumus yang satu ini. Seserius apapun dia memperhatikan guru yang sedang menerangkan dan mencatat rapi seluruh catatan yang diberikan, dia takkan pernah benar-benar paham tentang rumus-rumus itu.
                Dia mengedarkan pandangan untuk beberapa saat, ketika Pak Duta akhirnya keluar meninggalkan kelas setelah memberikan tugas sebanyak 40 nomor. Ia melihat partner sebangkunya yang dengan santai menyandarkan wajahnya pada meja dan memejamkan mata. Dira tak habis pikir kenapa cowok ini bisa sesantai ini sih? Apa dia enggak pernah mikir tentang nilainya? Apa dia enggak pernah mikir tentang kenaikan kelas? Dasar aneh!
                Dira berkali-kali menghela nafas kasar ketika rumus yang dimasukkannya tak pernah ditemukan jawabannya dari soal itu. Rasa-rasanya ia ingin mengacak-acak frustasi rambutnya.
Dia sangat kesulitan, dulu di sekolah lamanya dia selalu dibantu oleh sahabatnya yang duduk di sampingnya yang kebetulan pintar matematika, jadi setidaknya ia sedikit mengerti bagaimana cara memasukkan rumus-rumus sehingga dapat ditemukan jawabannya. Sedangkan sekarang? Dia malah terdampar di sebelah cowok aneh seperti ini. Ah sungguh sial.
                Pak Duta kembali sepuluh menit kemudian dan mengatakan bahwa soal matematika itu menjadi pekerjaan rumah yang dikerjakan secara kelompok bersama teman sebangku. Dira tidak percaya mendengarnya. Tidak cukupkah jika hanya terjebak di kandang singa ini, masih perlukah terjebak dengan singa sekalian?

                Rio menuju lapangan parkir setelah bel tanda pulang berbunyi. Dia bergegas mengeluarkan motornya dan melajukannya keluar dari gerbang sekolah. Kali ini dengan disayangkan dia tidak mengikuti tawaran teman-temannya untuk mengeroyok anak SMA sebelah yang telah berani mengadukan Rio pada pihak sekolah. Sebelumnya Rio telah berjanji pada Bu Juni untuk waktu ini tidak membuat masalah lagi jika tidak ingin dikeluarkan dari sekolah oleh kepala sekolah.
                Sebenarnya ia paling malas pulang ke rumahnya. Di rumah ia bagai hidup di hutan yang sepi. Mamanya enggak pernah ada buat dia, beliau lebih mementingkan kesibukan mengurusi kantornya. Papanya sudah 2 tahun lalu bercerai dengan mama dan menikah lagi dengan perempuan selingkuhannya. Sebelumnya Rio tidak pernah tahu bahwa ternyata mama dan papanya ada masalah hingga akhirnya papanya memutuskan untuk bercerai dengan mamanya. Sejak saat itu ia tak pernah melihat papanya lagi. Dan sejak saat itu pula mamanya semakin sibuk bekerja dan tak pernah menghiraukan Rio, setidaknya seperti itulah yang ada dalam anggapan Rio.

                Dira berjalan sambil mengelap peluh yang mengalir di dahinya. Sejak dia pindah ke kompleks barunya ia memutuskan untuk jalan kaki dari sekolah menuju rumahnya yang tak seberapa jauh. Karena mamanya tidak bisa mengendarai motor maupun mobil untuk mengantar jemputnya  sedangkan papanya bekerja dan kakak-kakaknya kuliah.
                Tak sengaja ia melihat Rio yang sedang mengendarai motor melewatinya. Dira memperhatikan sungguh-sungguh cowok itu. Kenapa dia ada di sini? Tanyanya pada dirinya sendiri. Dira terus memperhatikan motor itu, hingga motor itu berbelok di salah satu rumah depan rumahnya. Jangan-jangan dia tetanggaku! pikirnya.
                Pikirannya itu memang terbukti, mamanya bilang emang bener ada cowok seusianya yang tinggal di depan rumah mereka. Tapi mamanya tidak tahu kalau ternyata anak itu juga bersekolah di tempat yang sama dengan Dira. Kata mamanya keluarga di depan rumah mereka itu cenderung tertutup.

                Beberapa hari kemudian, tepatnya hari Sabtu pagi. Dira berjalan tergesa-gesa dan sedikit berlari dari rumahnya. Kali ini ia bangun kesiangan, belum pernah sekalipun dia terlambat selama ia pindah ke sekolah barunya itu.
Sinar terik matahari pagi ini semakin membuatnya bertambah panik karena seakan memberi tahu bahwa sudah benar-benar siang, dengan sedikit panik ia mencoba berlari agar tidak terlalu terlambat untuk sampai ke sekolahnya. Tiba-tiba terdengar suara motor dari belakang dan tepat berhenti di sampingnya, Dira ragu untuk menoleh. Ia ingin pura-pura tak menanggapinya karena ingin cepat sampai di sekolah tapi suara itu mencegahnya.
“Naik gih. Kamu laripun enggak bakal bebas dari telat, ini udah bel masuk.” Dira menoleh ke sumber suara itu dan benar ternyata cowok itu Rio.
“Mau enggak? Kalau enggak yaudah, enggak ada ruginya juga buat aku.” Lanjutnya sambil bersiap jalan. Tersirat keraguan di wajah Dira, tapi dengan pasti dia naik ke atas boncengan motor Rio. “Udah, ayo jalan.” Katanya setelah siap. Dira melihat Rio tersenyum samar dari balik spion dan segera melajukan motornya dengan kencang.

Tidak ada lima menit mereka sudah sampai di kelas mereka. Untung saja di kelas belum ada guru yang datang. Waktu memasuki pintu kelas, Dira melihat beberapa orang sedang memandanginya dan Rio sambil berbisik-bisik, ia jadi risih sendiri menjadi pusat perhatian seperti itu.
Pelajaran kedua kali ini adalah Biologi, salah satu pelajaran favorit Dira. Dia memang bodoh dalam hal rumus tapi dia sangat menguasai segala pelajaran menghafal dan berhubungan dengan bahasa. Setidaknya kali ini moodnya menjadi lebih baik.
“Kumpulkan pekerjaan rumah kalian yang saya berikan beberapa hari yang lalu. Nilai kalian akan saya masukkan untuk menambah nilai untuk kenaikan kelas besok.” Kata Pak Adi dan dengan kompak anak-anak mengeluh bebarengan.
Shit”, Rio mengumpat sambil membolak-balik bukunya yang masih kosong. Dia memang terbiasa melupakan tugas sekolah dan tidak mengerjakannya, tapi bukan berarti dia ingin tinggal kelas dengan cara seperti ini.
“Oke karena banyak yang belum selesai, Bapak kasih waktu 5 menit untuk kalian menyelesaikannya.” Sambung Pak Adi dan diiringi helaan nafas lega dari beberapa anak.
Dira menyodorkaan buku tugasnya kepada Rio, Rio tidak paham apa maksud cewek itu. Ia menoleh kepadanya. Dira hanya tersenyum kaku, dan sedikit menunjukkan raut ketakutan di wajahnya.
“Aku enggak perlu bantuan kamu.” Kata Rio sambil menatap tajam kedua mata Dira. Dira tak bergerak dibiarkannya bukunya tetap di hadapan Rio. Bukankah ia berniat baik ingin menolong Rio kenapa sih ada manusia yang seaneh itu, pikir Dira dalam hati.
“Waktu kalian tinggal 2 menit.” ucap Pak Adi mengingatkan yang spontan menambah kepanikan anak-anak kelas. Rio sudah tidak sabaran mencari jawaban-jawaban itu di buku modulnya dan dengan cepat menyabet buku tugas Dira dan menyalinnya cepat di buku tugas miliknya.
“Kumpulkan sekarang.” Kata Pak Adi bebarengan dengan selesainya Rio menyalin jawaban Dira. Rio segera mengumpulkan bukunya dan buku Dira ke meja Pak Adi dengan bernafas lega. Ujung-ujungnya juga mau nyalin kan. Pake sok enggak nerima bantuan lagi dasar keras kepala, batin Dira.

Jam kosong untuk jam fisika adalah surga bagi Dira. Setidaknya ia tidak perlu berhadapan dengan rumus-rumus. Dia membaca novelnya sambil duduk di bangkunya, sesekali ia memperhatikan Rio yang tertidur bersandar di meja. Ia lalu teringat tentang tugas matematika 40 nomor yang baru berhasil diselesaikannya sekitar 10 nomor entah itu benar atau salah, dan ia juga teringat bahwa besok adalah hari pengumpulannya. Dengan bimbang ia menimang-nimang apa perlu dia mengerjakan dengan .. Rio?
Rio samar-samar mendengar seperti ada yang memanggilnya, dengan pandangan buram ia menghadap orang yang sedang memanggilnya itu. Dan memandangnya dengan tatapan seakan bertanya Apa? Nyali Dira semakin ciut untuk menanyakan tentang tugas itu. Apa Rio bener-bener mau ya diajak ngerjain tugas bareng?, tanyanya tidak yakin dalam hati.
Saat Rio akan kembali membaringkan kepalanya di meja, Dira coba memberanikan diri. “Yo, tugas matematika kita gimana? Kamu udah ngerjain?” Rio segera mengangkat kepalanya dan menghadap Dira, wajah mereka sangat dekat hanya ada celah sekitar 30 centi yang memisahkan mereka, spontan Dira memundurkan wajahnya. Namun Rio hanya diam saja sambil mengamati Dira. “Emang penting?” ucapnya kemudian dan kembali merebahkan kepalanya pada meja.
Arghh.. rasanya Dira ingin mengguncang-guncang badan Rio agar dia sadar kalau dia itu anak sekolah, harusnya dia juga mikirin tugas-tugasnya. Ah, bener-bener enggak beruntung deh dapat temen sebangku sama cowok aneh seperti ini.

Bel tanda pulang berbunyi, anak-anak mulai berhamburan keluar kelas. Dira berjalan perlahan untuk menuju gerbang sekolah.
“Kita pulang bereng, sekalian menyelesaikan tugas matematika di rumahmu.” Kurang lebih seperti itu yang terdengar di telinga Dira. Cewek itu segera mengangkat kepalanya untuk melihat kesungguhan cowok itu.

Rio menuruni motornya, dan berputar untuk mengecek ban depannya. “Shit, pake kempes segala lagi.” Ucapnya sambil mengacak-acak frustasi rambutnya.
“Aku mampir ke bengkel dulu, kamu duluan aja.” Katanya pada Dira. Dira memandangnya cukup lama, dia berpikir jangan-jangan cowok ini mau melarikan diri. Akhirnya Dira memutuskan untuk mengikuti Rio pergi ke bengkel.

                Mamanya Dira selalu siap dengan makanan-makanan enak di dapurnya, beliau memang hobi memasak. Dia ramah kepada siapapun. “Wah Dira bawa temen ya? Loh kamu rumahnya yang di depan itukan?” tanya mamanya kemudian.
“Iya tante.” Jawabnya dengan manis, Dira baru tau ternyata Rio bisa bersikap manis seperti itu. “Nama kamu siapa?” tanya mamanya lagi.
“Rio tante.” Mama Dira mengangguk sedikit sambil tersenyum tertahan, baru kali ini anak perempuannya membawa anak laki-laki ke rumah. “Dira itu di sini belum punya temen loh Yo, dia jarang main. Ajakin main kek kadang-kadang biar dia engggak kayak anak kuper yang di kamar terus.” Dira yang mendengarnya melayangkan tatapan melotot pada mamanya dan memangilnya dengan suara tertahan.
“Maaf, ya Yo. Mama ku emang kayak gitu, sering kelewatan kalo sama orang baru.” Ucap Dira setelah mereka berhasil melarikan diri dari mama ke taman belakang bersiap mengerjakan tugas. Rio hanya mengangguk dengan ekspresi datar. Dira sempat berpikir, kenapa manusia satu ini bisa berganti ekspresi dalam waktu yang sangat singkat tadi dia manis sekali saat di hadapan mama sekarang aja udah semasam belimbing wuluh, dasar cowok aneh.
“Yaudah kita bagi tugas aja aku mengerjakan 20 nomor dari atas, dan kamu 20 nomor selanjutnya, gimana?” usul Dira kepada Rio
“Terserah deh.” Lalu dia cepat-cepat mengambil soalnya dan mengerjakannya. Dira sedikit tidak yakin jika Rio memang benar-benar bisa mengerjakan soal-soal itu. Setengah jam kemudian Rio sudah selesai mengerjakan bagiannya, sedangkan Dira masih kewalahan memasukkan rumus-rumus itu.
“Kamu itu emang bener-bener enggak bisa matematika?” Dira menoleh ke arah sumber suara seakan memberi tahu lewat wajah kacaunya yang sedang mengerjakan matematika itu dengan susah payah. “Pantes aja, kemarin kamu bentar-bentar ngacak-acak rambutmu. Mirip orang frustasi.” Dira terkejut apa benar jika ia kemarin sekacau itu?
“Sudah tau, bantuin kek.” Jawab Dira ketus. Rio hanya diam di tempat tak bergerak sedikitpun. “Aku baru tau kalau ternyata kamu jago matematika.” Sambung Dira. “Emang semua orang perlu tahu ya? Buatku enggak penting!” jawabnya dingin.
Dira terdiam kaku sebentar, ini anak emang bodoh atau gimana? Kenapa ia milih menyembunyikan kepintarannya. “Aku sebenernya iri sama kamu Yo, kamu jago pelajaran menghitung. Sedangkan aku enggak pernah bisa dari dulu. Harusnya jika kamu punya kemampuan itu kamu harus menghargai dan memanfaatkannya.” Dira tak percaya bahwa ia telah mengucapkan kata-kata itu yang lantas disambut tatapan tajam dari mata Rio.
“Apa yang kamu pikirkan sampai kamu enggak mau orang tau kemampuanmu, kalau kamu terus menyembunyikan kemampuanmu. Kamu selamanya akan tejebak dalam sosok orang lain. kamu enggak bisa jadi diri kamu sendiri.” Dira berhenti sejenak untuk mengambil nafas, sebenarnya ia sudah tidak tahan ditatap dengan cara itu oleh Rio, namun entah dorongan dari mana ia mengatakan kata-kata itu. “Kamu seharusnya enggak jadi pengecut seperti ini Yo!” ucapnya akhirnya dapat mengeluarkan emosi yang siap merambat ke ubun-ubunnya. Bersambung

0 komentar:

Posting Komentar

 

Girl in the Rain Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos