Pertemuan ini resmi dimulai,
sebenarnya tak ada aba-aba resmi untuk pertemuan mingguan ini. Kami berempat
duduk di meja ini dengan segelas minuman yang kami pesan masing-masing, dan
selanjutnya akan kami hadapi selama berjam-jam yang akan datang sambil
mengobrol.
Pertemuan ini dihadiri oleh
empat orang terhitung denganku, seorang perempuan teman dekatku, seorang
laki-laki yang selalu berpikir bahwa dirinya keren, dan seorang lagi laki-laki
yang berperawakan misterius yang selalu menjadi magnetku. Sebenarnya aku tak
terlalu mengambil bagian dalam pertemuan ini, aku lebih banyak diam dan
terkadang ikut tertawa ketika mereka membicarakan hal lucu; aku layaknya hanya
sebagai aksesoris.
Aku ingat saat pertama kali
bertemu dengan mereka, saat itu temanku bilang bahwa dia akan menemui seorang
yang sangat penting bagi hidupnya. Dia yang mengenalkanku dengannya, tanpa dia
tahu bahwa diam-diam sebenarnya aku mulai mendekap bayangnya.
Kesan pertama, saat aku
melihatnya; dia menarik, misterius, pintar, dan wawasannya luas. Dia..
sempurna, setidaknya di mataku. Aku tak sadar jika sejak itu aku mulai
mengaguminya dan candu akan dirinya.
Setengah jam pertemuan ini sudah
berlangsung aku masih asik dengan diamku dan sesekali mencerna kata-kata yang
mereka bicarakan, sebenarnya dalam pertemuan ini yang banyak bicara hanya teman
perempuanku dan pria sok keren itu. Dia lebih banyak diam, mengangguk,
tersenyum, dan sesekali menimpali jika ada sesuatu yang menarik hatinya. Jangan
tertawa, tapi memang aku hampir hapal dengan gerak-geriknya. Itulah alasanku di
sini setelah pertemuan pertama kami, untuk melihat wajahnya, mendengar
suaranya, dan merekam gerak-geriknya untuk dijadikan bingkisan terindah di
malam menuju mimpi.
Aku tahu, teman perempuanku juga
sedang menyukainya. Walau sebenarnya aku tak pernah mendengar dari mulutnya
sendiri. Tapi aku cukup sadar untuk membaca gerak-gerik, perhatian, dan caranya
memandang laki-laki itu. Aku tahu benar.
Lihat sekarang malah aku yang
kecanduan akan laki-laki itu. Dia yang indah, mengagumkam, dan pintar. Dan
inilah masalahnya dia terlalu jauh dariku hingga aku terlalu sulit untuk
merengkuhnya. Hanya bayangnya yang dapat ku gapai tanpa jiwa maupun raga, semakin
aku mencoba untuk berlari padanya hanya luka yang kudapat, aku lelah dan
frustasi dengan diriku sendiri.
Kadang aku berpikir kenapa aku
menjadi seorang yang seperti ini? Terlalu pendiam, sukar berhubungan dengan
orang lain. Sometimes I am being
hating myself! Kenapa aku tak bisa
berubah normal seperti orang lain, walaupun sebenarnya aku mampu. Aku ingin
menjadi orang yang biasa-biasa saja yang dapat diterima orang lain, yang dapat
diterima olehnya.
Tapi sebenarnya dia tak pernah
melihatku seperti orang-orang lain yang menganggabku aneh. Dia biasa saja, dia
tersenyum, berbicara, dan memandang ku seperti orang lain. Sudah ku bilangkan
dia mengagumkan?
Tak seperti pria sok keren yang duduk
disebelahnya, yang sebenarnya dalam pertemuan-pertemuan kami hanya dia yang
mengambil alih pembicaraan dengan hal-hal yang dia ucapkan secara berlebihan,
aku akui dia memang tau tentang ini-itu, tapi kata-kata yang dikeluarkannya
terlalu pahit untuk ditelan mentah-mentah. Terlalu tajam lidahnya untuk
berbicara. Mungkin hatinya juga mati rasa, karena terkadang dia tak hirau jika
kata-katanya melukai hati orang lain.
Satu jam pembicaraan ini
mengalir seperti biasanya, aku tak terlalu menanggapi apa yang mereka bicarakan
walau sebenarnya ada beberapa hal yang lebih aku tahu tentang topik pembicaraan mereka. Aku terlalu takut
untuk mengeluarkan suara.
Dia. Seorang yang misterius itu
adalah fokusku setelah satu jam itu. Aku tak luput untuk memandang senyum
manisnya yang membuat wajah misterius itu menjadi imut seperti anak kecil.
Merekam setiap jengkal wajahnya yang selalu ku sukai, dagunya yang selalu
menjadi fokus tersendiri, dan untuk menggenggamnya erat, membekukannya dalam
hati sebagai kenangan terindah.
Aku hanya ingin merekam suara,
senyum, dan gerak-geriknya untuk terakhir kali. Dan berjanji tidak akan
menemuinya lagi, setelah ini. Untuk menyimpan perasaan ini sendiri, aku tahu
menghindarinya akan sulit. Tapi tak apa aku akan melakukannya, karena aku sadar
persahabatanku lebih penting, karena aku sadar dia terlalu jauuh untuh ku raih.
Dan aku memilih untuk MUNDUR...
20 Januari 2015

0 komentar:
Posting Komentar