Andai aku tak
pura-pura buta sejak dulu pasti semua tidak menjadi seperti ini…
Aku ingat
saat pertama kali mengenal laki-laki itu, sosoknya yang
baik dan ramah itu mampu melelehkan sikap dinginku. Awal yang canggung, karena aku orang yang sulit berkomunikasi
dengan lelaki, tapi senyum dan sapanya yang meluluhkan mampu membiusku menjadi sosok yang utuh.
Waktu terus berlalu. Setahun tak terkira kami saling mengenal, dia banyak tahu tentang aku.
Entah kenapa aku bisa mempercainya tentang cerita-cerita yang biasanya hanya kusimpan
sendiri. Tapi sejak pertemuan pertama kami aku bisa mendefinisikan bahwa aku
mengaguminya, aku suka wajah tampan dan senyum mempesona miliknya aku juga suka tubuh jangkung miliknya. Siapa yang tidak
menyukai perawakannya yang begitu mempesona? Banyak kaum perempuan yang
mengaguminya, aku tahu itu. Namun sikapnya yang biasa saja--yang tidak sok
keren--itu yang membuatnya benar-benar terlihat keren di mataku.
Aku tidak
tahu apakah kami memang ditakdirkan untuk bersama. Tahun berikutnya aku masih duduk di depannya seperti tahun kemarin. Dalam selang waktu
setahun itu aku lebih mengenalnya, dia sosok yang baik kepadaku.
Aku ingat dia yang sering memotivasi dan memberiku
nasehat untuk lebih semangat saat aku down,
dia yang sering memujiku saat aku mendapatkan nilai bagus atau atas ide yang
tercetus dari otakku. Dia yang sering mengorbankan diri atau lebih tepatnya
mengalah hanya untuk memberikan satu hal kepadaku. Aku tidak tahu apakah itu yang membuatku
merasakan perasaan yang lain setelah beberapa waktu itu. Dan sejak itu aku rasa
aku menyukainya.
Aku sangat senang ketika tiap pagi dia memberi senyum sapa saat aku datang, senang caranya memperlakukanku dan perhatian-perhatiannya.
Hingga aku buta—tak mau tau apapun
tentang segala hal tentang dia dan orang lain akupun juga mulai tak
memikirkan bahwa aku bisa terjatuh dengan terus seperti itu.
Dia sering
memberiku tumpangan saat pulang sekolah. Seperti hari itu, aku hampir hafal gerak-geriknya; sesaat
sebelum bel pulang berbunyi dia akan buru-buru mengemasi
barangnya dan setelah bel berbunyi dia bergegas mengenakan tasnya dan
mengajakku pulang bersama. Walaupun
barang-barangku masih berceceran di mana-mana, tapi dengan sabar dia akan
menungguku mengemasinya. Dan sejak rutinitas itu dimulai
sepertinya aku salah menafsirkan apa yang terjadi antara aku dan dia.
Aku tak
pernah membayangkan jika kemungkinan terburuk itu akan terjadi. Saat itu aku menolak ajakannya untuk pulang
bersama karena harus menyelesaikan tugas dari grup jurnalistik.
Saat aku melewati koridor samping lapangan parkir, aku melihat sosok lelaki itu bersama seorang perempuan. Aku mengenal perempuan yang sedang berdiri di depannya itu. Dia teman sekelasku, tempat duduknya tepat di
samping lelaki yang selama ini ku kagumi. Mereka tertawa bersama, entah apa yang sedang
mereka bicarakan.
Saat melihat itu aku merasa ada batu yang tertahan di tenggorokanku, hingga nafasku terasa sesak. Aku tak pernah melihat dia
seperti itu--aku
tak pernah melihat dia tertawa lepas seperti itu bersama perempuan. Dan saat itu aku sadar bahwa aku
cemburu dengannya, ada rasa kecewa dan marah. Namun tiba-tiba kenyataan
menyentakku--aku sadar aku bukan siapa-siapa baginya.
Seminggu setelah kejadian itu aku menghabiskan waktu untuk menyadari kebodohanku selama itu. Aku baru sadar jika sebenarnya lelaki itu
memang baik kepada siapapun, dia memang ramah dan sering menebarkan senyum-sapa pada siapa saja yang
ia kenal. Sikapnya yang dia tujukan padaku bukanlah hal istimewa karena dia
juga melakukan hal yang sama kepada orang lain. Aku salah mengartikan kebaikannya, aku yang
salah karena terlalu berharap dengannya.
Karena setelah seminggu
dari kejadian itu aku mendapat pukulan pahit; dia—orang yang kusukai
berpacaran dengan wanita yang kulihat seminggu lalu.
Dan. Sekarang aku terjatuh. Sendirian. Tenggelam dalam
kesalahanku…
14 Maret 2015

0 komentar:
Posting Komentar