POV Orang Ketiga
Pukul setengah delapan Shilla
sudah siap dengan pakain yang dia pikir tepat untuk dinner santai maupun
formal.
Otaknya penuh sesak dengan
pertanyaan apa sebenarnya yang diinginkan Cakka, kenapa dia menjadi berbeda?
Apa dia terlalu berlebihan menghindarinya?
Bel rumah berbunyi dan
sepertinya mamanya telah membukakan pintu. “Shill, udah ditunggu Cakka.” Kata
mama Shilla sambil mengetuk pintu kamar putrinya. Shilla tak menjawab tapi
sebagai gantinya dia segera keluar dari kamar dan berjalan turun menuju ruang
tamu.
“Langsung aja ya? Nanti keburu
kemalaman.” Kata Cakka saat Shilla menghampirinya. Shilla membalasnya dengan
mengangguk.
Cakka membukakan pintu untuk
Shilla dan segera duduk di kursi kemudi. Di perjalanan tak satupun yang angkat
bicara mereka berdua asik bergeming dengan pikiran masing-masing, suasana
canggung ini sangat kental. Hingga rasanya udara di sekitar mereka dapat diiris
dengan pisau.
Shilla tak tau kemana ia akan
dibawa, mereka sudah melewati perkotaan tapi tak satupun restoran atau warung yang
dimasukinya, namun setelah taman kota mobil itu melaju masuk ke dalam salah
satu kompleks. Shilla tak berani bertanya apapun pada Cakka, karena Cakka sejak
tadi seperti terlihat enggan dengannya.
Setelah tak berapa lama memasuki
kompleks itu, mobil itu berhenti di salah satu halaman rumah. Cakka mendahului
turun dan segera membukakan pintu untuk Shilla. “Maaf aku enggak bilang kamu
dulu. Hari ini mama aku ulang tahun, kita makan malam di rumahku kamu gapapa
kan?” tanyanya kemudian. Shilla mengangguk dan tersenyum, tentu saja itu tidak
apa-apa sudah lama Shilla tidak bertemu dengan Tante Ida , mama Cakka itu
adalah seorang ibu yang baik beliau juga salah satu teman dekat mamanya.
“Selamat Ulang Tahun tante.”
Ucap Shilla sambil memeluk Tante Ida saat beliau menyambutnya di ruang tamu.
“Ya ampun, ini Shilla? Udah tinggi banget ya sekarang, tambah cantik lagi.”
Jawab mama Cakka. “Ah.. bisa aja tante.” Jawab Shilla sambil tersenyum. “Cakka
sering cerita tentang kamu lho Shill, emang bener ya sekarang kamu jadi cantik
banget.” Ucap beliau. Shilla sedikit tersipu saat mendengar ternyata Cakka
sering menceritakannya kepada Tante Ida
Mereka bertiga kemudian menuju
ruang makan, di sana sudah tersaji beberapa makanan, yang ternyata dimasak
sendiri oleh Tante Ida.
“Makasih ya Shilla, udah mau
dateng ke sini. Tante seneng banget ada temennya ngobrol sesama cewek, di
keluarga ini kan tante yang cantik sendiri.” Ucap Tante Ida diiringi tawa
setelah mereka selesai makan.
“Hehe iya tante, saya juga seneng
kok bisa kumpul-kumpul lagi. Omong-omong Om Gub kemana tante?”
“Oh papanya Cakka hari ini baru
ada tugas di luar kota, jadi dia enggak bisa ikut ngerayain ulang tahun tante.”
Kemudian mereka asik melanjutkan obrolan mereka.
***
Pagi hari kemudian, semua
berjalan seperti biasa, hanya saja ada yang terasa asing dan mengganjal; sikap
Cakka. Dia begitu berbeda setelah makan malam semalam, dia seperti orang yang
sama sekali tak mengenal Shilla. Cakka tak pernah lagi mencoba untuk
mengajaknya makan di kantin seperti biasa, tak pernah menawarinya untuk pulang
bersama, tak pernah duduk di kursi Angel saat Angel latihan paduan suara. Semua
menjadi aneh, walaupun hanya Cakka yang berubah tapi bagi Shilla semuanya yang
berubah. Apa dia mulai terbiasa oleh Cakka? Ia tak mengerti tapi rasanya ia tak
rela jika semuanya tiba-tiba berubah.
Semua itu tak hanya terjadi satu
hari maupun dua hari, semua itu sudah berlangsung selama seminggu. Shilla
seperti kehilangan setengah dari jiwanya. Waktunya banyak ia habiskan untuk
melamun, Angel hingga bosan sendiri jika Shilla mulai tidak konsentrasi jika
diajak bicara.
“Kamu ada apa sih Shill?
Akhir-akhir ini nyawa kamu itu kayak enggak pada tempatnya, kamu sering
ngelamun.” Tanya Angel.
“Emm.. enggak kok. Emang aku
ngelamun terus ya?” hanya jawaban bodoh itu yang dia katakan pada Angel. “Iya.
Kalau ada masalah kamu kan bisa cerita sama aku, jangan dipendem sendiri gitu.”
Shilla diam sejenak menimang-nimang.
“Ngel, gimana perasaan kamu,
kalau orang yang kamu suka tiba-tiba ngehindari kamu? Dan setelah kamu pikir-pikir
ternyata dia ngehindar dari kamu juga karena kesalahan mu?” kata Shilla
kemudian.
Angel diam sejenak, sepertinya
ia mengerti maksud dari ucapan Shilla. Dia tahu orang yang Shilla maksud adalah
Cakka. “Aku pasti akan merasa frustasi, dan nyalahin diri aku sendiri.”
Jawabnya kemudian.
“Terus kamu bakal ngapain?”
Angel diam sebentar--berpikir. “Aku enggak tau, mungkin aku akan milih diam aja
tenggelam dalam rasa bersalah atau .. mungkin aku bakalan menyatakan perasaan
ku pada orang tersebut.” Shilla diam, wajahnya terlihat gamang. Diam saja dalam rasa bersalah..
sepertinya itu yang sedang ia lakukan sekarang. Apa ia harus menyatakan
perasaannya pada Cakka? Tapi itu sungguh tak mungkin, ia tak punya keberanian
untuk melakukan itu.
“Makasih Ngel. Udah mau dengerin
curhatanku.” Kata Shilla setelah otaknya tenang, setidaknya ia sudah merasa
lega karena telah mengatakan beban pikirannya pada orang lain.
*
Waktu terus berjalan, Shilla
masih dengan keputusan diamnya dan perlahan-lahan mencoba untuk ikhlas dengan
apa yang telah terjadi. Cakka tak berubah dia masih menjadi sosok asing bagi
Shilla ia tak pernah lagi mengirimi pesan maupun berbicara panjang padanya.
Tapi perasaan hampa itu masih saja bergelantung di sisi hati Shilla.
“Shill dicariin kak Gabriel tu.”
Kata Angel saat Shilla asik memainkan ponselnya. Shilla sontak tersenyum
mendengar nama itu disebut. Gabriel adalah kakak kelas Shilla dan sekaligus
tetangganya. Mereka sudah sejak kecil berteman baik, mereka selalu masuk di SD,
SMP, dan sekarangpun mereka di SMA yang sama. Sebenarnya umur mereka sama hanya
saja Gabriel lebih cepat setahun saat masuk SD, sehingga Shilla tak
memanggilnya Kak karena sejak kecil Gabriel sendiri yang ngotot enggak mau
dipanggil kakak oleh Shilla.
“Ke kantin yuk Shill.” Ajak
Gabriel ketika Shilla menghampirinya di depan kelas. Shilla membalasnya dengan
mengangguk dan tersenyum.
Orang yang tak tau jika ternyata
Shilla dan Gabriel adalah teman sejak kecil pasti sudah mengira jika mereka
adalah sepasang kekasih. Kenapa tidak? Beberapa hari ini mereka menjadi semakin
dekat. Mereka sering berangkat dan pulang sekolah bersama maupun ke kantin
bersama.
**
“Shill, sebenernya kamu ada apa
sih sama kak Gabriel? Kayaknya kalian lengket banget sekarang.” Tanya Angel
saat mereka pulang. Shilla yang mendengarnya seperti menahan tawa, ia geli
sendiri menebak-nebak apa yang sedang dipikirkan oleh Angel.
“Kamu pikir
aku ada apa sama Gabriel? Jangan aneh-aneh deh, dia kan temen kecilku, aku itu
udah nganggeb Gabriel kayak kakak kandung aku sendiri.” Hanya hening Angel
terlihat tidak percaya dengan jawaban yang didengarnya.
“Beneran? Tapi kalo aku lihat,
kak Gabriel mandang kamu itu enggak cuma sebagai adek kecilnya atau temen masa
kecilnya. Dia itu mandang kamu sebagai cewek; sebagai orang yang ia sukai.” jawaban
mengejutkan itu membuat Shilla berpikir lebih panjang.
“Shill, tapi kalo emang bener tebakanku ini; kalau kak Gabriel emang
beneran suka sama kamu dan kamu sama sekali enggak punya perasaan sama kak
Gabriek, sebaiknya kamu jangan ngasih harapan yang berlebihan deh sama kak
Gabriel, kasihan dianya.” lanjut Angel kemudian.
“Iya Ngel aku tahu kok.” Jawab Shilla kemudian. Ia mulai sadar
sepertinya ia tak terlalu peka terhadap perubahan Gabriel, sebenarnya memang
terlihat perubahan pada sikap Gabriel akhir-akhir ini dia lebih dewasa jika
dengannya. Sepertinya hatinya tidak bisa membaca akan tanda-tanda itu; hatinya
sudah dibutakan oleh satu nama itu; Cakka, hingga ia tak melihat apapun lagi di
hati dan di matanya.
**
Seminggu kemudian, masih saja Shilla terpikirkan oleh Cakka. Ia rindu
saat mereka berkirim pesan, saat mereka pulang bersama. Bagaimanapun melupakan
sesuatu yang sudah mulai melekat bukanlah hal yang mudah. Tak sadar ia mulai
menghela nafas berat yang sudah ke sekian kali
dilakukannya.
“Kamu ada apa sih Shill? Kayaknya ada yang dipikirin gitu.” tanya
Gabriel yang sadar akan tingkah Shilla, saat mereka pulang bersama waktu itu.
Shilla tersadar akan lamunannya, lalu menggeleng untuk memberi jawaban.
“Enggak kok Iel, Cuma banyak tugas aja. Bingung nanti mau mulai
ngerjain dari mana.” Kata Shilla berbohong untuk menutupi gejolak hatinya. “Aku
bantuin gimana? Gini-gini aku juga bisa kok ngerjain tugas kelas sebelas.”
Ucapnya sambil tersenyum manis pada Shilla.
Shilla menggeleng lagi dengan tersenyum. “Enggak usah, aku bisa sendiri
kok. Kamu kan udah mau Ujian Akhir.” Gabriel hanya tersenyum mengalah.
Sore itu sepulang sekolah mereka mampir makan siang dulu di salah satu
restoran. Sebenarnya ini tidak asing, karena mereka sudah kerap sekali
melakukan rutinitas ini.
“Shill, aku mau bilang sesuatu sama kamu.” Kata Gabriel ketika mereka
sudah selesai makan dengan ekspresi serius. Seketika suasana diantara mereka
menjadi sedikit canggung. Shilla terlihat seperti sedikit berantisipasi,
sepertinya ia mengerti apa yang akan terjadi.
“Mm.. aku pengen ngaku sama kamu.” Gabriel diam sesaat sepertinya ia
sedang mengumpulkan keberaniannya. Setelah berdehem sekali lalu dia
melanjutkan. “Shill, sebenernya aku suka sama kamu.” Wajahnya terlihat tegang
ketika kata-kata itu berhasil keluar dari mulutnya.
Shilla hanya bergeming, suasana diantara mereka semakin canggung,
mereka berdua diam menggantung. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing dan
bersiap mengantisipasi apapun yang akan terjadi.
“Maaf .. tapi aku enggak bisa nerima perasaan kamu.” jawab Shilla
kemudian. Raut wajah Gabriel terlihat kaget. “Bukan karena aku enggak suka
kamu. Aku suka kamu, aku sayang kamu tapi sebagai kakak. Aku udah nganggeb kamu
itu sebagai kakak kandung aku.”
Shilla diam sesaat menerawang dan menarik nafas. “Hubungan itu enggak
akan berjalan baik, jika kedua pihak tak saling suka kan?” Katanya kemudian.
Gabriel menghela nafas kemudian mengangguk tanda mengerti.
“Sekali lagi aku minta maaf ya Iel.” Bersambung
0 komentar:
Posting Komentar