Kamis, 22 Januari 2015

Garis Waktu (2)

Diposting oleh Girl in the Rain di 05.09
“Kamu seharusnya enggak jadi pengecut seperti ini Yo!” ucapnya akhirnya dapat mengeluarkan emosi yang siap merambat ke ubun-ubunnya.
“Peduli apa kamu sama apa yang aku lakukan?! Tidak ada orang yang peduli denganku enggak juga kamu maupun mamaku. Sekalipun kamu satu-satunya anak di sekolah yang kuberi tahu kemampuanku.” Ucapnya kemudian bergegas pergi dengan memberesi barang-barangnya dengan kasar dan segera pamit pada mamanya Dira untuk segera pulang.
Dira hanya menarik nafas panjang, dia tidak peduli apa yang telah dia katakan sebelumnya. Ia merasa lega telah menyampaikan beban hatinya pada Rio. Dia melihat kertas hasil kerja Rio, ternyata semua soal telah dikerjakannya dengan rapi dan jelas sampai nomor terakhir. Sungguh tidak mencerminkan ciri-ciri Rio selama ini. Kenapa ia lebih memilih memakai topeng buruknya itu?

Esoknya di sekolah. Rio bersikap biasa saja kepada Dira. Sejam pelajaran pertama ia habiskan seperti biasa untuk tidur. Jam kedua adalah pelajaran matematika tak disangka Pak Duta mengadakan ulangan dadakan. Rio dengan santai tapi pasti mengerjakan tugas-tugas itu, dia mulai tersulut dengan ucapan Dira kemarin, ia bertekad untuk membuktikan pada Dira bahwa dia bukanlah seorang yang pengecut.
Sedangkan Dira ia sedikit kewalahan, namun dengan pasti dapat menemukan semua jawaban dari soal-soal yang diberikan Pak Duta. Sebenarnya ia kemarin mempelajari pekerjakan Rio yang lebih mudah untuk dipahami daripada buku modulnya yang serasa belibet.
Setelah semua lembar ulangan dikumpulkan tiba-tiba Rio berkata pada Dira. “Aku akan buktiin sama kamu bahwa aku bukan pengecut.” Lalu dia tersenyum puas kepada Dira. Dira hanya menatapnya bingung, namun samar ia tersenyum.

Seminggu ini, semua berjalan lebih baik. Nilai-nilai Rio mulai mengalami peningkatan. Hubungan Dira dengan Rio juga semakin membaik. Mereka malah sering pulang bersama. Terkecuali sore ini, kali ini Dira berjalan sendiri menuju lapangan parkir karena Rio baru saja dipanggil oleh Bu Juni.
Saat Dira melewati koridor kelas yang sepi, tiba-tiba ada tiga cowok yang menghadanganya.
“Dira, aku anter pulang yuk?” ucap salah satu dari mereka. Dira hanya diam jantungnya mulai berdegub kencang, dia mulai ketakutan. “Ayolah Dir, aku anak baik-baik kok.” Tanpa dia ngomong kayak gitupun Dira sudah tau kalau anak itu adalah salah satu berandalan di sekolah ini. Sebelum Dira ingin melarikan diri, tiba-tiba ada seseorang yang menarik pergelangan tangannya dan menempatkannya di belakang tubuhnya.
“Jangan gangguin dia!” teriaknya pada tiga cowok-cowok itu. “Oh.. jadi sekarang kamu udah jadi anak baik-baik ya, Yo. Dan kamu pikir kamu lebih berhak untuk deketin Dira?” ucap salah satu dari mereka yang tadinya menggoda Dira. “Itu bukan masalahnya. Aku enggak mau kalian nganggep Dira buat maen-maen.”
“Oh.. jadi sekarang kamu mau jadi pahlawan? Yaudah kita tanding satu lawan satu buat buktiin kalau kamu pantes jadi pahlawan.”
Emosi Rio tersulut, dia sudah menahan kepalan tinjunya yang siap melayang ke wajah cowok itu. Saat musuhnya itu mulai menonjok perutnya, kesabaran Rio sudah tak bisa dibendung lagi. Dia menghabisi musuhnya itu hingga babak belur. Dira tertegun ketakutan, bingung harus melerai bagaimana. Pertarungan itu baru berhenti setelah Bu Juni datang melerai mereka dan membawa mereka menuju ruang BP.

Paginya, Dira berangakat sendiri untuk menuju sekolah. Sepertinya Rio mendapat skorsing akibat perkelahiannya dengan cowok itu kemarin. Saat jam pelajaran matematika, hasil ulangan mereka dibagikan Dira tidak menyangka jika ia dapat meraih nilai yang bagus seperti ini sekalipun nilai itu tak sempurna 90 nilai yang didapatkannya.
“Kali ini ada yang mendapatkan nilai sempurna yaitu 100 satu anak, dia banyak berubah akhir-akhir ini. Dan bapak sangat bersyukur tentang itu. Karena anak ini kali ini sedang tidak masuk, hasil ulangnnya akan Bapak titipkan pada teman sebangkunya. Ini Dira, berikan pada Rio ketika dia sudah masuk.” Ucap Pak Duta.
Dira mengambil hasil ulangan itu dan menatap kertas itu dengan kagum. Dia tak menyangka ternyata Rio mampu berubah menjadi lebih baik seperti ini. Dia bangga pada Rio.
Dan tak disadarinya akhir-akhir ini ia kerap sekali memikirkan Rio. Memikirkan perhatian-perhatian kecil yang diberikan Rio padanya. Tentang pertemuan pertama mereka. Tentang sikap manisnya yang angin-anginan dan semua hal tentang Rio. Dia tidak tahu perasaan apa yang mulai tumbuh terhadap Rio, entah mungkin ia mulai menyukai Rio.

Sepulang sekolah Dira ingin segera menyampaikan berita mengembirakan itu kepada Rio. Setelah berganti pakaian ia bergegas menuju rumah Rio.
Dia dengan tak sabaran mengetuk pintu rumah Rio, beberapa saat tidak ada jawaban dari dalam. Dira menghela nafas sejenak sebelum membalik badan untuk kembali. Tiba-tiba terdengar pintu rumah terbuka, Dira tersenyum dan segera membalikkan tubuh. Tapi bukanlah Rio kali ini yang membukakan rumah. Seorang wanita tua setengah baya yang berdiri di depan pintu.
“Cari siapa?” kata wanita itu.
“Em.. Rio nya ada?” katanya sedikit gugup. Wanita itu hanya memandangnya dalam. “Kamu temannya Rio ya? Silahkan masuk dulu.” Ucapnya lembut, Dira baru sadar jika dilihat-lihat mata wanita itu merah seperti habis menangis. Dira mengikutinya ke dalam rumah.
“Oh iya kamu belum tau saya ya. Saya mamanya Rio. Kamu Dira kan?” Dira mengangguk dan tersenyum kepada mamanya Rio itu. Memang baru kali ini Dira melihat mamanya Rio secara langsung, dia hanya pernah melihat foto-foto keluarga Rio di dinding rumah Rio tanpa pernah tahu papa dan mama Rio yang sebenarnya. Rio tidak pernah memberi tahu tentang keluarganya sedangkan Dira tidak berani mengorek-orek tentang masalah pribadinya.
“Kamu tahu kan kalau Rio itu di sekolah jadi salah satu anak bandel selama setahun belakangan ini?” Ucap beliau dengan nada getir. Dira hanya mengangguk, tidak tahu ke arah mana pembicaraan ini akan berjalan. “Mungkin semua perubahannya itu diakibatkan oleh kesalahan saya; sebagai ibunya. Saya tau selama ini saya kurang perhatian dengan Rio. Tapi sungguh saya melakukan semua ini juga untuk kebaikan Rio.” Ucapnya sambil menerawang, Dira diam sambil mendengarkan baik-baik setiap ucapan yang keluar dari mulut beliau.
“Setelah semua kejadian pahit itu, mungkin membuat kehidupan Rio hancur, ini mungkin juga karena kesalahan saya.” Ucapnya bergetar dan mulai menitikkan air matanya. “Dulu waktu ujian kelulusan SMP semua masalah itu memuncak. Papanya Rio memutuskan untuk bercerai dengan saya. Kami telah mencoba mencari jalan untuk berdamai, namun semua jalan itu tidak bisa menghasilkan jalan keluar. Mungkin saat itu kami memang benar-benar egois. Masalah itu yang mulai mengacaukan kehidupan Rio.” Mama Rio sudah mulai menagis saat menceritakan itu, Dira sedikit bingung mengatasi atmosfer kecangguan itu.
“Mimpi-mimpi Rio yang telah dibangunnya sejak lama, ia putuskan untuk menghancurkannya. Dari kecil dia bermimpi untuk menjadi lecture atau vendor di bidang komputer. Dia ingin kuliah di jurusan Ilmu Komputer. Sejak kelas 9 dia sudah mempersiapkan targetnya untuk memasuki SMA pilihannya.” Mama Rio berhenti untuk mengambil nafas. “Hingga akhirnya malam di hari akan berlangsungnya ujian akhir kelulusan SMP, papanya Rio memutuskan untuk bercerai dengan saya dan pergi meninggalkan kami. Rio yang tak tau apa-apa sebelumnya, tertekan. Semalaman ia tidak keluar dari kamar. Dan paginya ia mengerjakan soal ujiannya dengan asal-asalan.” Dira mulai bisa menghubungan alur cerita itu, dan dapat menyimpulkan kenapa Rio menjadi sosok yang seperti itu sekarang ini.
“Akibat dari itu nilai dia turun drastis dari ujian-ujian sebelumnya. Tak ada satupun SMA yang ditargetkannya dapat dimasukinya. Dia mulai menutup diri, jadi sosok yang beda dari dia sebelumnya.” Beliau menatap Dira beberapa saat.
“Saya tau dia masih marah sama saya, tapi saya sudah buntu bagaimana menyakinkan pada Rio, bahwa saya benar-benar peduli kepadanya. Sejak dia bertemu kamu, sikap dia mulai berubah. Kamu bisa mengubah Rio jadi betah di rumah dan nilainya mulai naik. Saya benar-benar berterimakasih sama kamu, Dira.”
Dira tertegun beberapa saat. Dia hanya bisa mengangguk. Dan mengeluarkan selambar kertas hasil ulangan matematika Rio. “Ini tante saya titip untuk Rio.” Mama Rio menatap tak percaya pada angka seratus yang tertera di lembaran putih itu. Ada rasa kagum dan bahagia di sinar matanya. “Sudah lama sekali saya tidak melihat nilai matematika Rio seratus, saya benar-benar berterima kasih kepada kamu. Karena telah mampu menyadarkan Rio dari keburukannya.”
“Iya tante, sebagai teman saya akan tetap melakukan itu demi kebaikan Rio.”
“Oh iya, sebaiknya kamu susul Rio. Tadi dia pergi sesudah bertengkar dengan saya, mungkin dia pergi ke lapangan dekat taman di ujung kompleks ini. Ia sering pergi ke sana jika suasana hatinya sedang buruk. Pergilah menemuinya.” Kata mama Rio akhirnya.
Dira bangkit setelah pamit untuk menemui Rio. “Eh Dira lebih baik kamu berikan ini sendiri kepada Rio.” Ucap beliau sambil menyodorkan lembaran ulangan itu kepada Dira. Dira mengangguk, dan mengambil lembaran itu.

Dira segera menemui Rio sebelum langit gelap. Hanya butuh kurang dari lima menit untuk dapat mencapai taman di ujung kompleks ini. Benar Rio sedang duduk melamun di salah satu tepi lapangan. Dira berjalan dengan hati-hati menghampirinya, tapi berhenti beberapa meter dibelakangnya sambil mengamati punggung Rio.
“Duduk Dir, jangan berdiri terus di situ.” Kata Rio setelah beberapa lama Dira berdiri di belakangnya. Dira terkejut, setaunya Rio dari tadi tak pernah memperhatikannya sama sekali. Setelah sadar Dira segera duduk di sebelah Rio.
“Aku mau ngasih ini.” Kata Dira sambil menyodorkan lembaran hasil ulangan itu kepada Rio. “Selamat, dan terimakasih berkat kamu aku dapat nilai yang bagus.” Ucap Dira tulus.
Rio diam dan tertegun melihat nilai yang tertera di lembaran itu. “Sudah lama sekali aku tak pernah mendapatkan nilai sempurna, terakhir sepertinya sejak Ujian Akhir waktu SMP.” Hanya hening beberapa saat, Dira lebih memilih untuk mendengarkan ucapan Rio.
“Aku udah lupa gimana rasanya bisa ngebanggain orang tua. Aku lupa gimana ekspresi papa dan mama waktu aku dapet juara.” Ia menghela napas sejenak. “Mungkin aku anak yang kurang ajar, aku selalu saja menyalahkan mama dan papa karena mereka bercerai. Aku enggak bisa menerima perpisahan mereka hingga akhirnya aku selalu menyalahkan mama yang lebih memilih pekerjaannya daripada ngurusin aku.” Nafas Rio  mulai tak beraturan seakan dia sedang menata gejolak amarah yang sedang membara di dadanya. “Aku tau mama sebenarnya peduli sama aku, dia kerja kayak gitu juga buat aku. Tapi kenapa aku malah jadi anak kurang ajar seperti ini. Aku malu sama diri aku sendiri!” Ia kemudian menelungkupkan kepalanya pada kedua lututnya.
Dira memberi waktu pada Rio untuk menata hatinya. Setelah beberapa saat dia mulai angkat bicara. “Kamu enggak jahat Rio, kamu cuma butuh ngerubah cara berpikir kamu. Bagus kalau kamu udah tau kalau tindakan kamu itu salah dan kamu sudah bisa menerima perpisahan mama dan papamu.”
Hening beberapa saat. Rio mencoba mencerna kata-kata Dira barusan. “Iya kamu benar. Dan aku harus meminta maaf pada mama.” Kata Rio akhirnya. Dira mengangguk mantap dan tersenyum tulus sekaligus bangga kepada Rio.

Senja semakin menua, warna ungu semakin menguasai langit mengalahkan warna orange yang semakin menyipit. Mereka masih terpaku mengamati langit senja itu. Entah, berkelana dengan pikiran masing-masing. “Aku ..” suara Rio terdengar tercekat. “Aku suka sama kamu Dir.” Dira menatap Rio seakan meyakinkan bahwa barusan Rio sedang tidak bercanda. Tetapi Rio malah menatapnya tepat di matanya seakan meyakinkan bahwa dia sungguh-sungguh menyatakan perasaannya itu.
“Aku enggak tau sejak kapan perasaan ini muncul, entah sejak kamu berjalan menuju meja kita pada hari pertama kamu masuk sekolah atau saat kamu mengatakan bahwa aku pengecut. Aku enggak tau. Aku enggak tau kenapa aku suka sama kamu, yang aku tahu aku bisa jadi diri aku sendiri saat bersama kamu.” Ucapnya panjang lebar yang berhasil membuat jantung Dira berdegub sangat kencang.
Hanya diam beberapa saat Dira bingung harus bagaimana, hingga akhirnya dia memutuskan untuk memberitahu perasaannya juga. “Aku juga suka sama kamu, Yo. Entah sejak kapan. Tapi, sejak kamu nolongin aku saat aku digangguin cowok itu aku baru sadar akan perasaan ku kalau aku suka sama kamu.”
Rio memandang Dira tidak percaya. Lalu ia menggenggam erat-erat tangan Dira. “Selama ini aku enggak tau gimana caranya nyatain perasaanku ke kamu. Tapi kamu harus percaya; I love you not for what you are, but for what I am when I am with you.” Kata Rio kepada Dira. Dira mengangguk dan tersenyum. “Aku tahu. I love you too, Rio.”

Mereka segera kembali ke rumah mereka setelah matahari sempurna tenggelam. Dira meyakinkan Rio. “Kamu pasti bisa, Yo. Semuanya akan baik-baik saja. Percayalah.”

***

                Setahun kemudian Dira, Rio, dan teman-teman seangkatan lainnya merayakan kelulusan mereka. Sekolah mereka lulus seratus persen. Mengejutkan untuk Rio, nilai dia sangat memuaskan hampir sempurna. Rio pun dapat melanjutkan cita-citanya dari kecil ia berhasil masuk di universitas terbaik jurusan ilmu komputer. Sedangkan Dira memutuskan untuk mengambil jurusan Psikologi di universitas yang sama dengan Rio. Mereka berjanji untuk meraih sukses bersama.


Dunia akan terasa gelap jika kau hanya memutuskan jalan di tempat. Kau hanya perlu membuka mata dan tunjukkan--dirimu yang sesungguhnya. Dan kau hanya butuh seseorang yang tepat...

0 komentar:

Posting Komentar

 

Girl in the Rain Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos