Kamis, 02 April 2015

Surat ke-seratus

Diposting oleh Girl in the Rain di 22.16
Tidak semua yang kau baca itu tentangku.

Surat-surat itu adalah saksi bisu seberapa dalamnya perasaanku selama ini...

                Tiga tahun. Lebih dari seperempat dekade. Tiga puluh enam bulan. Dan entah sudah berapa jam, menit, dan detik telah aku habiskan untuk menunggunya; mengaguminya. Dalam waktu itu, banyak kata yang tak tersampaikan untuknya. Seorang yang telah membuatku mematung tanpa mau tahu tentang lini masa.
                Aku tak pernah menghitung sudah berapa banyak surat yang kutulis selama itu, karena aku yakin perkembangan surat-surat itu lebih cepat dari perkembangbiakan nyamuk yang bersarang di kolam-kolam.
                Surat-surat itu berkembang bersama rintik hujan, lirik lagu, sajak puisi, dan kutipan novel. Yang acap kali mengingatkanku pada sosoknya—mengulang kenangan tentang kami yang sering menerobos masuk dan memaksa jemari untuk terus menulis.
                Surat yang terdiri dari sebaris kata hingga berlembar-lembar halaman yang tak pernah sampai pada alamatnya. Bukan karena alamat yang tak lengkap bukan juga karena pos yang tak sampai. Hanya saja selama ini aku tak punya cukup keberanian untuk mengirim sejuta surat itu untuk pemilik nama yang selalu tertera di akhir surat itu.
                Jarak kami tak lebih dari seratus meter; tepatnya dua puluh langkah untuk dapat menjangkaunya. Ruang yang singkat dan tak ada waktu yang memisahkan kami.
---
                Surat pertama tertanggal saat kita saling beradu pandang untuk pertama kalinya. Kali itu aku dilanda cinta buta pada pandangan pertama. Cinta monyet yang terlalu malu untuk mengakuinya.
                Tapi aku yakin itu bukan hanya cinta monyet yang mudah hilang. Dia sempat datang dan pergi dalam kehidupanku. Setahun dia kembali pulang, aku tetap setia menunggunya perasaanku tak berubah malah semakin dahsyat. Saat dia kembali semuanya belum berubah, perasaanku mulai bertambah. Bukankah cinta tumbuh karena terbiasa?

                Surat itu yang menginduki berpuluh-puluh surat yang berserakan di mana-mana. Aku menulis surat itu bukan untuk berbicara padanya aku hanya ingin berbicara pada diriku sendiri. Menceritakan segala hal yang sebenarnya tak bisa kubagi pada siapapun. Merenungkan, menelaah, menafsirkan, dan meminda segala hal yang sebenarnya hanya kumengerti sendiri.
                Terkadang pada suatu titik kulminasi, aku sudah tidak tahan lagi untuk menyimpan semua itu sendirian—terkadang aku ingin mengatakan semua hal yang selama ini hanya dapat kuceritakan pada kertas lewat goresan tinta—dengan sosok asli harapanku.

                Tapi aku tak bisa. Harapanku sebenarnya bukanlah seorang yang pantas untuk diharapkan. Dia tak pernah menginginkanku. Dia tak pernah menyimpanku sedetikpun di hatinya. Tiga tahun kami hanyalah serangkain waktu yang mudah dilupakan, karena aku bukanlah sosok istimewa di matanya.
Dia tak pernah mengatakannya. Tapi aku cukup sadar untuk mengetahuinya dari segala tingkah polah yang dia tunjukkan. Ya. Aku tau kita tidak boleh melihat suatu hal hanya dari satu sisi, tapi aku terlalu takut untuk jatuh karena kenyataan yang sebenarnya tak pernah kuharapkan. Sehingga aku terbiasa menyimpulkan segala sesuatunya dari segi pikiranku sendiri.
---
                Surat-suratku memasuki tahun ketiga. Aku tak pernah lagi membaca ulang surat-surat lampau ku yang menceritakan betapa senangnya perasaan yang selama ini sudah kutanggung.
                Suratku pada tahun ketiga lebih mengarah pada keputus-asaan ku, tentang sikap acuhnya, pengabaian samarnya, dan penghindaran yang selama ini hanya ku lihat secara tak kasatmata.
                Tiga tahun waktu yang cukup lama untuk melihat perkembangan dan pertumbuhan nya di waktu remaja. Aku bisa melihat perbedaan postur tubuhnya yang mulai berubah dari tahun ke tahun, pola berpikirnya yang mencuat jauh dari kali pertama kami bertemu. Dan ku akui dia memang bertambah tampan, tinggi, dan mengagumkan.
Namun buruknya dia mulai berubah. Berubah menjadi sosok lain dari kali pertama kami bertemu; menjadi sosok asing. Dia tak lagi mengenalku tapi aku tetap yakin bahwa aku memang pernah benar-benar mengenalnya.
---
                Dia tak tahu seberapa besar dulu hingga sekarang perasaan yang telah kusimpan untuknya. Dan suatu saat berharap dapat tersampaikan dengan manis. Mendamba perasaan yang terbalas dan akhir yang bahagia.
                Dia tak tahu, bahwa di sini ada aku yang mau menerima dia apa adanya. Tanpa dia harus berubah menjadi orang lain untuk tampak memukau.

                Dan setelah tiga tahun ini aku memutuskan untuk ... BERPISAH. Ya. Aku akan melakukan perpisahan—yang kulakukan sendiri. Perpisahan pada perasaanku sendiri, merelakan perasaanku pergi tanpa balas yang selalu ku damba. Merelakan dia pergi sesuai apa yang dikehendakinya.
                Aku tahu perpisahan sendiri itu lebih sulit dan menyakitkan. Tidak ada yang mengatakan bahwa; cukup hubungan ini berakhir di sini. Atau tangis dan benci yang membuatmu kaku untuk berbalik. Atau malah janji manis yang terucap agar tidak berpaling. Itu semua tidak ada, yang ada hanya keberanian untuk berkomitmen pada diri sendiri; berjanji pada diri sendiri. Dan berani menanggung segala beban perih sendiri. Aku tahu betul sakitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.
Aku tak pernah memaksa bukan? Biar aku yang sakit, hingga perih ini luruh untuk menemukan muaranya. Beradu menjadi satu untuk dapat diikhlaskan.
                Tidak apa untuk sementara waktu aku hidup dengan penyesalan (lagi), mengenang segala yang telah terjadi—mengecap pahit-manis kenangan yang ditakdirkan tak pernah hilang dan mengakhiri seluruh surat ku yang keseratus dengan perpisahan.
“Semoga kau bahagia kelak dengan yang kau harapkan...”

Untuk dia :
Ini surat ku yang ke seratus dan terimakasih telah mengisi hari-hariku selama tiga tahun silam. Banyak kenangan yang telah kau berikan. Kau mampu membuatku  tertawa, mengenalkanku pada kesedihan dan kekecewaan & mengajariku untuk tetap tegar dan terus berdiri menghadapi perasaanku sendiri. Terima kasih. Semoga kita tetap bisa menjadi teman seperti sebelumnya tanpa rasa sakit yang terus menyiksa..


 2012 – 2015



Kamis/02042015

1 komentar:

Unknown on 4 April 2015 pukul 01.30 mengatakan...

mjb bgt cahya, persis sama masa laluku :'(

Posting Komentar

 

Girl in the Rain Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos