Tidak semua yang kau baca itu tentangku.
Surat-surat itu adalah saksi bisu seberapa
dalamnya perasaanku selama ini...
Tiga tahun. Lebih dari
seperempat dekade. Tiga puluh enam bulan. Dan entah sudah berapa jam, menit,
dan detik telah aku habiskan untuk menunggunya; mengaguminya. Dalam waktu itu,
banyak kata yang tak tersampaikan untuknya. Seorang yang telah membuatku
mematung tanpa mau tahu tentang lini masa.
Aku tak pernah menghitung sudah
berapa banyak surat yang kutulis selama itu, karena aku yakin perkembangan
surat-surat itu lebih cepat dari perkembangbiakan nyamuk yang bersarang di
kolam-kolam.
Surat-surat itu berkembang
bersama rintik hujan, lirik lagu, sajak puisi, dan kutipan novel. Yang acap kali
mengingatkanku pada sosoknya—mengulang kenangan tentang kami yang sering
menerobos masuk dan memaksa jemari untuk terus menulis.
Surat yang terdiri dari sebaris
kata hingga berlembar-lembar halaman yang tak pernah sampai pada alamatnya.
Bukan karena alamat yang tak lengkap bukan juga karena pos yang tak sampai.
Hanya saja selama ini aku tak punya cukup keberanian untuk mengirim sejuta
surat itu untuk pemilik nama yang selalu tertera di akhir surat itu.
Jarak kami tak lebih dari
seratus meter; tepatnya dua puluh langkah untuk dapat menjangkaunya. Ruang yang
singkat dan tak ada waktu yang memisahkan kami.
---
Surat pertama tertanggal saat
kita saling beradu pandang untuk pertama kalinya. Kali itu aku dilanda cinta
buta pada pandangan pertama. Cinta monyet yang terlalu malu untuk mengakuinya.
Tapi aku yakin itu bukan hanya
cinta monyet yang mudah hilang. Dia sempat datang dan pergi dalam kehidupanku.
Setahun dia kembali pulang, aku tetap setia menunggunya perasaanku tak berubah
malah semakin dahsyat. Saat dia kembali semuanya belum berubah, perasaanku
mulai bertambah. Bukankah cinta tumbuh karena terbiasa?
Surat itu yang menginduki
berpuluh-puluh surat yang berserakan di mana-mana. Aku menulis surat itu bukan
untuk berbicara padanya aku hanya ingin berbicara pada diriku sendiri.
Menceritakan segala hal yang sebenarnya tak bisa kubagi pada siapapun. Merenungkan,
menelaah, menafsirkan, dan meminda segala hal yang sebenarnya hanya kumengerti
sendiri.
Terkadang pada suatu titik kulminasi, aku sudah tidak tahan
lagi untuk menyimpan semua itu sendirian—terkadang aku ingin mengatakan semua
hal yang selama ini hanya dapat kuceritakan pada kertas lewat goresan tinta—dengan
sosok asli harapanku.
Tapi aku tak bisa. Harapanku
sebenarnya bukanlah seorang yang pantas untuk diharapkan. Dia tak pernah
menginginkanku. Dia tak pernah menyimpanku sedetikpun di hatinya. Tiga tahun
kami hanyalah serangkain waktu yang mudah dilupakan, karena aku bukanlah sosok
istimewa di matanya.
Dia tak pernah mengatakannya. Tapi aku cukup sadar untuk mengetahuinya
dari segala tingkah polah yang dia tunjukkan. Ya. Aku tau kita tidak boleh
melihat suatu hal hanya dari satu sisi, tapi aku terlalu takut untuk jatuh
karena kenyataan yang sebenarnya tak pernah kuharapkan. Sehingga aku terbiasa
menyimpulkan segala sesuatunya dari segi pikiranku sendiri.
---
Surat-suratku memasuki tahun
ketiga. Aku tak pernah lagi membaca ulang surat-surat lampau ku yang
menceritakan betapa senangnya perasaan yang selama ini sudah kutanggung.
Suratku pada tahun ketiga lebih
mengarah pada keputus-asaan ku, tentang sikap acuhnya, pengabaian samarnya, dan
penghindaran yang selama ini hanya ku lihat secara tak kasatmata.
Tiga tahun waktu yang cukup lama
untuk melihat perkembangan dan pertumbuhan nya di waktu remaja. Aku bisa
melihat perbedaan postur tubuhnya yang mulai berubah dari tahun ke tahun, pola
berpikirnya yang mencuat jauh dari kali pertama kami bertemu. Dan ku akui dia
memang bertambah tampan, tinggi, dan mengagumkan.
Namun buruknya dia mulai berubah. Berubah menjadi sosok lain dari kali
pertama kami bertemu; menjadi sosok asing. Dia tak lagi mengenalku tapi aku
tetap yakin bahwa aku memang pernah benar-benar mengenalnya.
---
Dia tak tahu seberapa besar dulu
hingga sekarang perasaan yang telah kusimpan untuknya. Dan suatu saat berharap
dapat tersampaikan dengan manis. Mendamba perasaan yang terbalas dan akhir yang
bahagia.
Dia tak tahu, bahwa di sini ada
aku yang mau menerima dia apa adanya. Tanpa dia harus berubah menjadi orang
lain untuk tampak memukau.
Dan setelah tiga tahun ini aku
memutuskan untuk ... BERPISAH. Ya. Aku akan melakukan perpisahan—yang kulakukan sendiri. Perpisahan pada perasaanku sendiri, merelakan
perasaanku pergi tanpa balas yang selalu ku damba. Merelakan dia pergi sesuai
apa yang dikehendakinya.
Aku tahu perpisahan sendiri itu
lebih sulit dan menyakitkan. Tidak ada yang mengatakan bahwa; cukup hubungan
ini berakhir di sini. Atau tangis dan benci yang membuatmu kaku untuk berbalik.
Atau malah janji manis yang terucap agar tidak berpaling. Itu semua tidak ada,
yang ada hanya keberanian untuk berkomitmen pada diri sendiri; berjanji pada
diri sendiri. Dan berani menanggung segala beban perih sendiri. Aku tahu betul
sakitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.
Aku tak pernah memaksa bukan? Biar aku yang sakit, hingga perih ini luruh
untuk menemukan muaranya. Beradu menjadi satu untuk dapat diikhlaskan.
Tidak apa untuk sementara waktu
aku hidup dengan penyesalan (lagi), mengenang segala yang telah terjadi—mengecap
pahit-manis kenangan yang ditakdirkan tak pernah hilang dan mengakhiri seluruh
surat ku yang keseratus dengan perpisahan.
“Semoga kau bahagia kelak dengan
yang kau harapkan...”
Untuk dia :
Ini surat ku yang ke seratus dan terimakasih
telah mengisi hari-hariku selama tiga tahun silam. Banyak kenangan yang telah
kau berikan. Kau mampu membuatku tertawa,
mengenalkanku pada kesedihan dan kekecewaan & mengajariku untuk tetap tegar
dan terus berdiri menghadapi perasaanku sendiri. Terima kasih. Semoga kita tetap
bisa menjadi teman seperti sebelumnya tanpa rasa sakit yang terus menyiksa..
2012 – 2015
Kamis/02042015

1 komentar:
mjb bgt cahya, persis sama masa laluku :'(
Posting Komentar