Dia benci hidupnya. Dia sudah tak pernah mau
memperdulikan apapun lagi semenjak hidupnya hancur berantakan. Ia akan
melakukan apapun, selama ia merasa bahwa itu benar di matanya. Sampai dia
akhirnya menemukan seseorang yang mampu mengetuk pintu hatinya.
Rio sudah sangat akrab dengan masalah. Sudah
berkali-kali ia berurusan dengan guru BP dan wali kelasnya. Sudah tak terhitung
berapa kali ia mendapatkan skorsing. Kali ini dia menonjok hidung salah satu
siswa SMA lain hingga tulang hidungnya remuk, hal inilah yang membuatnya
berurusan dengan wali kelasnya lagi.
“Kali ini apalagi yang kamu
perbuat Yo? Kamu ingin ibu keluarkan atau skorssing untuk kali ini?” tanya Bu
Juni wali kelasnya. “Tapi, kali ini bukan saya yang cari masalah Bu!” ucapnya
seakan menekan emosi yang sedang meluap di dadanya. Dia memang murid berandal
tapi bukan berarti dia menginginkan untuk di keluarkan dari sekolah, dia masih
punya keinginan untuk tetap bersekolah walau entah apa yang akan dia lakukan di
sekolah.
“Ibu tidak peduli siapa yang
memulai duluan, tapi seharusnya kamu tidak melawannya dengan kekuatan otot
seperti itu, kamu lebih baik menyelesaikannya dengan otak--secara baik-baik.”
Rio
mengepalkan tangannya menahan emosi yang siap meluap, ia ingin menjawab
komentar wali kelasnya itu, tapi ia pikir mau dia bilang apapun mungkin hal itu
tidak akan mengubah apapun dari keputusan Bu Juni.
“Tapi, ibu akan berusaha agar
kamu tidak dikeluarkan dari sekolah ini. Ibu tau kamu mempunyai sesuatu yang
disembunyikan.” Tiba-tiba Bu Juni mengatakan itu dengan tegas, seakan-akan
memantapkan pada dirinya sendiri. Rio hanya menatap bingung pada Bu Juni tak
mengerti maksud ucapan beliau barusan. Tapi dalam hati ia bersyukur jika dia
tidak perlu dikeluarkan dari sekolah ini.
Rio segera ke kelasnya setelah
kembali dari ruang Bu Juni. Pelajaran pertama adalah pelajaran Bu Juni yang
mengajar bahasa inggris. Beberapa murid terburu-buru memasuki kelas sambil
berseru. Beberapa celotehan temannya itu tertangkap di telinga Rio yaitu ada
murid baru seorang cewek cantik yang akan masuk di kelas mereka. Seketika para
cowok mulai ramai, tetapi tak untuk Rio dia hanya duduk menyandarkan punggung
sambil memejamkan matanya tanpa menghiraukan berita yang menghebohkan itu.
Bu Juni memasuki ruang kelas,
seketika kelas menjadi hening, beberapa anak perempuan terlihat berbisik-bisik
sambil mengamati anak baru itu. Bu Juni segera memperkenalkan anak baru itu.
Namanya Adira Amandria, dipanggil Dira. Pindahan dari Jogja. Cewek itu memiliki
perawakan yang lumayan tinggi putih dan bersih.
“Dira silahkan kamu duduk di
bangku kosong samping Rio, sebelah sana.” Kata Bu Juni sambil menunjuk letak
tempat duduk Rio. Rio membuka matanya ketika dia mendengar namanya
disebut-sebut, saat dia sadar ternyata cewek itu sudah berjalan ke arahnya. Dan
dengan sedikit menundukkan wajahnya dia duduk di sebelahnya.
Jam istirahat pelajaran
dimanfaatkan Rio untuk duduk berkumpul di kantin bersama dengan gerombolan
teman-teman berandalannya. Sebenarnya ini bukanlah pemandangan yang mengasingkan.
Rio, dengan nama lengkap Rio Stevanus adalah satu-satunya anak IPA yang menjadi
salah satu anggota kumpulan anak-anak bandel itu. Sejak kelas satu dia sudah
mulai membuat masalah dan sering bolos pelajaran. Terkadang dari teman-temanya
itu ada yang tertangkap sedang merokok di lingkungan sekolah, tapi Rio tak
pernah ada minat untuk mengikuti teman-temannya itu--dia tidak suka merokok.
Dalam waktu sekejap, berita
bahwa Rio merupakan anak bandel dan barusan dipanggil karena menonjok hidung
anak sebelah hingga remuk, sampai juga di telinga Dira. Sebenarnya dia tidak
peduli dengan hal itu, selama dia tidak ada masalah dengan cowok itu
kemungkinan dia tidak akan terkena dampak dari kebandelan Rio itu. Cowok itu
sepertinya juga tak terlalu menggubris masalah-masalah kecil dengan perempuan.
Jadi tak apalah, Dira menyakinkan bahwa apapun yang diperbuat Rio tidak akan
berimbas kepadanya.
Jam pelajaran Matematika kali
ini terasa sangat lama bagi Dira. Jujur saja dia sangat tidak menguasai
pelajaran yang penuh dengan rumus yang satu ini. Seserius apapun dia
memperhatikan guru yang sedang menerangkan dan mencatat rapi seluruh catatan
yang diberikan, dia takkan pernah benar-benar paham tentang rumus-rumus itu.
Dia mengedarkan pandangan untuk
beberapa saat, ketika Pak Duta akhirnya keluar meninggalkan kelas setelah
memberikan tugas sebanyak 40 nomor. Ia melihat partner sebangkunya yang dengan
santai menyandarkan wajahnya pada meja dan memejamkan mata. Dira tak habis
pikir kenapa cowok ini bisa sesantai ini
sih? Apa dia enggak pernah mikir tentang nilainya? Apa dia enggak pernah mikir
tentang kenaikan kelas? Dasar aneh!
Dira
berkali-kali menghela nafas kasar ketika rumus yang dimasukkannya tak pernah
ditemukan jawabannya dari soal itu. Rasa-rasanya ia ingin mengacak-acak
frustasi rambutnya.
Dia
sangat kesulitan, dulu di sekolah lamanya dia selalu dibantu oleh sahabatnya
yang duduk di sampingnya yang kebetulan pintar matematika, jadi setidaknya ia
sedikit mengerti bagaimana cara memasukkan rumus-rumus sehingga dapat ditemukan
jawabannya. Sedangkan sekarang? Dia malah terdampar di sebelah cowok aneh
seperti ini. Ah sungguh sial.
Pak Duta kembali sepuluh menit
kemudian dan mengatakan bahwa soal matematika itu menjadi pekerjaan rumah yang
dikerjakan secara kelompok bersama teman sebangku. Dira tidak percaya
mendengarnya. Tidak cukupkah jika hanya
terjebak di kandang singa ini, masih perlukah terjebak dengan singa sekalian?
Rio menuju lapangan parkir
setelah bel tanda pulang berbunyi. Dia bergegas mengeluarkan motornya dan
melajukannya keluar dari gerbang sekolah. Kali ini dengan disayangkan dia tidak
mengikuti tawaran teman-temannya untuk mengeroyok anak SMA sebelah yang telah
berani mengadukan Rio pada pihak sekolah. Sebelumnya Rio telah berjanji pada Bu
Juni untuk waktu ini tidak membuat masalah lagi jika tidak ingin dikeluarkan
dari sekolah oleh kepala sekolah.
Sebenarnya ia paling malas
pulang ke rumahnya. Di rumah ia bagai hidup di hutan yang sepi. Mamanya enggak
pernah ada buat dia, beliau lebih mementingkan kesibukan mengurusi kantornya.
Papanya sudah 2 tahun lalu bercerai dengan mama dan menikah lagi dengan
perempuan selingkuhannya. Sebelumnya Rio tidak pernah tahu bahwa ternyata mama
dan papanya ada masalah hingga akhirnya papanya memutuskan untuk bercerai
dengan mamanya. Sejak saat itu ia tak pernah melihat papanya lagi. Dan sejak
saat itu pula mamanya semakin sibuk bekerja dan tak pernah menghiraukan Rio,
setidaknya seperti itulah yang ada dalam anggapan Rio.
Dira berjalan sambil mengelap
peluh yang mengalir di dahinya. Sejak dia pindah ke kompleks barunya ia
memutuskan untuk jalan kaki dari sekolah menuju rumahnya yang tak seberapa
jauh. Karena mamanya tidak bisa mengendarai motor maupun mobil untuk mengantar
jemputnya sedangkan papanya bekerja dan
kakak-kakaknya kuliah.
Tak sengaja ia melihat Rio yang
sedang mengendarai motor melewatinya. Dira memperhatikan sungguh-sungguh cowok
itu. Kenapa dia ada di sini? Tanyanya
pada dirinya sendiri. Dira terus memperhatikan motor itu, hingga motor itu berbelok
di salah satu rumah depan rumahnya. Jangan-jangan
dia tetanggaku! pikirnya.
Pikirannya itu memang terbukti,
mamanya bilang emang bener ada cowok seusianya yang tinggal di depan rumah
mereka. Tapi mamanya tidak tahu kalau ternyata anak itu juga bersekolah di
tempat yang sama dengan Dira. Kata mamanya keluarga di depan rumah mereka itu
cenderung tertutup.
Beberapa hari kemudian, tepatnya
hari Sabtu pagi. Dira berjalan tergesa-gesa dan sedikit berlari dari rumahnya.
Kali ini ia bangun kesiangan, belum pernah sekalipun dia terlambat selama ia
pindah ke sekolah barunya itu.
Sinar
terik matahari pagi ini semakin membuatnya bertambah panik karena seakan memberi
tahu bahwa sudah benar-benar siang, dengan sedikit panik ia mencoba berlari
agar tidak terlalu terlambat untuk sampai ke sekolahnya. Tiba-tiba terdengar
suara motor dari belakang dan tepat berhenti di sampingnya, Dira ragu untuk
menoleh. Ia ingin pura-pura tak menanggapinya karena ingin cepat sampai di
sekolah tapi suara itu mencegahnya.
“Naik
gih. Kamu laripun enggak bakal bebas dari telat, ini udah bel masuk.” Dira
menoleh ke sumber suara itu dan benar ternyata cowok itu Rio.
“Mau
enggak? Kalau enggak yaudah, enggak ada ruginya juga buat aku.” Lanjutnya
sambil bersiap jalan. Tersirat keraguan di wajah Dira, tapi dengan pasti dia
naik ke atas boncengan motor Rio. “Udah, ayo jalan.” Katanya setelah siap. Dira
melihat Rio tersenyum samar dari balik spion dan segera melajukan motornya
dengan kencang.
Tidak
ada lima menit mereka sudah sampai di kelas mereka. Untung saja di kelas belum
ada guru yang datang. Waktu memasuki pintu kelas, Dira melihat beberapa orang
sedang memandanginya dan Rio sambil berbisik-bisik, ia jadi risih sendiri
menjadi pusat perhatian seperti itu.
Pelajaran
kedua kali ini adalah Biologi, salah satu pelajaran favorit Dira. Dia memang
bodoh dalam hal rumus tapi dia sangat menguasai segala pelajaran menghafal dan
berhubungan dengan bahasa. Setidaknya kali ini moodnya menjadi lebih baik.
“Kumpulkan
pekerjaan rumah kalian yang saya berikan beberapa hari yang lalu. Nilai kalian
akan saya masukkan untuk menambah nilai untuk kenaikan kelas besok.” Kata Pak
Adi dan dengan kompak anak-anak mengeluh bebarengan.
“Shit”, Rio mengumpat sambil
membolak-balik bukunya yang masih kosong. Dia memang terbiasa melupakan tugas
sekolah dan tidak mengerjakannya, tapi bukan berarti dia ingin tinggal kelas
dengan cara seperti ini.
“Oke
karena banyak yang belum selesai, Bapak kasih waktu 5 menit untuk kalian
menyelesaikannya.” Sambung Pak Adi dan diiringi helaan nafas lega dari beberapa
anak.
Dira
menyodorkaan buku tugasnya kepada Rio, Rio tidak paham apa maksud cewek itu. Ia
menoleh kepadanya. Dira hanya tersenyum kaku, dan sedikit menunjukkan raut
ketakutan di wajahnya.
“Aku
enggak perlu bantuan kamu.” Kata Rio sambil menatap tajam kedua mata Dira. Dira
tak bergerak dibiarkannya bukunya tetap di hadapan Rio. Bukankah ia berniat baik ingin menolong Rio kenapa sih ada manusia yang
seaneh itu, pikir Dira dalam hati.
“Waktu
kalian tinggal 2 menit.” ucap Pak Adi mengingatkan yang spontan menambah
kepanikan anak-anak kelas. Rio sudah tidak sabaran mencari jawaban-jawaban itu
di buku modulnya dan dengan cepat menyabet buku tugas Dira dan menyalinnya
cepat di buku tugas miliknya.
“Kumpulkan
sekarang.” Kata Pak Adi bebarengan dengan selesainya Rio menyalin jawaban Dira.
Rio segera mengumpulkan bukunya dan buku Dira ke meja Pak Adi dengan bernafas
lega. Ujung-ujungnya juga mau nyalin kan.
Pake sok enggak nerima bantuan lagi dasar keras kepala, batin Dira.
Jam
kosong untuk jam fisika adalah surga bagi Dira. Setidaknya ia tidak perlu
berhadapan dengan rumus-rumus. Dia membaca novelnya sambil duduk di bangkunya,
sesekali ia memperhatikan Rio yang tertidur bersandar di meja. Ia lalu teringat
tentang tugas matematika 40 nomor yang baru berhasil diselesaikannya sekitar 10
nomor entah itu benar atau salah, dan ia juga teringat bahwa besok adalah hari
pengumpulannya. Dengan bimbang ia menimang-nimang apa perlu dia mengerjakan
dengan .. Rio?
Rio
samar-samar mendengar seperti ada yang memanggilnya, dengan pandangan buram ia
menghadap orang yang sedang memanggilnya itu. Dan memandangnya dengan tatapan
seakan bertanya Apa? Nyali Dira
semakin ciut untuk menanyakan tentang tugas itu. Apa Rio bener-bener mau ya diajak ngerjain tugas bareng?, tanyanya
tidak yakin dalam hati.
Saat
Rio akan kembali membaringkan kepalanya di meja, Dira coba memberanikan diri.
“Yo, tugas matematika kita gimana? Kamu udah ngerjain?” Rio segera mengangkat
kepalanya dan menghadap Dira, wajah mereka sangat dekat hanya ada celah sekitar
30 centi yang memisahkan mereka, spontan Dira memundurkan wajahnya. Namun Rio
hanya diam saja sambil mengamati Dira. “Emang penting?” ucapnya kemudian dan
kembali merebahkan kepalanya pada meja.
Arghh..
rasanya Dira ingin mengguncang-guncang badan Rio agar dia sadar kalau dia itu
anak sekolah, harusnya dia juga mikirin tugas-tugasnya. Ah, bener-bener enggak
beruntung deh dapat temen sebangku sama cowok aneh seperti ini.
Bel
tanda pulang berbunyi, anak-anak mulai berhamburan keluar kelas. Dira berjalan
perlahan untuk menuju gerbang sekolah.
“Kita
pulang bereng, sekalian menyelesaikan tugas matematika di rumahmu.” Kurang
lebih seperti itu yang terdengar di telinga Dira. Cewek itu segera mengangkat
kepalanya untuk melihat kesungguhan cowok itu.
Rio
menuruni motornya, dan berputar untuk mengecek ban depannya. “Shit, pake kempes segala lagi.” Ucapnya
sambil mengacak-acak frustasi rambutnya.
“Aku
mampir ke bengkel dulu, kamu duluan aja.” Katanya pada Dira. Dira memandangnya
cukup lama, dia berpikir jangan-jangan cowok ini mau melarikan diri. Akhirnya
Dira memutuskan untuk mengikuti Rio pergi ke bengkel.
Mamanya Dira selalu siap dengan
makanan-makanan enak di dapurnya, beliau memang hobi memasak. Dia ramah kepada
siapapun. “Wah Dira bawa temen ya? Loh kamu rumahnya yang di depan itukan?”
tanya mamanya kemudian.
“Iya
tante.” Jawabnya dengan manis, Dira baru tau ternyata Rio bisa bersikap manis
seperti itu. “Nama kamu siapa?” tanya mamanya lagi.
“Rio
tante.” Mama Dira mengangguk sedikit sambil tersenyum tertahan, baru kali ini
anak perempuannya membawa anak laki-laki ke rumah. “Dira itu di sini belum
punya temen loh Yo, dia jarang main. Ajakin main kek kadang-kadang biar dia
engggak kayak anak kuper yang di kamar terus.” Dira yang mendengarnya
melayangkan tatapan melotot pada mamanya dan memangilnya dengan suara tertahan.
“Maaf,
ya Yo. Mama ku emang kayak gitu, sering kelewatan kalo sama orang baru.” Ucap
Dira setelah mereka berhasil melarikan diri dari mama ke taman belakang bersiap
mengerjakan tugas. Rio hanya mengangguk dengan ekspresi datar. Dira sempat
berpikir, kenapa manusia satu ini bisa berganti ekspresi dalam waktu yang
sangat singkat tadi dia manis sekali saat di hadapan mama sekarang aja udah
semasam belimbing wuluh, dasar cowok aneh.
“Yaudah
kita bagi tugas aja aku mengerjakan 20 nomor dari atas, dan kamu 20 nomor
selanjutnya, gimana?” usul Dira kepada Rio
“Terserah
deh.” Lalu dia cepat-cepat mengambil soalnya dan mengerjakannya. Dira sedikit
tidak yakin jika Rio memang benar-benar bisa mengerjakan soal-soal itu.
Setengah jam kemudian Rio sudah selesai mengerjakan bagiannya, sedangkan Dira
masih kewalahan memasukkan rumus-rumus itu.
“Kamu
itu emang bener-bener enggak bisa matematika?” Dira menoleh ke arah sumber
suara seakan memberi tahu lewat wajah kacaunya yang sedang mengerjakan
matematika itu dengan susah payah. “Pantes aja, kemarin kamu bentar-bentar
ngacak-acak rambutmu. Mirip orang frustasi.” Dira terkejut apa benar jika ia
kemarin sekacau itu?
“Sudah
tau, bantuin kek.” Jawab Dira ketus. Rio hanya diam di tempat tak bergerak
sedikitpun. “Aku baru tau kalau ternyata kamu jago matematika.” Sambung Dira.
“Emang semua orang perlu tahu ya? Buatku enggak penting!” jawabnya dingin.
Dira
terdiam kaku sebentar, ini anak emang bodoh atau gimana? Kenapa ia milih
menyembunyikan kepintarannya. “Aku sebenernya iri sama kamu Yo, kamu jago
pelajaran menghitung. Sedangkan aku enggak pernah bisa dari dulu. Harusnya jika
kamu punya kemampuan itu kamu harus menghargai dan memanfaatkannya.” Dira tak
percaya bahwa ia telah mengucapkan kata-kata itu yang lantas disambut tatapan
tajam dari mata Rio.
“Apa
yang kamu pikirkan sampai kamu enggak mau orang tau kemampuanmu, kalau kamu
terus menyembunyikan kemampuanmu. Kamu selamanya akan tejebak dalam sosok orang
lain. kamu enggak bisa jadi diri kamu sendiri.” Dira berhenti sejenak untuk
mengambil nafas, sebenarnya ia sudah tidak tahan ditatap dengan cara itu oleh
Rio, namun entah dorongan dari mana ia mengatakan kata-kata itu. “Kamu
seharusnya enggak jadi pengecut seperti ini Yo!” ucapnya akhirnya dapat
mengeluarkan emosi yang siap merambat ke ubun-ubunnya. Bersambung