Senin, 26 Januari 2015

Berbalik Menjauh

Diposting oleh Girl in the Rain di 19.56 0 komentar
Tak semua yang kau baca itu tentang aku.~

                Pertemuan ini resmi dimulai, sebenarnya tak ada aba-aba resmi untuk pertemuan mingguan ini. Kami berempat duduk di meja ini dengan segelas minuman yang kami pesan masing-masing, dan selanjutnya akan kami hadapi selama berjam-jam yang akan datang sambil mengobrol.
                Pertemuan ini dihadiri oleh empat orang terhitung denganku, seorang perempuan teman dekatku, seorang laki-laki yang selalu berpikir bahwa dirinya keren, dan seorang lagi laki-laki yang berperawakan misterius yang selalu menjadi magnetku. Sebenarnya aku tak terlalu mengambil bagian dalam pertemuan ini, aku lebih banyak diam dan terkadang ikut tertawa ketika mereka membicarakan hal lucu; aku layaknya hanya sebagai aksesoris.

                Aku ingat saat pertama kali bertemu dengan mereka, saat itu temanku bilang bahwa dia akan menemui seorang yang sangat penting bagi hidupnya. Dia yang mengenalkanku dengannya, tanpa dia tahu bahwa diam-diam sebenarnya aku mulai mendekap bayangnya.
                Kesan pertama, saat aku melihatnya; dia menarik, misterius, pintar, dan wawasannya luas. Dia.. sempurna, setidaknya di mataku. Aku tak sadar jika sejak itu aku mulai mengaguminya dan candu akan dirinya.

                Setengah jam pertemuan ini sudah berlangsung aku masih asik dengan diamku dan sesekali mencerna kata-kata yang mereka bicarakan, sebenarnya dalam pertemuan ini yang banyak bicara hanya teman perempuanku dan pria sok keren itu. Dia lebih banyak diam, mengangguk, tersenyum, dan sesekali menimpali jika ada sesuatu yang menarik hatinya. Jangan tertawa, tapi memang aku hampir hapal dengan gerak-geriknya. Itulah alasanku di sini setelah pertemuan pertama kami, untuk melihat wajahnya, mendengar suaranya, dan merekam gerak-geriknya untuk dijadikan bingkisan terindah di malam menuju mimpi.
                Aku tahu, teman perempuanku juga sedang menyukainya. Walau sebenarnya aku tak pernah mendengar dari mulutnya sendiri. Tapi aku cukup sadar untuk membaca gerak-gerik, perhatian, dan caranya memandang laki-laki itu. Aku tahu benar.
                Lihat sekarang malah aku yang kecanduan akan laki-laki itu. Dia yang indah, mengagumkam, dan pintar. Dan inilah masalahnya dia terlalu jauh dariku hingga aku terlalu sulit untuk merengkuhnya. Hanya bayangnya yang dapat ku gapai tanpa jiwa maupun raga, semakin aku mencoba untuk berlari padanya hanya luka yang kudapat, aku lelah dan frustasi dengan diriku sendiri.
                Kadang aku berpikir kenapa aku menjadi seorang yang seperti ini? Terlalu pendiam, sukar berhubungan dengan orang lain. Sometimes I am being hating  myself! Kenapa aku tak bisa berubah normal seperti orang lain, walaupun sebenarnya aku mampu. Aku ingin menjadi orang yang biasa-biasa saja yang dapat diterima orang lain, yang dapat diterima olehnya.
                Tapi sebenarnya dia tak pernah melihatku seperti orang-orang lain yang menganggabku aneh. Dia biasa saja, dia tersenyum, berbicara, dan memandang ku seperti orang lain. Sudah ku bilangkan dia mengagumkan?
                Tak seperti pria sok keren yang duduk disebelahnya, yang sebenarnya dalam pertemuan-pertemuan kami hanya dia yang mengambil alih pembicaraan dengan hal-hal yang dia ucapkan secara berlebihan, aku akui dia memang tau tentang ini-itu, tapi kata-kata yang dikeluarkannya terlalu pahit untuk ditelan mentah-mentah. Terlalu tajam lidahnya untuk berbicara. Mungkin hatinya juga mati rasa, karena terkadang dia tak hirau jika kata-katanya melukai hati orang lain.

                Satu jam pembicaraan ini mengalir seperti biasanya, aku tak terlalu menanggapi apa yang mereka bicarakan walau sebenarnya ada beberapa hal yang lebih aku tahu tentang  topik pembicaraan mereka. Aku terlalu takut untuk mengeluarkan suara.

                Dia. Seorang yang misterius itu adalah fokusku setelah satu jam itu. Aku tak luput untuk memandang senyum manisnya yang membuat wajah misterius itu menjadi imut seperti anak kecil. Merekam setiap jengkal wajahnya yang selalu ku sukai, dagunya yang selalu menjadi fokus tersendiri, dan untuk menggenggamnya erat, membekukannya dalam hati sebagai kenangan terindah.
 Aku hanya ingin merekam suara, senyum, dan gerak-geriknya untuk terakhir kali. Dan berjanji tidak akan menemuinya lagi, setelah ini. Untuk menyimpan perasaan ini sendiri, aku tahu menghindarinya akan sulit. Tapi tak apa aku akan melakukannya, karena aku sadar persahabatanku lebih penting, karena aku sadar dia terlalu jauuh untuh ku raih. Dan aku memilih untuk MUNDUR...

20 Januari 2015  

Aku Menyerah

Diposting oleh Girl in the Rain di 04.37 0 komentar
             
 Aku terbangun masih dengan bayangan itu di sampingku. Dia tak hanya di mimpiku dan aku mulai menyadari itu.
Dia adalah bayangan yang ku gores sedikit demi sedikit oleh ilusi ku sendiri, bayangan yang terlalu sering di gambar hingga membekas dan berlekuk membentuk serupa pemilikya.
                Bayangan yang hingga kini tak lelah mempermainkanku dan tak lelah memaksaku bermimpi tentangnya hingga imajinasi ku penuh dengan bayangan semu itu.
Aku tak pernah tau benar pemilik bayangan itu, aku hanya memiliki bayangannya tanpa jiwa maupun raganya. Aku hanya merasakan dingin tubuh dari bayangan itu tanpa ku tahu pasti seberapa hangat tubuh pemilik bayangan itu.
Bayangan yang tak sengaja kuciptakan dua tahun yang lalu. Yang hanya kubutuhkan untuk melarikan diri. Hingga aku tak sadar bayangan itu mulai menetap di dasar hatiku, tanpa ku prediksi sebelumnya.
Dan aku sadar pemilik bayangan itu tak pernah sekalipun menengokku yang telah lama menyimpan bayangan miliknya. Aku sendiri di sini; tanpa siapapun dan lelah bermain dengan fantasiku sendiri.

Waktu terus berjalan, hingga bayangan itu tanpa kuduga telah mengacaukan segalanya, dia mempermainkanku. Aku lelah berkejar-kejaran dengannya. Aku lelah dipermainkan oleh mimpiku sendiri. Aku lelah ilusiku menguasai segalanya.
Bayangan itu semakin lama seperti pemiliknya. Dia mulai menghindariku, semakin aku melangkah maju untuk mengejarnya dia selalu berhasil untuk berlari menjauh. Tapi seberapa jauh aku menghindar, bayangan itu selalu ada di depan mataku. Bayangan itu tak mau hilang.
Sakit. Aku frutasi dan bingung dengan diriku sendiri. Aku terkapar oleh permainan yang kubuat sendiri. Aku lelah hingga rasanya aku habis daya untuk mengahadapi bayangan itu.
Dia magnet yang terlalu kuat. Memang aku yang salah, karena dulu telah membuatnya seperti itu. Aku yang membuat diriku sendiri selalu tertarik olehnya, aku memang bodoh! Aku yang salah, pemilik bayangan itu tak sedikitpun pantas untus disalahkan.
Aku tak bisa berjalan mundur, karena bayangan itu selalu berhasil menarikku untuk maju, seakan memberikan harapan-harapan semu. Bayangan itu terlalu liar hingga aku tak bisa mengendalikannya sendiri. Aku lelah sungguh. Aku hanya ingin menyerah.
Aku hanya ingin menutup mata, agar bayangan itu tak terlihat lagi di mataku. Aku hanya ingin berjalan mundur, agar bayangan itu dapat diam di tempat. Aku hanya ingin melupakan bayangan itu dan pemiliknya agar aku tak tersiksa lagi.
Aku menyerah...


22 Januari 2015

Kamis, 22 Januari 2015

Garis Waktu (2)

Diposting oleh Girl in the Rain di 05.09 0 komentar
“Kamu seharusnya enggak jadi pengecut seperti ini Yo!” ucapnya akhirnya dapat mengeluarkan emosi yang siap merambat ke ubun-ubunnya.
“Peduli apa kamu sama apa yang aku lakukan?! Tidak ada orang yang peduli denganku enggak juga kamu maupun mamaku. Sekalipun kamu satu-satunya anak di sekolah yang kuberi tahu kemampuanku.” Ucapnya kemudian bergegas pergi dengan memberesi barang-barangnya dengan kasar dan segera pamit pada mamanya Dira untuk segera pulang.
Dira hanya menarik nafas panjang, dia tidak peduli apa yang telah dia katakan sebelumnya. Ia merasa lega telah menyampaikan beban hatinya pada Rio. Dia melihat kertas hasil kerja Rio, ternyata semua soal telah dikerjakannya dengan rapi dan jelas sampai nomor terakhir. Sungguh tidak mencerminkan ciri-ciri Rio selama ini. Kenapa ia lebih memilih memakai topeng buruknya itu?

Esoknya di sekolah. Rio bersikap biasa saja kepada Dira. Sejam pelajaran pertama ia habiskan seperti biasa untuk tidur. Jam kedua adalah pelajaran matematika tak disangka Pak Duta mengadakan ulangan dadakan. Rio dengan santai tapi pasti mengerjakan tugas-tugas itu, dia mulai tersulut dengan ucapan Dira kemarin, ia bertekad untuk membuktikan pada Dira bahwa dia bukanlah seorang yang pengecut.
Sedangkan Dira ia sedikit kewalahan, namun dengan pasti dapat menemukan semua jawaban dari soal-soal yang diberikan Pak Duta. Sebenarnya ia kemarin mempelajari pekerjakan Rio yang lebih mudah untuk dipahami daripada buku modulnya yang serasa belibet.
Setelah semua lembar ulangan dikumpulkan tiba-tiba Rio berkata pada Dira. “Aku akan buktiin sama kamu bahwa aku bukan pengecut.” Lalu dia tersenyum puas kepada Dira. Dira hanya menatapnya bingung, namun samar ia tersenyum.

Seminggu ini, semua berjalan lebih baik. Nilai-nilai Rio mulai mengalami peningkatan. Hubungan Dira dengan Rio juga semakin membaik. Mereka malah sering pulang bersama. Terkecuali sore ini, kali ini Dira berjalan sendiri menuju lapangan parkir karena Rio baru saja dipanggil oleh Bu Juni.
Saat Dira melewati koridor kelas yang sepi, tiba-tiba ada tiga cowok yang menghadanganya.
“Dira, aku anter pulang yuk?” ucap salah satu dari mereka. Dira hanya diam jantungnya mulai berdegub kencang, dia mulai ketakutan. “Ayolah Dir, aku anak baik-baik kok.” Tanpa dia ngomong kayak gitupun Dira sudah tau kalau anak itu adalah salah satu berandalan di sekolah ini. Sebelum Dira ingin melarikan diri, tiba-tiba ada seseorang yang menarik pergelangan tangannya dan menempatkannya di belakang tubuhnya.
“Jangan gangguin dia!” teriaknya pada tiga cowok-cowok itu. “Oh.. jadi sekarang kamu udah jadi anak baik-baik ya, Yo. Dan kamu pikir kamu lebih berhak untuk deketin Dira?” ucap salah satu dari mereka yang tadinya menggoda Dira. “Itu bukan masalahnya. Aku enggak mau kalian nganggep Dira buat maen-maen.”
“Oh.. jadi sekarang kamu mau jadi pahlawan? Yaudah kita tanding satu lawan satu buat buktiin kalau kamu pantes jadi pahlawan.”
Emosi Rio tersulut, dia sudah menahan kepalan tinjunya yang siap melayang ke wajah cowok itu. Saat musuhnya itu mulai menonjok perutnya, kesabaran Rio sudah tak bisa dibendung lagi. Dia menghabisi musuhnya itu hingga babak belur. Dira tertegun ketakutan, bingung harus melerai bagaimana. Pertarungan itu baru berhenti setelah Bu Juni datang melerai mereka dan membawa mereka menuju ruang BP.

Paginya, Dira berangakat sendiri untuk menuju sekolah. Sepertinya Rio mendapat skorsing akibat perkelahiannya dengan cowok itu kemarin. Saat jam pelajaran matematika, hasil ulangan mereka dibagikan Dira tidak menyangka jika ia dapat meraih nilai yang bagus seperti ini sekalipun nilai itu tak sempurna 90 nilai yang didapatkannya.
“Kali ini ada yang mendapatkan nilai sempurna yaitu 100 satu anak, dia banyak berubah akhir-akhir ini. Dan bapak sangat bersyukur tentang itu. Karena anak ini kali ini sedang tidak masuk, hasil ulangnnya akan Bapak titipkan pada teman sebangkunya. Ini Dira, berikan pada Rio ketika dia sudah masuk.” Ucap Pak Duta.
Dira mengambil hasil ulangan itu dan menatap kertas itu dengan kagum. Dia tak menyangka ternyata Rio mampu berubah menjadi lebih baik seperti ini. Dia bangga pada Rio.
Dan tak disadarinya akhir-akhir ini ia kerap sekali memikirkan Rio. Memikirkan perhatian-perhatian kecil yang diberikan Rio padanya. Tentang pertemuan pertama mereka. Tentang sikap manisnya yang angin-anginan dan semua hal tentang Rio. Dia tidak tahu perasaan apa yang mulai tumbuh terhadap Rio, entah mungkin ia mulai menyukai Rio.

Sepulang sekolah Dira ingin segera menyampaikan berita mengembirakan itu kepada Rio. Setelah berganti pakaian ia bergegas menuju rumah Rio.
Dia dengan tak sabaran mengetuk pintu rumah Rio, beberapa saat tidak ada jawaban dari dalam. Dira menghela nafas sejenak sebelum membalik badan untuk kembali. Tiba-tiba terdengar pintu rumah terbuka, Dira tersenyum dan segera membalikkan tubuh. Tapi bukanlah Rio kali ini yang membukakan rumah. Seorang wanita tua setengah baya yang berdiri di depan pintu.
“Cari siapa?” kata wanita itu.
“Em.. Rio nya ada?” katanya sedikit gugup. Wanita itu hanya memandangnya dalam. “Kamu temannya Rio ya? Silahkan masuk dulu.” Ucapnya lembut, Dira baru sadar jika dilihat-lihat mata wanita itu merah seperti habis menangis. Dira mengikutinya ke dalam rumah.
“Oh iya kamu belum tau saya ya. Saya mamanya Rio. Kamu Dira kan?” Dira mengangguk dan tersenyum kepada mamanya Rio itu. Memang baru kali ini Dira melihat mamanya Rio secara langsung, dia hanya pernah melihat foto-foto keluarga Rio di dinding rumah Rio tanpa pernah tahu papa dan mama Rio yang sebenarnya. Rio tidak pernah memberi tahu tentang keluarganya sedangkan Dira tidak berani mengorek-orek tentang masalah pribadinya.
“Kamu tahu kan kalau Rio itu di sekolah jadi salah satu anak bandel selama setahun belakangan ini?” Ucap beliau dengan nada getir. Dira hanya mengangguk, tidak tahu ke arah mana pembicaraan ini akan berjalan. “Mungkin semua perubahannya itu diakibatkan oleh kesalahan saya; sebagai ibunya. Saya tau selama ini saya kurang perhatian dengan Rio. Tapi sungguh saya melakukan semua ini juga untuk kebaikan Rio.” Ucapnya sambil menerawang, Dira diam sambil mendengarkan baik-baik setiap ucapan yang keluar dari mulut beliau.
“Setelah semua kejadian pahit itu, mungkin membuat kehidupan Rio hancur, ini mungkin juga karena kesalahan saya.” Ucapnya bergetar dan mulai menitikkan air matanya. “Dulu waktu ujian kelulusan SMP semua masalah itu memuncak. Papanya Rio memutuskan untuk bercerai dengan saya. Kami telah mencoba mencari jalan untuk berdamai, namun semua jalan itu tidak bisa menghasilkan jalan keluar. Mungkin saat itu kami memang benar-benar egois. Masalah itu yang mulai mengacaukan kehidupan Rio.” Mama Rio sudah mulai menagis saat menceritakan itu, Dira sedikit bingung mengatasi atmosfer kecangguan itu.
“Mimpi-mimpi Rio yang telah dibangunnya sejak lama, ia putuskan untuk menghancurkannya. Dari kecil dia bermimpi untuk menjadi lecture atau vendor di bidang komputer. Dia ingin kuliah di jurusan Ilmu Komputer. Sejak kelas 9 dia sudah mempersiapkan targetnya untuk memasuki SMA pilihannya.” Mama Rio berhenti untuk mengambil nafas. “Hingga akhirnya malam di hari akan berlangsungnya ujian akhir kelulusan SMP, papanya Rio memutuskan untuk bercerai dengan saya dan pergi meninggalkan kami. Rio yang tak tau apa-apa sebelumnya, tertekan. Semalaman ia tidak keluar dari kamar. Dan paginya ia mengerjakan soal ujiannya dengan asal-asalan.” Dira mulai bisa menghubungan alur cerita itu, dan dapat menyimpulkan kenapa Rio menjadi sosok yang seperti itu sekarang ini.
“Akibat dari itu nilai dia turun drastis dari ujian-ujian sebelumnya. Tak ada satupun SMA yang ditargetkannya dapat dimasukinya. Dia mulai menutup diri, jadi sosok yang beda dari dia sebelumnya.” Beliau menatap Dira beberapa saat.
“Saya tau dia masih marah sama saya, tapi saya sudah buntu bagaimana menyakinkan pada Rio, bahwa saya benar-benar peduli kepadanya. Sejak dia bertemu kamu, sikap dia mulai berubah. Kamu bisa mengubah Rio jadi betah di rumah dan nilainya mulai naik. Saya benar-benar berterimakasih sama kamu, Dira.”
Dira tertegun beberapa saat. Dia hanya bisa mengangguk. Dan mengeluarkan selambar kertas hasil ulangan matematika Rio. “Ini tante saya titip untuk Rio.” Mama Rio menatap tak percaya pada angka seratus yang tertera di lembaran putih itu. Ada rasa kagum dan bahagia di sinar matanya. “Sudah lama sekali saya tidak melihat nilai matematika Rio seratus, saya benar-benar berterima kasih kepada kamu. Karena telah mampu menyadarkan Rio dari keburukannya.”
“Iya tante, sebagai teman saya akan tetap melakukan itu demi kebaikan Rio.”
“Oh iya, sebaiknya kamu susul Rio. Tadi dia pergi sesudah bertengkar dengan saya, mungkin dia pergi ke lapangan dekat taman di ujung kompleks ini. Ia sering pergi ke sana jika suasana hatinya sedang buruk. Pergilah menemuinya.” Kata mama Rio akhirnya.
Dira bangkit setelah pamit untuk menemui Rio. “Eh Dira lebih baik kamu berikan ini sendiri kepada Rio.” Ucap beliau sambil menyodorkan lembaran ulangan itu kepada Dira. Dira mengangguk, dan mengambil lembaran itu.

Dira segera menemui Rio sebelum langit gelap. Hanya butuh kurang dari lima menit untuk dapat mencapai taman di ujung kompleks ini. Benar Rio sedang duduk melamun di salah satu tepi lapangan. Dira berjalan dengan hati-hati menghampirinya, tapi berhenti beberapa meter dibelakangnya sambil mengamati punggung Rio.
“Duduk Dir, jangan berdiri terus di situ.” Kata Rio setelah beberapa lama Dira berdiri di belakangnya. Dira terkejut, setaunya Rio dari tadi tak pernah memperhatikannya sama sekali. Setelah sadar Dira segera duduk di sebelah Rio.
“Aku mau ngasih ini.” Kata Dira sambil menyodorkan lembaran hasil ulangan itu kepada Rio. “Selamat, dan terimakasih berkat kamu aku dapat nilai yang bagus.” Ucap Dira tulus.
Rio diam dan tertegun melihat nilai yang tertera di lembaran itu. “Sudah lama sekali aku tak pernah mendapatkan nilai sempurna, terakhir sepertinya sejak Ujian Akhir waktu SMP.” Hanya hening beberapa saat, Dira lebih memilih untuk mendengarkan ucapan Rio.
“Aku udah lupa gimana rasanya bisa ngebanggain orang tua. Aku lupa gimana ekspresi papa dan mama waktu aku dapet juara.” Ia menghela napas sejenak. “Mungkin aku anak yang kurang ajar, aku selalu saja menyalahkan mama dan papa karena mereka bercerai. Aku enggak bisa menerima perpisahan mereka hingga akhirnya aku selalu menyalahkan mama yang lebih memilih pekerjaannya daripada ngurusin aku.” Nafas Rio  mulai tak beraturan seakan dia sedang menata gejolak amarah yang sedang membara di dadanya. “Aku tau mama sebenarnya peduli sama aku, dia kerja kayak gitu juga buat aku. Tapi kenapa aku malah jadi anak kurang ajar seperti ini. Aku malu sama diri aku sendiri!” Ia kemudian menelungkupkan kepalanya pada kedua lututnya.
Dira memberi waktu pada Rio untuk menata hatinya. Setelah beberapa saat dia mulai angkat bicara. “Kamu enggak jahat Rio, kamu cuma butuh ngerubah cara berpikir kamu. Bagus kalau kamu udah tau kalau tindakan kamu itu salah dan kamu sudah bisa menerima perpisahan mama dan papamu.”
Hening beberapa saat. Rio mencoba mencerna kata-kata Dira barusan. “Iya kamu benar. Dan aku harus meminta maaf pada mama.” Kata Rio akhirnya. Dira mengangguk mantap dan tersenyum tulus sekaligus bangga kepada Rio.

Senja semakin menua, warna ungu semakin menguasai langit mengalahkan warna orange yang semakin menyipit. Mereka masih terpaku mengamati langit senja itu. Entah, berkelana dengan pikiran masing-masing. “Aku ..” suara Rio terdengar tercekat. “Aku suka sama kamu Dir.” Dira menatap Rio seakan meyakinkan bahwa barusan Rio sedang tidak bercanda. Tetapi Rio malah menatapnya tepat di matanya seakan meyakinkan bahwa dia sungguh-sungguh menyatakan perasaannya itu.
“Aku enggak tau sejak kapan perasaan ini muncul, entah sejak kamu berjalan menuju meja kita pada hari pertama kamu masuk sekolah atau saat kamu mengatakan bahwa aku pengecut. Aku enggak tau. Aku enggak tau kenapa aku suka sama kamu, yang aku tahu aku bisa jadi diri aku sendiri saat bersama kamu.” Ucapnya panjang lebar yang berhasil membuat jantung Dira berdegub sangat kencang.
Hanya diam beberapa saat Dira bingung harus bagaimana, hingga akhirnya dia memutuskan untuk memberitahu perasaannya juga. “Aku juga suka sama kamu, Yo. Entah sejak kapan. Tapi, sejak kamu nolongin aku saat aku digangguin cowok itu aku baru sadar akan perasaan ku kalau aku suka sama kamu.”
Rio memandang Dira tidak percaya. Lalu ia menggenggam erat-erat tangan Dira. “Selama ini aku enggak tau gimana caranya nyatain perasaanku ke kamu. Tapi kamu harus percaya; I love you not for what you are, but for what I am when I am with you.” Kata Rio kepada Dira. Dira mengangguk dan tersenyum. “Aku tahu. I love you too, Rio.”

Mereka segera kembali ke rumah mereka setelah matahari sempurna tenggelam. Dira meyakinkan Rio. “Kamu pasti bisa, Yo. Semuanya akan baik-baik saja. Percayalah.”

***

                Setahun kemudian Dira, Rio, dan teman-teman seangkatan lainnya merayakan kelulusan mereka. Sekolah mereka lulus seratus persen. Mengejutkan untuk Rio, nilai dia sangat memuaskan hampir sempurna. Rio pun dapat melanjutkan cita-citanya dari kecil ia berhasil masuk di universitas terbaik jurusan ilmu komputer. Sedangkan Dira memutuskan untuk mengambil jurusan Psikologi di universitas yang sama dengan Rio. Mereka berjanji untuk meraih sukses bersama.


Dunia akan terasa gelap jika kau hanya memutuskan jalan di tempat. Kau hanya perlu membuka mata dan tunjukkan--dirimu yang sesungguhnya. Dan kau hanya butuh seseorang yang tepat...

Garis Waktu (1)

Diposting oleh Girl in the Rain di 05.03 0 komentar

Dia benci hidupnya. Dia sudah tak pernah mau memperdulikan apapun lagi semenjak hidupnya hancur berantakan. Ia akan melakukan apapun, selama ia merasa bahwa itu benar di matanya. Sampai dia akhirnya menemukan seseorang yang mampu mengetuk pintu hatinya.

                 Rio sudah sangat akrab dengan masalah. Sudah berkali-kali ia berurusan dengan guru BP dan wali kelasnya. Sudah tak terhitung berapa kali ia mendapatkan skorsing. Kali ini dia menonjok hidung salah satu siswa SMA lain hingga tulang hidungnya remuk, hal inilah yang membuatnya berurusan dengan wali kelasnya lagi.
                “Kali ini apalagi yang kamu perbuat Yo? Kamu ingin ibu keluarkan atau skorssing untuk kali ini?” tanya Bu Juni wali kelasnya. “Tapi, kali ini bukan saya yang cari masalah Bu!” ucapnya seakan menekan emosi yang sedang meluap di dadanya. Dia memang murid berandal tapi bukan berarti dia menginginkan untuk di keluarkan dari sekolah, dia masih punya keinginan untuk tetap bersekolah walau entah apa yang akan dia lakukan di sekolah.
                “Ibu tidak peduli siapa yang memulai duluan, tapi seharusnya kamu tidak melawannya dengan kekuatan otot seperti itu, kamu lebih baik menyelesaikannya dengan otak--secara baik-baik.”
Rio mengepalkan tangannya menahan emosi yang siap meluap, ia ingin menjawab komentar wali kelasnya itu, tapi ia pikir mau dia bilang apapun mungkin hal itu tidak akan mengubah apapun dari keputusan Bu Juni.
                “Tapi, ibu akan berusaha agar kamu tidak dikeluarkan dari sekolah ini. Ibu tau kamu mempunyai sesuatu yang disembunyikan.” Tiba-tiba Bu Juni mengatakan itu dengan tegas, seakan-akan memantapkan pada dirinya sendiri. Rio hanya menatap bingung pada Bu Juni tak mengerti maksud ucapan beliau barusan. Tapi dalam hati ia bersyukur jika dia tidak perlu dikeluarkan dari sekolah ini.

                Rio segera ke kelasnya setelah kembali dari ruang Bu Juni. Pelajaran pertama adalah pelajaran Bu Juni yang mengajar bahasa inggris. Beberapa murid terburu-buru memasuki kelas sambil berseru. Beberapa celotehan temannya itu tertangkap di telinga Rio yaitu ada murid baru seorang cewek cantik yang akan masuk di kelas mereka. Seketika para cowok mulai ramai, tetapi tak untuk Rio dia hanya duduk menyandarkan punggung sambil memejamkan matanya tanpa menghiraukan berita yang menghebohkan itu.
                Bu Juni memasuki ruang kelas, seketika kelas menjadi hening, beberapa anak perempuan terlihat berbisik-bisik sambil mengamati anak baru itu. Bu Juni segera memperkenalkan anak baru itu. Namanya Adira Amandria, dipanggil Dira. Pindahan dari Jogja. Cewek itu memiliki perawakan yang lumayan tinggi putih dan bersih.
                “Dira silahkan kamu duduk di bangku kosong samping Rio, sebelah sana.” Kata Bu Juni sambil menunjuk letak tempat duduk Rio. Rio membuka matanya ketika dia mendengar namanya disebut-sebut, saat dia sadar ternyata cewek itu sudah berjalan ke arahnya. Dan dengan sedikit menundukkan wajahnya dia duduk di sebelahnya.

                Jam istirahat pelajaran dimanfaatkan Rio untuk duduk berkumpul di kantin bersama dengan gerombolan teman-teman berandalannya. Sebenarnya ini bukanlah pemandangan yang mengasingkan. Rio, dengan nama lengkap Rio Stevanus adalah satu-satunya anak IPA yang menjadi salah satu anggota kumpulan anak-anak bandel itu. Sejak kelas satu dia sudah mulai membuat masalah dan sering bolos pelajaran. Terkadang dari teman-temanya itu ada yang tertangkap sedang merokok di lingkungan sekolah, tapi Rio tak pernah ada minat untuk mengikuti teman-temannya itu--dia tidak suka merokok.
                Dalam waktu sekejap, berita bahwa Rio merupakan anak bandel dan barusan dipanggil karena menonjok hidung anak sebelah hingga remuk, sampai juga di telinga Dira. Sebenarnya dia tidak peduli dengan hal itu, selama dia tidak ada masalah dengan cowok itu kemungkinan dia tidak akan terkena dampak dari kebandelan Rio itu. Cowok itu sepertinya juga tak terlalu menggubris masalah-masalah kecil dengan perempuan. Jadi tak apalah, Dira menyakinkan bahwa apapun yang diperbuat Rio tidak akan berimbas kepadanya.

                Jam pelajaran Matematika kali ini terasa sangat lama bagi Dira. Jujur saja dia sangat tidak menguasai pelajaran yang penuh dengan rumus yang satu ini. Seserius apapun dia memperhatikan guru yang sedang menerangkan dan mencatat rapi seluruh catatan yang diberikan, dia takkan pernah benar-benar paham tentang rumus-rumus itu.
                Dia mengedarkan pandangan untuk beberapa saat, ketika Pak Duta akhirnya keluar meninggalkan kelas setelah memberikan tugas sebanyak 40 nomor. Ia melihat partner sebangkunya yang dengan santai menyandarkan wajahnya pada meja dan memejamkan mata. Dira tak habis pikir kenapa cowok ini bisa sesantai ini sih? Apa dia enggak pernah mikir tentang nilainya? Apa dia enggak pernah mikir tentang kenaikan kelas? Dasar aneh!
                Dira berkali-kali menghela nafas kasar ketika rumus yang dimasukkannya tak pernah ditemukan jawabannya dari soal itu. Rasa-rasanya ia ingin mengacak-acak frustasi rambutnya.
Dia sangat kesulitan, dulu di sekolah lamanya dia selalu dibantu oleh sahabatnya yang duduk di sampingnya yang kebetulan pintar matematika, jadi setidaknya ia sedikit mengerti bagaimana cara memasukkan rumus-rumus sehingga dapat ditemukan jawabannya. Sedangkan sekarang? Dia malah terdampar di sebelah cowok aneh seperti ini. Ah sungguh sial.
                Pak Duta kembali sepuluh menit kemudian dan mengatakan bahwa soal matematika itu menjadi pekerjaan rumah yang dikerjakan secara kelompok bersama teman sebangku. Dira tidak percaya mendengarnya. Tidak cukupkah jika hanya terjebak di kandang singa ini, masih perlukah terjebak dengan singa sekalian?

                Rio menuju lapangan parkir setelah bel tanda pulang berbunyi. Dia bergegas mengeluarkan motornya dan melajukannya keluar dari gerbang sekolah. Kali ini dengan disayangkan dia tidak mengikuti tawaran teman-temannya untuk mengeroyok anak SMA sebelah yang telah berani mengadukan Rio pada pihak sekolah. Sebelumnya Rio telah berjanji pada Bu Juni untuk waktu ini tidak membuat masalah lagi jika tidak ingin dikeluarkan dari sekolah oleh kepala sekolah.
                Sebenarnya ia paling malas pulang ke rumahnya. Di rumah ia bagai hidup di hutan yang sepi. Mamanya enggak pernah ada buat dia, beliau lebih mementingkan kesibukan mengurusi kantornya. Papanya sudah 2 tahun lalu bercerai dengan mama dan menikah lagi dengan perempuan selingkuhannya. Sebelumnya Rio tidak pernah tahu bahwa ternyata mama dan papanya ada masalah hingga akhirnya papanya memutuskan untuk bercerai dengan mamanya. Sejak saat itu ia tak pernah melihat papanya lagi. Dan sejak saat itu pula mamanya semakin sibuk bekerja dan tak pernah menghiraukan Rio, setidaknya seperti itulah yang ada dalam anggapan Rio.

                Dira berjalan sambil mengelap peluh yang mengalir di dahinya. Sejak dia pindah ke kompleks barunya ia memutuskan untuk jalan kaki dari sekolah menuju rumahnya yang tak seberapa jauh. Karena mamanya tidak bisa mengendarai motor maupun mobil untuk mengantar jemputnya  sedangkan papanya bekerja dan kakak-kakaknya kuliah.
                Tak sengaja ia melihat Rio yang sedang mengendarai motor melewatinya. Dira memperhatikan sungguh-sungguh cowok itu. Kenapa dia ada di sini? Tanyanya pada dirinya sendiri. Dira terus memperhatikan motor itu, hingga motor itu berbelok di salah satu rumah depan rumahnya. Jangan-jangan dia tetanggaku! pikirnya.
                Pikirannya itu memang terbukti, mamanya bilang emang bener ada cowok seusianya yang tinggal di depan rumah mereka. Tapi mamanya tidak tahu kalau ternyata anak itu juga bersekolah di tempat yang sama dengan Dira. Kata mamanya keluarga di depan rumah mereka itu cenderung tertutup.

                Beberapa hari kemudian, tepatnya hari Sabtu pagi. Dira berjalan tergesa-gesa dan sedikit berlari dari rumahnya. Kali ini ia bangun kesiangan, belum pernah sekalipun dia terlambat selama ia pindah ke sekolah barunya itu.
Sinar terik matahari pagi ini semakin membuatnya bertambah panik karena seakan memberi tahu bahwa sudah benar-benar siang, dengan sedikit panik ia mencoba berlari agar tidak terlalu terlambat untuk sampai ke sekolahnya. Tiba-tiba terdengar suara motor dari belakang dan tepat berhenti di sampingnya, Dira ragu untuk menoleh. Ia ingin pura-pura tak menanggapinya karena ingin cepat sampai di sekolah tapi suara itu mencegahnya.
“Naik gih. Kamu laripun enggak bakal bebas dari telat, ini udah bel masuk.” Dira menoleh ke sumber suara itu dan benar ternyata cowok itu Rio.
“Mau enggak? Kalau enggak yaudah, enggak ada ruginya juga buat aku.” Lanjutnya sambil bersiap jalan. Tersirat keraguan di wajah Dira, tapi dengan pasti dia naik ke atas boncengan motor Rio. “Udah, ayo jalan.” Katanya setelah siap. Dira melihat Rio tersenyum samar dari balik spion dan segera melajukan motornya dengan kencang.

Tidak ada lima menit mereka sudah sampai di kelas mereka. Untung saja di kelas belum ada guru yang datang. Waktu memasuki pintu kelas, Dira melihat beberapa orang sedang memandanginya dan Rio sambil berbisik-bisik, ia jadi risih sendiri menjadi pusat perhatian seperti itu.
Pelajaran kedua kali ini adalah Biologi, salah satu pelajaran favorit Dira. Dia memang bodoh dalam hal rumus tapi dia sangat menguasai segala pelajaran menghafal dan berhubungan dengan bahasa. Setidaknya kali ini moodnya menjadi lebih baik.
“Kumpulkan pekerjaan rumah kalian yang saya berikan beberapa hari yang lalu. Nilai kalian akan saya masukkan untuk menambah nilai untuk kenaikan kelas besok.” Kata Pak Adi dan dengan kompak anak-anak mengeluh bebarengan.
Shit”, Rio mengumpat sambil membolak-balik bukunya yang masih kosong. Dia memang terbiasa melupakan tugas sekolah dan tidak mengerjakannya, tapi bukan berarti dia ingin tinggal kelas dengan cara seperti ini.
“Oke karena banyak yang belum selesai, Bapak kasih waktu 5 menit untuk kalian menyelesaikannya.” Sambung Pak Adi dan diiringi helaan nafas lega dari beberapa anak.
Dira menyodorkaan buku tugasnya kepada Rio, Rio tidak paham apa maksud cewek itu. Ia menoleh kepadanya. Dira hanya tersenyum kaku, dan sedikit menunjukkan raut ketakutan di wajahnya.
“Aku enggak perlu bantuan kamu.” Kata Rio sambil menatap tajam kedua mata Dira. Dira tak bergerak dibiarkannya bukunya tetap di hadapan Rio. Bukankah ia berniat baik ingin menolong Rio kenapa sih ada manusia yang seaneh itu, pikir Dira dalam hati.
“Waktu kalian tinggal 2 menit.” ucap Pak Adi mengingatkan yang spontan menambah kepanikan anak-anak kelas. Rio sudah tidak sabaran mencari jawaban-jawaban itu di buku modulnya dan dengan cepat menyabet buku tugas Dira dan menyalinnya cepat di buku tugas miliknya.
“Kumpulkan sekarang.” Kata Pak Adi bebarengan dengan selesainya Rio menyalin jawaban Dira. Rio segera mengumpulkan bukunya dan buku Dira ke meja Pak Adi dengan bernafas lega. Ujung-ujungnya juga mau nyalin kan. Pake sok enggak nerima bantuan lagi dasar keras kepala, batin Dira.

Jam kosong untuk jam fisika adalah surga bagi Dira. Setidaknya ia tidak perlu berhadapan dengan rumus-rumus. Dia membaca novelnya sambil duduk di bangkunya, sesekali ia memperhatikan Rio yang tertidur bersandar di meja. Ia lalu teringat tentang tugas matematika 40 nomor yang baru berhasil diselesaikannya sekitar 10 nomor entah itu benar atau salah, dan ia juga teringat bahwa besok adalah hari pengumpulannya. Dengan bimbang ia menimang-nimang apa perlu dia mengerjakan dengan .. Rio?
Rio samar-samar mendengar seperti ada yang memanggilnya, dengan pandangan buram ia menghadap orang yang sedang memanggilnya itu. Dan memandangnya dengan tatapan seakan bertanya Apa? Nyali Dira semakin ciut untuk menanyakan tentang tugas itu. Apa Rio bener-bener mau ya diajak ngerjain tugas bareng?, tanyanya tidak yakin dalam hati.
Saat Rio akan kembali membaringkan kepalanya di meja, Dira coba memberanikan diri. “Yo, tugas matematika kita gimana? Kamu udah ngerjain?” Rio segera mengangkat kepalanya dan menghadap Dira, wajah mereka sangat dekat hanya ada celah sekitar 30 centi yang memisahkan mereka, spontan Dira memundurkan wajahnya. Namun Rio hanya diam saja sambil mengamati Dira. “Emang penting?” ucapnya kemudian dan kembali merebahkan kepalanya pada meja.
Arghh.. rasanya Dira ingin mengguncang-guncang badan Rio agar dia sadar kalau dia itu anak sekolah, harusnya dia juga mikirin tugas-tugasnya. Ah, bener-bener enggak beruntung deh dapat temen sebangku sama cowok aneh seperti ini.

Bel tanda pulang berbunyi, anak-anak mulai berhamburan keluar kelas. Dira berjalan perlahan untuk menuju gerbang sekolah.
“Kita pulang bereng, sekalian menyelesaikan tugas matematika di rumahmu.” Kurang lebih seperti itu yang terdengar di telinga Dira. Cewek itu segera mengangkat kepalanya untuk melihat kesungguhan cowok itu.

Rio menuruni motornya, dan berputar untuk mengecek ban depannya. “Shit, pake kempes segala lagi.” Ucapnya sambil mengacak-acak frustasi rambutnya.
“Aku mampir ke bengkel dulu, kamu duluan aja.” Katanya pada Dira. Dira memandangnya cukup lama, dia berpikir jangan-jangan cowok ini mau melarikan diri. Akhirnya Dira memutuskan untuk mengikuti Rio pergi ke bengkel.

                Mamanya Dira selalu siap dengan makanan-makanan enak di dapurnya, beliau memang hobi memasak. Dia ramah kepada siapapun. “Wah Dira bawa temen ya? Loh kamu rumahnya yang di depan itukan?” tanya mamanya kemudian.
“Iya tante.” Jawabnya dengan manis, Dira baru tau ternyata Rio bisa bersikap manis seperti itu. “Nama kamu siapa?” tanya mamanya lagi.
“Rio tante.” Mama Dira mengangguk sedikit sambil tersenyum tertahan, baru kali ini anak perempuannya membawa anak laki-laki ke rumah. “Dira itu di sini belum punya temen loh Yo, dia jarang main. Ajakin main kek kadang-kadang biar dia engggak kayak anak kuper yang di kamar terus.” Dira yang mendengarnya melayangkan tatapan melotot pada mamanya dan memangilnya dengan suara tertahan.
“Maaf, ya Yo. Mama ku emang kayak gitu, sering kelewatan kalo sama orang baru.” Ucap Dira setelah mereka berhasil melarikan diri dari mama ke taman belakang bersiap mengerjakan tugas. Rio hanya mengangguk dengan ekspresi datar. Dira sempat berpikir, kenapa manusia satu ini bisa berganti ekspresi dalam waktu yang sangat singkat tadi dia manis sekali saat di hadapan mama sekarang aja udah semasam belimbing wuluh, dasar cowok aneh.
“Yaudah kita bagi tugas aja aku mengerjakan 20 nomor dari atas, dan kamu 20 nomor selanjutnya, gimana?” usul Dira kepada Rio
“Terserah deh.” Lalu dia cepat-cepat mengambil soalnya dan mengerjakannya. Dira sedikit tidak yakin jika Rio memang benar-benar bisa mengerjakan soal-soal itu. Setengah jam kemudian Rio sudah selesai mengerjakan bagiannya, sedangkan Dira masih kewalahan memasukkan rumus-rumus itu.
“Kamu itu emang bener-bener enggak bisa matematika?” Dira menoleh ke arah sumber suara seakan memberi tahu lewat wajah kacaunya yang sedang mengerjakan matematika itu dengan susah payah. “Pantes aja, kemarin kamu bentar-bentar ngacak-acak rambutmu. Mirip orang frustasi.” Dira terkejut apa benar jika ia kemarin sekacau itu?
“Sudah tau, bantuin kek.” Jawab Dira ketus. Rio hanya diam di tempat tak bergerak sedikitpun. “Aku baru tau kalau ternyata kamu jago matematika.” Sambung Dira. “Emang semua orang perlu tahu ya? Buatku enggak penting!” jawabnya dingin.
Dira terdiam kaku sebentar, ini anak emang bodoh atau gimana? Kenapa ia milih menyembunyikan kepintarannya. “Aku sebenernya iri sama kamu Yo, kamu jago pelajaran menghitung. Sedangkan aku enggak pernah bisa dari dulu. Harusnya jika kamu punya kemampuan itu kamu harus menghargai dan memanfaatkannya.” Dira tak percaya bahwa ia telah mengucapkan kata-kata itu yang lantas disambut tatapan tajam dari mata Rio.
“Apa yang kamu pikirkan sampai kamu enggak mau orang tau kemampuanmu, kalau kamu terus menyembunyikan kemampuanmu. Kamu selamanya akan tejebak dalam sosok orang lain. kamu enggak bisa jadi diri kamu sendiri.” Dira berhenti sejenak untuk mengambil nafas, sebenarnya ia sudah tidak tahan ditatap dengan cara itu oleh Rio, namun entah dorongan dari mana ia mengatakan kata-kata itu. “Kamu seharusnya enggak jadi pengecut seperti ini Yo!” ucapnya akhirnya dapat mengeluarkan emosi yang siap merambat ke ubun-ubunnya. Bersambung
 

Girl in the Rain Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos