Sabtu, 01 November 2014

Stuck on You part 3

Diposting oleh Girl in the Rain di 06.39 0 komentar
“Enggak usah gugup kali, Shill. Ini pertama kalinya kamu pergi sama cowok seganteng aku ya?”
Ini memang kali pertamanya aku pergi berdua dengan cowok. Tapi bukan berarti aku enggak punya temen cowok. Aku dan Angel sering pergi berkelompok dengan teman-teman cowok kami waktu kelas satu. Dan, perlu ditegaskan aku dan Cakka pergi ke sini bukan karena ini yang ingin aku lakukan dengannya--aku dipaksa, ingat dipaksa!
Kedatangan pramusaji meyelamatkanku akan pertanyaan konyol Cakka itu. Cakka segera memesan makanannya. “Kalau kamu pesan apa Shill?”
“Aku enggak usah, deh.” dan akhirnya aku hanya memesan segelas Cappucino. “Aku masih kenyang.” Kataku berbohong. Tetapi sepertinya perutku tidak mau sejalan dengan aksi ku. Perutku malah berbunyi. Aku malu sendiri mendengarnya. Semoga saja Cakka tak menyadarinya.
Namun, Cakka malah kembali memanggil pramusaji itu. Menambah satu porsi lagi pesanan yang sama dengannya. “Tenang aja, aku yang traktir. Hitung-hitung ganti karena kamu udah traktir aku di kantin tempo hari.” Katanya sembari tersenyum.
Ketika pesanan datang, dia segera melahap pesanannya. Aku mengikutinya memakan makanan itu, dan diam-diam aku menyembunyikan senyum.
“Enak?” tanyanya.
“Sebenernya kamu udah tau kalau aku laper kan?”
“Hahaha abis perutmu bunyi dan melas sekali. Nanti selera makanku hilang lihat kamu seperti itu.” katanya dengan penuh ejekan.
“Huu dasar nyebelin! Tapi makasih Cakka.” Ucapku dengan senyum tulus. Dia hanya tersenyum dan menatapku dalam, tanpa ku ketahui maksud dari tatapan itu.

Setelah kenyang makan dan lelah berputar-putar mengelilingi mal. Cakka mengantarku pulang. Entah aku tak tau mengapa, tapi sepanjang jalan dia tidak menanyakan arah menuju rumahku hanya sekali dia bertanya saat mobil hendak berjalan dia menanyakan apakah rumahku masih yang dulu, saat aku mengangguk dia segera melajukan mobilnya hingga sampai rumahku tanpa sekalipun salah jalan.
“Makasih buat hari ini Shill.” Ucapnya saat kami sampai di depan gerbang rumahku.
“Makasih buat apa? Aku yang harusnya bilang makasih karena udah anter plus traktir aku.” Jawabku sedikit bingung.
“Ya .. makasih buat semuanya.” Ucapnya seraya tersenyum.
“Sama-sama.” Ucapku tersenyum seraya menuruni mobil.
Dia tersenyum dan segera melajukan mobilnya hingga aku melihatnya menghilang di tikungan jalan.
Aneh. Dasar aneh, kenapa ada manusia yang punya dua kepribadian kayak gitu. Bentar-bentar ngeselin nanti udah berubah lagi jadi sosok yang perhatian. Ah, entahlah. Kenapa juga aku mikirin dia.

***
               
                Hari Sabtu seperti biasa sekolahku pulang lebih awal, hampir saja aku lupa kalau hari ini adalah hari di mana aku, Angel, Cakka, dan lain-lainnya harus menyelesaikan tugas sejarah kami. Kami berangkat menuju rumah Sivia yang tak terlalu jauh dari sekolah bersamaan--tepatnya  aku berangkat mengendarai mobil Cakka bersama Angel. Cowok itu sendiri yang menawarkan, karena hari ini mobil Angel sedang di bengkel.
                Kami sebenarnya sudah berusaha untuk mengerjakannya dengan cepat, agar selesainya tidak kemalaman tapi tetap saja akhirnya kami baru selesai sekitar pukul 7. Angel di jemput oleh sopirnya, sebenernya aku mau ikut dengannya tapi tiba-tiba Cakka menyela.
                “Shilla bareng aku aja Ngel.” Aku baru saja ingin menyela keputusan sepihak itu, tetapi ...
                “Okedeh, Ka. Aku titip Shilla ya, jagain tuh.” Sial, kenapa sih Angel selalu saja berpihak pada Cakka di saat keadaan seperti ini. Ngeselin banget. Aku kan males barengan sama cowok aneh ini.
                Kemudian Angel pergi meninggalkan kami, aku sudah tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa mengikuti Cakka menuju mobilnya.
               
                Aku sedikit canggung dengan Cakka jika berdua saja dengannya, rasanya dia seperti orang asing walaupun sebenarnya akhir-akhir ini kami sering debat lewat chatt yang sering kami kirimkan. Kami sering adu pendapat dan bertarung menjadi yang paling unggul.
                Dan aku paling enggak bisa ngalahin sikapnya yang keras kepala itu, jadilah selalu aku yang mengalah dalam perdebatan kami. Sebenernya dia enggak keras kepala banget sih, malah dia kadang-kadang bisa jadi penghibur kalau lagi badmood. Dia itu bisa berubah-ubah setiap saat, entah aku juga tidak tahu kenapa bisa seperti itu.

                Sepanjang jalan dia tak pernah angkat bicara, sedangkan aku bukanlah tipe orang yang bisa memulai pembicaraan, aku lebih suka menunggu orang menyapa ku dulu. Aku lebih memilih memandang jendela, hingga akhirnya aku tak ingat apa yang terjadi setelah itu.

                Aku membuka mataku perlahan, dan mulai sadar di mana aku berada; di mobil. Ternyata selama perjalanan tadi aku ketiduran. Kulihat Cakka sudah tak berada di kursi samping, namun samar-samar kulihat bayangan seseorang di depan mobil. Aku keluar dari mobil dan menghampirinya.
                “Kok kamu enggak bangunin aku sih? Udah berapa lama kita nunggu di sini?”
                “Abis kamu tidurnya nyenyak banget, belum lama kok paling baru lima menitan.”
Aku mengangguk samar. “Yaudah kalau gitu .. kamu mau masuk dulu apa langsung balik?”
                “Aku langsung pulang aja deh,”
                “Oh yaudah, maaf kalau nunggu kelamaan. Habis kamu juga sih enggak bangunin aku, besok-besok kalau aku ketiduran teriakin aja, emang susah sih kalau dibangunin hehehe.” Jawabku mulai ngaco.
                “Oh jadi itu alasannya kenapa kamu sering telat ya? Well, aku akan menepati permintaan mu dan jangan nyesel.” Katanya sambil tertawa.
Aku hanya bersungut-sungut dikatai seperti itu. Aku segera pergi meninggalkannya yang masih tertawa terpingkal-pingkal. “Shill jangan marah! Aku bercanda kok. Shill!” katanya panik setelah derai tawanya berhenti. Haha yes, kali ini aku menang. Aku tersenyum samar dan membalikkan tubuh pura-pura memasang wajah marah.
“Shill jangan marah oke? Aku bercanda kok.” Katanya lagi. Kali ini aku tak bisa menahan senyum puasku dan akhirnya tertawa karena melihat ekspresi aneh itu di wajah Cakka. Ternyata mudah mengalahkan Cakka, dia enggak tahan kalau aku marah sama dia. Oke ini cukup berhasil.

**

                Perdebatan ku dengan Cakka terus berlanjut hingga kini. Aku memang tak pernah menang jika adu pendapat dengannya, tapi ini tidak aneh karena dia jago debat. Yang aneh adalah sepanjang pengalamanku aku enggak pernah nunjukin sikap keras kepalaku kepada siapapun, tapi entah dengan Cakka aku bisa jadi diri ku sebenarnya.
                Selama ini aku hanya berusaha untuk terus bersikap baik dan setidaknya baik di mata orang lain. Aku bersikap manis dan sopan, dan semua hal yang menurutku baik. Hal ini semata-mata agar aku dipandang baik oleh orang-orang di sekitarku; untuk menjaga image ku.
Enggak banyak orang yang tau kalau sebenarnya aku ini tipe orang yang enggak suka basa-basi orang yang to the point, enggak bisa ngatur emosi, dan sedikit keras kepala. Hanya keluarga dan teman-teman dekatku yang mengerti sikapku ini.
                Sedangkan Cakka? Bukankah dia termasuk orang baru dalam kehidupanku sekarang? Ya .. memang ia teman kecilku, tapikan itu duluu sekali. Aku bahkan sudah tidak terlalu mengingat tentang kenangan masa lalu itu.
                Dan salah satu kejailannya ada pada chatt kami yang terakhir. Dia berhasil mengerjaiku, dasar manusia absurd.
Cakka : Shill belum tidur?
Shilla : Udah.
Aku membalas pesannya singkat. Ini anak aneh banget sih, ya belum lah baru saja aku mengganti PM ku masak iya aku ganti sambil merem. Memang sih ini sudah lewat jam 12 malam, tapi entah aku tidak bisa tidur.
Cakka : Kalau udah tidur kok bisa bales?
Shilla : Udah tau nanya, tadikan aku baru ganti pm masa iya sambil merem. Aneh!
Cakka : Galak banget
Shilla : Biarin :p
Cakka : Yaudah G’nite. Sweet dream.
Shilla : Nite
Cakka : Shill..
Shilla: ?
Cakka : ucapin Happy B’day
Shilla : Kamu ulang tahun?
Cakka : Ya
Hah emang bener dia ulang tahun? Aku sempat bingung tanggal berapa hari itu, tapi tetap saja aku membalas chatt-nya.
Shilla : Happy Birthday.
Shilla : Kamu serius?
Cakka : bercanda, enggak serius
Shilla : Dasar kurang kerjaan.
Cakka : Maaf..
Cakka : Shill bercanda tau, kok gitu sih. Maaf

                Begitulah aku enggak ngerti kenapa, tapi setiap kali berkirim chatt dengannya rasanya aku seperti punya moodbooster. Tapi entah aku belum bisa mendefinisikan perasaan apa yang sedang kurasakan ini.
               
                Sedangkan di sekolah sikap ku seratus delapan puluh derajad dari aku yang sedang berkirim pesan dengan Cakka. Aku enggak bisa jadi diri aku sendiri di sini. Aku masih tidak kuasa setiap kali melihat tatapan sinis dan gosipan anak-anak yang selalu memojokkan itu. Sehingga di sekolah aku cenderung menghindar dari Cakka.
                Aku enggak bisa membaca wajah Cakka setiap kali aku mencoba menghindarinya, seperti ada raut kecewa dan marah di wajahnya. Jarak ku dengannya menjadi semakin jauh, selain bercakapan panjang kami dalam chatting.
                Hingga suatu hari Cakka mengirim pesan kepadaku.
Cakka : Shill, kamu kenapa sih kalau di sekolah ngehindarin aku?
Shilla : ha? Iya kah? Enggak kok.
Itu jawaban terbodoh yang pernah aku temukan. Jelas saja jika aku membalas seperti itu, bukannya malah aku menutupi kesalahanku malah aku membuka lebar-lebar hal itu. Dasar bodoh, dan aku menyesalinya.
Cakka : Gak Shill, aku tau bgt kamu ngehindarin aku. Aku minta maaf kalau aku punya salah sama kamu.
Shilla : Enggak, kamu enggk ada salah kok sma aku.
Cakka : Yudah deh, maaf kalau selama ini aku buat kmu jdi gak nyaman krn sering gangguin kmu. Tapi, aku punya satu permintaan.
Loh kok jadi kayak gini sih, apa aku terlalu berlebihan ngehindarinya? Ya ampun aku jadi merinding sendiri membaca pesannya yang tiba-tiba serius begitu.
Shilla : Maaf. Apa?
Cakka : Nanti malam jam 8 aku jemput kamu buat dinner, jgn lupa dandan yg rapi J
Shilla : mm.. ya deh. Aku jg minta maaf Ka kalau buat kamu enggak enak.
Cakka : No problem.
                Jawaban singkatnya yang terkesan dingin itu, malah membuatku sedikit takut. Sebenarnya apa yang bakal dia lakukan. Kenapa dia berubah menjadi sosok yang dingin lagi. Bersambung

Stuck on You part 4

Minggu, 26 Oktober 2014

Stuck on You [CakShill] part 2

Diposting oleh Girl in the Rain di 06.52 0 komentar
Sesampainya di kantin, aku mulai bisa bernafas lega. Karena hanya ada beberapa anak cowok yang sedang makan dan sepertinya tak terlalu menggubris kedatangan kami.
“Nasi oseng dua, Bu. Sama es tehnya dua” ucapnya setelah kami mendaratkan tubuh kami di kursi. “Eh Bu. Saya es teh aja deh.” Sambungku, sebenarnya aku tak terlalu lapar, pergi ke kantin sebenarnya hanya alasanku saja untuk dapat melarikan diri dari hadapan Cakka ini.
Setelah pesanan datang, dia segera melahap cepat makanannya.
“Kamu enggak inget aku?” tanyanya tiba-tiba.
Aku berpikir sejenak, maksudnya gimana? Bukannya dia Cakka, jelas-jelas dia temen sekelasku. Lalu maksud pertanyaannya gimana? Seakan mengerti kebingunganku dia kembali berkata.
“Maksud aku, kita pernah ketemu. Kamu bener-bener enggak inget aku?”
“Enggak.. kamu salah orang kali. Mungkin orang itu bukan aku.” Aku diam sebentar mengingat-ngingat.  “Seingetku aku enggak pernah punya temen namanya Cakka dari dulu.” lanjutku
“Em.. kalau Kaka?” ucapnya berbinar, terlihat raut berharap di wajahnya.
Kaka? Kayaknya pernah denger. Siapa sih Kaka? Aku mulai memutar otak mencoba mencari-cari nama itu di memori otakku. Tiba-tiba aku menemukan kepingan masa lalu itu.
“Loh, kamu Kaka? Kok .. bisa?” ucapku setengah ingin berteriak karena terkejut.
“Ya bisa lah nama aku kan Cakka temen-temen kadang panggil Kka ka-ka-a.” ucapnya sambil mengeja nama panggilannya.
“Bukan itu, maksudku ... kok bisa jadi kayak gini bukannya kamu dulu pendiem ya? Anteng gitu orangnya, enggak beda jauh sama aku. Kok sekarang jadi kayak gini?” kataku sambil tertawa bener-bener enggak percaya deh. Dia kecebur apa sih sampai bisa jadi manusia over pede gini?
“Oh.. masalah itu, aku juga enggak tau kenapa jadi kayak gini. Tapi sejak masuk SMP aku tau kalau aku punya bakat buat ikut lomba debat. Sejak itu aku engak tau kenapa bisa berubah jadi kayak gini. Emang beda banget ya?”
“Banget 180 derajat. Ngeselin lagi.” jawabku. Tiba-tiba handphoneku bergetar. Ternyata Angel sudah menunggu di depan karena ekstra musiknya sudah selesai. Akupun segera membayar pesanan kami.
“Aku duluan ya Ka, udah ditungguin Angel tuh di depan.” Izinku
“Iya, ati-ati.” Jawabnya.

Di perjalanan aku mulai mengingat-ngingat tentang Kaka, tak banyak yang dapat ku ingat dari memori masa lalu itu. Seingatku mamanya Kaka sama mama ku itu temenan dekat. Kaka pernah se SD sama aku tapi cuma setahun waktu kelas 1 SD, terus dia pindah entah kemana sejak itu aku enggak pernah ketemu dia lagi.
Yang aneh dari semua ini seingatku Kaka itu anaknya pendiem banget-banget deh, anteng, dan penurut gitu. Malah dulu aku sama dia jarang ngobrol gara-gara aku tipe orang yang pendiem dan dia juga pendiem. Jadi, kita enggak bisa dibilang akrab.
Sedangkan Cakka, aduh .. dia itu seratus delapan puluh derajat bedanya sama si Kaka. Tapi sejak aku ngeliat dia waktu kelas satu emang ada pikiran kayak pernah lihat si Cakka itu sih, tapi enggak pernah sekecilpun kebayang kalau Cakka itu adalah Kaka temen masa kecil ku. Dan kadang kalau aku lewat di depannya Cakka tuh sering ngeliatin aku, aku sih biasa aja aku enggak pernah ada urusan sama dia, jadi aku cuek-cuek aja dan enggak pernah nanggepin dia.
“Woi, dari mana? Kok lama bener sih. Perasaan kelas kita Cuma deket deh.” teriak Angel mengagetkan lamunanku.
“Dari kantin.” Angel langsung memasang tampang kaget. “Tumben mau ke kantin sendirian, biasanya paling males.”
 Jawab jujur enggak ya? Udah deh jawab jujur Angel pasti juga bakal ngertiin. “Enggak sendiri kok, tadi sama Cakka.”
Tebakanku benar pasti si Angel bakal masang tampang terkejutnya itu dan .. “Serius! Wah jangan-jangan kamu ada apa-apa ya sama Cakka?”
“Enak aja! Enggak lah! Aku tadi dipaksa buat traktir karena tadi dia udah kasih tebengan waktu telat tadi.” Ucapku cepat untuk menyanggah hipotesis Angel yang terlalu ngelantur itu.
“Oh.. kalau ada apa-apa juga gapapa kali Shill. Itung-itung nanti aku dapet PJ nya hahaha..” aku langsung mencubit lengannya. “Aduuh.. bercanda kali Shill.” Katanya bersungut-sungut. Haha rasain tuh, emang enak. Aku segera berjalan mendahuluinya menuju lapangan parkir, meninggalkannya dengan wajah yang masih bersungut-sungut.

***

Tak ada warna emas yang seindah perpaduan warna orange dan ungu senja yang terlukis di ufuk Barat langit senja. Aku selalu menikmati kemanisan warna senja itu disetiap soreku. Ditemani oleh alunan musik dan novel favorit di balkon belakang rumahku. Ah, menyenangkan.
Drrtt.. drrt.. terdengar handphoneku bergetar dua kali menandakan bahwa ada chatt masuk. Nomornya tidak ter-save di handphone ku. Aku segera membaca isi chatt tersebut.
NN : Hai Shill. Lagi ngapain?
Aneh siapa sih? Tiba-tiba nanyain lagi ngapain. Sebenarnya aku paling males nggubris orang yang enggak kenal gini, tapi enggak tau ada sesuatu yang mendorongku untuk membalas pesan itu.
                Shilla : siapa?
                Cakka : ini aku Cakka. Pertanyaan ku enggak dijawab nih?
                Shilla : dapet nomer ku dari mana? Enggak lgi ngapa-ngapain kok.
                Cakka : hahaha dari mana aja boleh.
                Shilla : serius Ka! Ada apa? tumben chatt aku?
                Cakka : gak ada apa-apa sih, cuma mau ngobrol sama kamu hehe.
                Shilla : dasar aneh!
                Cakka : Shill
Cakka : Shilla?
Cakka : Yaudah deh.
Tiga kali chatt yang masuk darinya tidak aku gubris, sebenarnya aku males sama manusia super aneh itu. Dia itu sumber masalah. Baru sekali aku nebeng dia aja. Aku udah jadi musuh cewek-cewek seantero sekolah. Jadi, kali ini aku memilih untuk menghindarinya dan tak menggubris tentang masa lalunya kalau dia adalah teman masa kecilku.

***

Untung aja pagi ini ban motornya Mas Elang udah beneran, jadi aku enggak perlu ketemu sama Cakka. Tapi, sepertinya kali ini Dewi Fortuna sedang tidak berpihak kepadaku.
Pelajaran sejarah kali ini adalah membentuk kelompok yang beranggotakan 5 orang, untuk menyusun presentasi. Aku, Angel, Ify, dan Sivia memang selalu menjadi satu kelompok setiap kali ada pembentukan kelompok di kelas kami tapi kali ini kami kekurangan anggota.
“Aku ikut kelompok kalian ya?” tiba-tiba Cakka menawarkan diri menjadi anggota kelompok kami. Aku baru saja ingin mengatakan enggak. Tapi sebelum ku ucapkan Angel sudah menyela pembicaraanku.
Of course Cakka, kamu boleh gabung dengan kami.” Aku hanya melayangan tatapan melotot kepada Angel. Angel yang diberi tatapan malah senyum-senyum sendiri penuh arti. Ah, Angel awas aja nanti!
Jadilah kami berlima mulai membahas topik yang akan kami presentasikan. Bel tanda pelajaran berakhir berbunyi, tapi bahan-bahan yang kami kumpulkan belum lengkap. Akhirnya Sivia mengusulkan untuk meneruskan pekerjaan kami di rumahnya pada hari Sabtu sepulang sekolah. Dan kami sepakat untuk itu.

Kesialan kedua hari ini adalah; ternyata Angel ada jam tambahan musik untuk persiapan lomba paduan suara Minggu depan. Terpaksa aku harus pulang sendiri naik bus karena Mas Elang enggak bisa jemput karena ada jam kuliah.
Aku berjalan hendak melewati gerbang sekolah ketika tiba-tiba ada sebuah mobil yang berhenti di sampingku. Cakka. Dia menurunkan kaca mobilnya.
“Shill, aku anter pulang yuk.”
Aku menggeleng. “Enggak usah, aku naik bus aja.”
“Ayo.” Dia tidak mengerakkan mobilnya. Tetap diam di tempat hingga menyebabkan kemacetan kendaraan lain yang ingin keluar dari gerbang.
“Enggak usah, aku bisa pulang sendiri.” Suara klakson di belakang mulai terdengar tidak sabar, dan aku mulai tidak tahan mendengarnya.
“Aku enggak akan ke mana-mana sampai kamu naik.”
Aku sudah tidak tahan lagi dengan omelan orang-orang yang menyuruh mobil Cakka jalan. Aku masuk ke dalam mobil dan sedikit membanting pintu.
“Aduh .. keras kepala banget sih kamu.” Omelku saat mobil itu mulai melaju menjauhi gerbang sekolah.
“Kamu sih kalau enggak di keras kepalain enggak bakalan mau. Coba dari tadi kamu nurut, aku pasti enggak bakal dimarahin orang-orang tadi.”
“Dasar keras kepala!” gerutuku. Dia malah tertawa mendengarnya.
Sejenak keheningan menyelimuti kami.
Menghindarinya sebenarnya adalah hal yang sulit, pasti ada saja yang membuatku nurut sama keinginannya. Dan ini adalah kesialanku.
“Aku mau mampir ke toko buku dulu. Turunin aku di mal aja.”
“Aku temenin. Lagian sekarang kamu jadi tanggung jawabku.”
“Idih apaan! Whatever lah.” kataku sambil terkekeh. Apa katanya? Aku menjadi tanggung jawabnya. Lucu! Sungguh lucu!

Setelah memasuki toko buku, aku segera pergi ke rak buku Biologi mencari buku untuk bahan referensi persiapan menghadapi OSK biologi. Sedangkan dia entah kemana, tapi kulihat dia melesat ke arah deretan majalah.
Dan akhirnya dia menemuiku saat aku melihat-lihat deretan novel terbaru. “Udah ketemu bukunya?” tanyanya kemudian.
“Udah ini, kamu enggak cari apa-apa?” tanyaku basa-basi.
“Enggak. Kamu masih cari apa lagi?”
“Enggak cari apa-apa lagi. Yaudah kalo gitu aku ke kasir dulu ya?” Dia hanya mengangguk.

Setelah keluar dari toko buku, kami hanya berjalan-jalan untuk turun ke lantai bawah.

“Shill aku laper, makan dulu yuk?” ucapnya saat kami melewati salah satu gerai foodcourt di mal tersebut. Aku terdiam sebentar menimbang-nimbang, uangku mulai menipis gara-gara membeli buku biologi tadi. Sedangkan tadi aku tidak ada rencana untuk mampir makan. Tapi Cakka tanpa aba-aba telah menarik tanganku memasuki rumah makan itu. Bersambung

Stuck on You [Cakka-Shilla] part 1

Diposting oleh Girl in the Rain di 06.37 0 komentar
cerbung cinta remaja, cerbung fanfic cakshill (cakka-shilla), cerbung cakka dan shilla 2014

~When you’re there you’re making my heart beat again and when you’re gone I feel empty.~

“Mampus.. udah jam 7 seperempat lagi.” Keluhku sambil cepat-cepat berlari. Masa iya baru seminggu jadi anak kelas dua udah mau telat lagi sih. Ini gara-gara Mas Elang pake bocor segala bannya. Aku kan yang malah kena imbasnya.
Tin.. tin.. Tiba-tiba suara klakson terdengar sangat memekakkan telinga, hampir saja aku jatuh tersungkur karena kaget mendengar suara itu. Siapa juga yang pagi-pagi gini udah ngajak ribut! Aku membalikkan tubuh untuk melihat orang yang tiba-tiba mengagetkanku itu. Oh ternyata cowok aneh itu.
“Naik gih, aku tebengin.”
Aku tetap diam sambil mengutuk dalam hati cowok yang ada di depanku itu.
“Mau enggak? Yaudahlah kalau enggak mau. Aku duluan. Tapi jangan lupa tengok tuh jam, udah jam berapa sekarang.” Katanya menyadarkanku sambil melirik jam di pergelangan tanganku. Aku mengikutinya untuk melihat jam di pergelangan tanganku. Mati! Kenapa enggak ada yang bilang kalau udah jam 7 seperempat lebih!
Aku masih ragu, tapi dengan pasti segera naik ke boncengan motornya. “Buruan..” ucapku tak sadar sambil memukul punggungnya. Sebenarnya aku enggak pernah sepanik ini sama orang baru, tapi enggak tau kenapa aku bisa kayak gini sama cowok ini.
“Iyaa, santai aja. Ini juga mau jalan kok.” katanya sambil menstarter motornya dan melajukannya dengan kencang.
“Cakka... pelan-pelan aja kenapa!” ucapku panik sampai tak sadar aku telah berpegangan pada pinggangnya. Aku malu sendiri dan segera melepasnya.
Diapun segera memelankan motornya, sangat pelan malah. “Kalau kayak gini jalannya, kita bisa terlambat setengah jam Shilla yang pinter.” Ucapnya yang terdengar halus tapi penuh penyinggungan.
“Yaudah deh, terserah kamu. Yang penting aku enggak telat lama-lama.” ucapku mulai pasrah. Kulihat dia tersenyum puas dari balik spion motornya. Dasar!

Sebenarnya terlambat masuk, bukanlah hal baru buatku. Setelah mendapatkan surat izin masuk dari guru BP. Aku dan dia segera memasuki kelas. Setelah kami memasuki pintu, kudengar banyak sekali yang menyoraki dan bersiul menggodai kami. Aku benci jadi pusat perhatian sungguh! Rasa-rasanya aku ingin lenyap dari pandangan mereka.
Akhirnya aku berhasil melawati masa-masa sulit itu. Aku berhasil duduk di bangku ku dengan selamat. Setelah interogasi wali kelas kami.
“Shill, kamu beneran bareng sama Cakka? Sampai bisa telat bareng gitu?” tanya Angel sebelum ada satu detik aku bernafas lega karena terbebas dari sorotan mata cewek-cewek yang menatap risi kepadaku.
Aku memutar mataku sebelum menjawab pertanyaan itu. “Emang penting ya?” jawabku males. Sebenarnya aku udah males ditanyain apa-apa yang berhubungan dengan Cakka. Kenapa sih, Cuma nebeng motor dia dalam keadaan sedarurat tadi malah jadi masalah kayak gini. Kalau saja tadi tau masalahnya akan jadi kayak gini mungkin aku milih untuk nolak tawarannya itu.
“Ya penting lah Shilla. Liat tuh, kamu udah dijadiin siaga I sama cewek-cewek penggemarnya Cakka itu.” jawabnya dengan semangat yang menyala-nyala.
“Taulah, aku enggak akan peduli.”
“Oke, aku tau kamu bakalan jawab gitu. Jadi gimana ceritanya sampai kamu bisa barengan sama Cakka?” ucapnya mengalah. Angel emang udah bener-bener tau sikapku luar dalam. Dia sahabatku dari kelas satu. Enggak tau kenapa aku bisa kecantol sama orang yang super cerewat dan enggak bisa diem kayak dia. Padahal aku 180 derajat bedanya sama dia. Aku tipe orang yang pendiem dan cenderung anti sosial. Tapi aku merasa nyaman sama dia, Angel itu bisa mengimbangi sifat ku yang seperti ini.
“Jadi tadi tu ceritanya ban motornya Mas Elang bocor waktu perjalanan ke sekolah, jadilah aku jalan kaki dari bengkel, nah kan udah jam 7 seperempat tiba-tiba aja si Cakka itu nongol, terus dia nawarin aku buat bareng dia. Dalam keadaan tenang mungkin aku bakalan nolak tapi waktu itu aku panik banget. Yaudah deh aku nebeng motor dia sampai sekolah.” urai ku panjang lebar.
Angel hanya mangut-mangut. Dan akhirnya kami mendapatkan tatapan tajam dari Pak Duta yang menangkap kebisingan kami.

**

Hari kamis adalah hari dilaksanakannya kegiatan ekstrakulikuler. Aku tetap setia dengan ekstra yang aku pilih sejak masuk kelas satu yaitu English Fun Club (EFC). Aku lebih senang dengan ekstra yang seperti ini. Aku bukanlah siswa yang aktif dalam berorganisasi jadi aku enggak pernah niat buat ikut ekstra kepemimpinan. Di EFC banyak game seru dan sharing pendapat yang menyenangkan, sayangnya pertemuan EFC kali ini diliburkan karena salah satu pembimbing kami sedang melahirkan.
Terpaksa aku harus menunggu Angel selama satu jam tanpa kegiatan apapun. Membayangkannya saja sangat membosankan apa lagi menjalankannya.
“Ngel, aku tunggu di kelas aja ya? Nanti kalau udah selesai calling aku.” Kataku sambil memasangkan i-pod.
“Oke.” Katanya berlalu sambil memamerkan deretan gigi rapinya.
Beberapa saat aku menghabiskan waktu dengan mendengarkan lagu yang mengalun sambil memejamkan mata.
Tiba-tiba saja saat aku membuka mata sudah ada orang yang duduk di kursi depan dan menghadapku. Hampir saja aku berteriak kaget kalau tak segara sadar ternyata cowok itu lagi yang sedang duduk di depanku. Aku memandangnya seakan bertanya Ngapain?
“Kenapa? Ada yang aneh? Atau jangan-jangan kamu terpesona ya sama ketampananku?”
Idih, geer banget sih. Ini anak kenapa bisa overdose gini sih pedenya.
“Kok, enggak ekstra?” tanyanya lagi seakan tak megubris sikapnya yang kelewat pede itu.
“Lagi libur.”
“Emang kamu ekstra apaan?”
“English Club.”
“Oh anak EC. Omong-omong irit banget sih kamu ngomongnya. Takut kalau suara kamu jelek ya?” ucapnya tanpa berdosa. Aku hanya melotot, aduh ini anak lama-lama aku lemparin tas deh. Kenapa sih aku harus ketemu sama manusia seaneh ini.
“Idih sok tau, kamu sendiri kenapa malah di sini enggak ke lapangan?” jawabku enggak mau kalah.
“Emang kamu tau aku ikut ekstra apa?”
“Basket.”
“Wow kok kamu tau sih? Jangan-jangan kamu stalking aku ya?”
Ya Tuhan bantu aku menghadapi anak ini, maafkan aku jika aku sudah tak bisa menahan emosiku.
“Aduh siapa juga sih yang stalking kamu, enggak penting banget kali. Dimana-mana anak basket itu pasti terkenal lah. Masa iya aku enggak tau kamu juga anggota basket.” ucapku mulai berapi-api.
“Oke-oke aku cuma bercanda kok, jangan marah oke? Diem-diem ngeri juga kalau lagi marah.”
Beberapa saat kemudian kami hanya saling diam. Dia juga tak segera pergi, aku jadi risi sendiri melihat tatapan mendelik dan bisik-bisik dari cewek-cewek yang lalu lalang dari depan pintu. Aku bangkit berdiri hendak pergi.
“Mau kemana?”
“Ke kantin.” Jawabku
“Yaudah aku ikut, sekalian traktir aku ya karena udah kasih tumpangan gratis tadi pagi.”
Tuh kan dia enggak ikhlas sekarang aja dia minta traktiran. Dasar!
Dia segera menarik pergelangan tanganku menuju ke kantin, aku hanya pasrah ditarik-tariknya, walaupun ini sama sekali enggak nyaman karena disertai tatapan dan bisik-bisik dari berbagai penjuru. Bersambung

Sabtu, 27 September 2014

Kamu dan Senja

Diposting oleh Girl in the Rain di 06.03 0 komentar

Langit seakan tahu apa yang kurasakan—hanya mendung kelabu yang begitu pilu. Bimbang untuk mencurahkan air matanya.
Aku merindukan hujan, sama seperti hari-hari sebelumnya.
Tapi seakan-akan langit tak pernah mau mengabulkan permintaanku.
Hingga akhirnya ...

13 Juli 2014
Ditengah mendung dan indahnya senja.

            Aku masih mengharapkan hadirnya hujan. Bukan! Bukan untuk mengobrak-abrik kenangan masa lalu itu, hanya saja aku terkadang ingin memeluk semua bayangan indah itu saat tetes-tetes air bening itu mulai melelehi permukaan tubuh. Mendung kelabu hari ini sepertinya tak juga mau mengabulkan permintaan ku.
Musim telah mendekati kemarau, mendung terkadang hanya membuat asa palsu untuk ku harapkan. Bukannya aku tak suka kemarau, bukankah dulu aku pernah bilang langit musim kemarau selalu indah; kawanan awan putih yang bersinar cerah, warna senja yang manis, dan gugusan bintang di langit malam yang tak pernah henti membuat senyum terlekung. Masih ingatkah kau?
Langit pagi musim ini selalu cantik. Biru bersih dengan semburat awan putih yang bersinar lembut dan juga angin sepoi yang membuat dedaunan bergemerisik syahdu. Semua itu selalu mengingatkanku tentang percakapan kita di waktu lampau.  Selama ini aku sudah menyimpan rapat-rapat tentang kenangan masa lalu itu. Bukannya aku melupakanmu, hanya saja aku tak mau larut dalam luka hatiku. Tidak mengutamakan kenangan masa lalu, proses menyembuhkan.
Sesungguhnya aku tak benar-benar menyingkirkan anganku kepadamu. Selama ini, tak habis aku menuliskan bahwa aku merindukanmu. Bercerita pada langit, titip rindu pada kawanan awan. Pernahkah kau mendengarkanku? Akankah kau kembali lagi untuk menemuiku?

*

Angin sore kali ini bertiup lembut dengan kanvas senja yang selalu berwarna manis, menciptakan perpaduan yang sayang untuk dilewatkan. Aku menatap langit senja itu sama seperti kebiasanku sore-sore sebelumnya. Sungguh pemandangan terindah.
Sama seperti biasanya aku tak pernah mudah untuk memalingkan pandanganku jika sudah melihat sang raja siang itu kembali ke peraduannya, tapi kali ini rasanya berbeda ada seseorang yang mengusik perhatianku. Dan seketika ... napasku tertahan. Aku tak percaya, kukerjabkan mataku untuk menyakinkan bahwa aku tidak sedang berhalusinasi. Sungguh aku mengenali orang yang sedang berdiri tak jauh dariku, yang sedang mengamati langit senja itu.
Pada saat yang bersamaan, dia memalingkan wajahnya kepadaku. Aku tak segera memalingkan wajahku seperti hal kebiasaan jika tertangkap basah sedang mengamati orang lain. Seakan ada magnet yang terus menarikku untuk menatap matanya yang misterius itu, sungguh aku merindukan tatapan itu.
Diapun tak juga memalingkan wajahnya, samar-samar ku lihat senyum kaku di lekungan bibirnya. Aku tersadar akan lamunanku, dengan bimbang ku balas senyuman itu. Setelah itu aku tak sadar sudah berapa lama kami saling menatap tanpa kata-kata. Waktu seakan berjalan lambat, membekukan kenangan itu.

*

Banyak yang berubah darimu. Garis wajahmu yang semakin mengguratkan kedewasaan, potongan rambutmu yang rapi, badanmu yang semakin tinggi dan tegap. Sungguh sudah benar-benar berubah dari pertemuan terakhirku denganmu, tapi satu hal yang tak berubah; aura misteriusmu yang sealau terpancar dari sikapmu dan senyum manismu yang tak sembarang kau tebarkan kesiapapun.

Kamu adalah pemandangan terindahku. Aku memang tak bisa membuat ungkapan puitis untuk menggambarkanmu. Hanya saja aku tak bisa mengalihkan pandanganku darimu, sama seperti aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari senja. Karena kamu adalah pemandangan terindahku sama seperti senja.
Tatapanmu yang tajam sekaligus menghangatkan selalu menemani setiap senjaku. Aku tak mengerti kenapa kau selalu menatapku seperti itu, anehnya aku juga tidak bisa mengalihkan pandanganku darimu. Seperti ada sesuatu yang tak terucapkan yang ingin kau sampaikan. Entahlah, aku tak mengerti.

Sebulan sudah semuanya berjalan, kamu masih disini. Apa aku harus senang? Setidaknya kamu tidak akan meninggalkanku secepat dulu kan?
Tapi semuanya berubah, kebimbangan ini mulai menyerang. Aku takut akan rasa kehilangan lagi. Aku tak mau hujan dan senja ku menjadi kelabu. Kamu tak pernah meyakinkanku, sedangkan perasaanku ini mulai meletup-letup diluar kuasaku. Aku tak mau jatuh di lubang yang sama tapi semua diluar kehendakku. Aku harus bagaimana? Jika kamu ternyata kembali kesini hanya akan menghilang lagi? Siapa yang akan tahu? Lalu sikap apa yang harus ku ambil? Aku bimbang.
Luka kehilanganmu, tak semudah itu untuk disembuhkan. Butuh waktu lama untuk mengikhlaskanmu pergi. Setahun aku mengubur semua kenangan masa lalu, berharap kamu tidak menerobos mimpi di dalam tidurku.

Lama aku menunggu dalam bimbang, was-was terhadap hari esok apa yang akan terjadi. Apakah kamu masih di sini atau malah sudah kembali menghilang. Sedangkan seiring bertambahnya hari rasa ku ini malah semakin tak bisa untuk dibendung. Sungguh menyiksa.
Hingga suatu sore, di tempat kali pertama kita bertemu, kau menghampiriku. Sekian lama kesempatan itu ku nanti-nantikan, menunggumu untuk angkat bicara. Bukan hanya sekedar ungkapan; hai atau sapaan singkat lain yang selalu kau layangkan padaku.
Hanya hening yang terjadi setelah beberapa saat kau duduk di sebelahku. Kamu malah larut dalam pemandangan senja yang memanjakan mata. Aku mengikutimu untuk memandang perpaduan warna ungu dan orange yang berpadu menjadi satu di langit barat itu. Sungguh indah, tak pernah seindah ini apakah karena ada kamu sehingga semuanya menjadi semakin indah?
“Aku ... akan tetap disini.”, ucapmu tiba-tiba.
Aku sebenarnya tak benar-benar mengerti dari ucapan itu. Tapi yang kutahu, kamu meyakinkanku. Kualihkan pandanganku untuk menatap kesungguhan dalam bola matamu. Tak ada sinar kebohongan yang dapat ku tangkap dari matamu yang selalu misterius itu. Aku hanya mengangguk dan tersenyum, entah untuk meyakinkanku bahwa dia akan sungguhan tetap disini atau memberikan respon untuk kata yang barusan kau ucapkan.
Beberapa saat kemudian keheningan mulai lagi menyelimuti kita, hanya sinar matahari yang semakin meredup di ufuk Barat.
“Aku kangen kamu.”, kataku tak sadar telah mengucapkan kalimat yang selama ini selalu kupendam rapat-rapat. Aku merasa malu telah mengatakan itu, hawa panaspun mulai terasa menandakan bahwa aku sedang gugup.
Tak kusangka kau tersenyum, belum pernah sebelumnya aku melihat kamu tersenyum semanis itu. “Aku juga kangen kamu, kangen senyum kamu, kangen sikap salting kamu.”, katamu sambil menatapku seakan menyatakan kesungguhannya.
Ternyata kau selama ini juga merindukanku. Aku seakan tak percaya, kukira selama ini hanya aku yang tersiksa akan perasaan itu. Hanya senyum lebar yang dapat kuberikan padamu untuk mengobati rindu.
“Aku akan tetap di sini, aku enggak akan pergi tiba-tiba lagi. Maafin aku karena dulu enggak pamit sama kamu.”, ucapmu dengan sangat hati-hati dan sungguh-sungguh.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk, rasanya ingin menangis. Kau meyakinkanku. Bukankah selama ini aku hanya membutuhkan kehadiran dan keyakinanmu. Dan sekarang semuanya terwujud.
Aku bahagia pernah mengenalmu, sungguh..

Setelah semusim kamu kembali, menutup masa-masa penantianku. Di musim antara kemarau dan hujan. Lihat semuanya menjadi nyata. Kau adalah alasan bahagiaku. Kau yang membuat senjaku semakin indah. Kau adalah pangeranku yang menjelma bersama hujan dan senja. Dan aku menyayangimu...

23 September 2014 

Jumat, 20 Juni 2014

Bukan Cinta Pertama

Diposting oleh Girl in the Rain di 07.37 0 komentar


Ini bukan tentang cinta pertama, hanya sebuah rasa kagum yang harus layu sebelum bersemi. Tentang cinta yang tak lagi menyisakan serpihan rasa maupun pondasinya, karena setelah dia pergi rasa itu telah tercerabut bersama dengan pondasinya, hingga tak tersisa apapun. Habis sudah. Tak tersisa sedikitpun.

2013

Drrt.. drrtt..
            Ku ambil handphoneku dan segera membaca pesan yang baru saja masuk dengan bimbang. Nama itu lagi. Nama yang selama seminggu ini selalu menghantui otakku. Nama yang seketika mengingatkan tentang luka masa lalu. Tentang kenyataan pahit. Tentang kenangan yang tak pernah bisa hilang.

“Ada bazar buku ni di gedung Citra. Hari ini terakhir lho :) Kamu mau bareng sama aku enggak?”

            Aku menghela nafas setelah membaca pesan itu. Bimbang antara menolak atau menerima tawaran itu.
Mungkin ini tawaran bagus, mama enggak mungkin juga mau anter ke sena. Mending-mending dapet tebengan gratis. Yah, ini salah satu pendapatku untuk membesarkan hati agar tidak ragu, mencoba menepis kegelisahan. Yah, tak ada salahnya. Kubalas pesan itu segera bahwa aku menyanggupinya.

**

            Pukul 04.00 aku bersiap dengan kemeja polos biru dongker dan memakai sepatu converse sneaker warna abu-abu, yah seperti biasa tak ada yang istimewa.
            Tepat waktu. Itu salah satu sifat positifmu yang selalu ku ingat.
            “Sori, lama ya nunggu?”
            “Enggak kok, paling baru lima menit.” jawabnya dengan tersenyum. Sudah lama aku tak melihat senyum itu, tepatnya sudah lama dia tidak pernah tersenyum manis seperti itu kepadaku.
            “Yuk, keburu malem.” katanya sambil meyodorkan helm kepadaku. Aku segera naik keatas boncengan setelah mengenakan helm. Dia menghidupkan mesin motornya dan melajukan perlahan di jalan raya. Selama di perjalanan kita tak banyak bicara. Aku sibuk dengan pikirianku sendiri.
            Duduk di boncengan motor ini bersama dia mengingatkanku tentang kejadian di masa lalu, kenangan yang memulai kegelisahan-kegelisahan ini.

            Tiga tahun silam. Aku dan dia masih berseragam putih biru tua, masa-masa dimana kenangan-kanangan ini bermula.
Sore itu langit tak terlalu bersahabat, langit senja yang bergelantung awan kelabu. Aku sedikit panik, pasalnya sekarang sudah pukul 04.30 dan tak ada satu bus pun yang berhenti. Saat itu kebetulan dia lewat di depanku, dia adalah teman sekelompokku yang juga baru pulang dari mencari referensi di perpustakaan, dia menemaniku menunggu bus. Menurutku saat itu dia sangat perhatian padaku, satu hal yang membuatku mulai mengaguminya.
Namun hingga pukul 05.00 tak ada satupun bus yang longgar, dia akhirnya menawarkan diri untuk mau diantarnya sampai rumah. Aku berusaha menolak, karena rumah dia berlawanan arah denganku. Aku kasihan jika dia nanti kemalaman sampai di rumah. Diapun berhasil membujukku, dia mengantarkanku dengan motor ini. Sejak saat itu dia selalu mengantarkanku sampai ke rumah setelah kami belajar kelompok. Sangat romantis dan perhatian dari segi pikirku. Dan mulai sejak itu aku tidak sadar jika sudah ada percikan-percikan yang mulai merekah di hatiku.

Tiga puluh menit, untuk menuju gedung ini. Aku segera tersadar akan lamunanku setelah motor ini memasuki gerbang untuk menuju lapangan parkir. Satelah motor berhenti dan terparkir rapi. Aku dan dia segera memasuki gedung.
Aku tak tahu kalau selama ini dia menyukai buku. Selama aku kenal dia, dia tak pernah sengaja membaca suatu buku dengan serius. Yah dia memang pintar, tapi yang kulihat semasa di bangku SMP dia hanya membaca buku-buku pelajaran. Entahlah, mungkin aku belum benar-benar mengenalnya.
“Mmm.. lihat buku ini deh. Kamu suka pengarang buku ini kan?” tanyanya mengejutkan lamunanku.
“Hah?” aku sedikit bingung, gimana dia bisa tau? Perasaan aku tak pernah memberitahunya. “Kok kamu bisa tahu sih?”
“Iyadong, tau ajasih. Enggak dari mana-mana kok.” Jawabnya terkekeh sambil nyengir.
Aku hanya tersenyum datar. Jangan-jangan dia selama ini juga mengawasiku, pikirku. Ah, entahlah.

*

            Aku mengambil tiga buku, dua dari pengarang favoritku dan satu buku cerita untuk adikku. Dia? Dia mengambil entah buku apa tadi, aku tak tahu, yang pasti berhubungan dengan jurusan yang dia ambil di sekolahnya.
            Sebelum pulang, kami mampir makan malam dulu di warung tenda yang menjual nasi goreng tak jauh dari gedung itu. Kami banyak mengobrol tentang sekolah kita, rutinitas sehari-hari dan masa lalu. Atmosfer kecanggungan itu mulai mengelupas digantikan dengan kehangatan.

Dulu, tiga tahun silam. Sebelum semuanya berubah aku pernah merasakan ini semua dengan utuh tanpa ada kecanggungan yang membatasi. Membagi canda tawa ini bersama dia. Selama setahun aku berharap dia bisa menjadikanku lebih dari teman.
Kedekatan ku dan dia selama itu telah membuatku sadar bahwa aku menyukainya, dan berharap dia menjadikanku bintang di hatinya, seperti aku yang telah memilihnya menjadi bintang yang paling terang di hatiku. Sikapnya yang selalu perhatian dan romantis itu yang meyakinkanku bahwa dia juga menyukaiku. Apa salahnya berharap?

“Dulu kita berdua pernah di hukum guru super killer berdiri di depan kelas, sambil ditanya sampai mati kutu, gara-gara kita salah ngerjain tugas itu. Kamu inget enggak?” tanyanya membuyarkan keheningan.
“Iyalah aku inget, itukan aku nyontek kamu. Harusnya kamu yang disalahin.” Tentu saja aku mengingat itu, itu kali pertama aku dapat melihatnya dengan dekat, pertama kali aku sekelompok dengan dia.
“Hahaha, kamu juga kenapa enggak ngerjain? Ikut-ikut orang salah kayak aku gini.” jawabnya sambil tertawa, menertawakan kecerobohanku karena itu pertama kalinya aku tidak mengerjakan tugas.

Tiga tahun yang lalu memang masa-masa menyenangkan. Aku dan dia memang benar-benar dekat. Tak apa jika aku dan dia akan selalu seperti ini, tak apa tidak ada hubungan antara aku dan dia, asalkan dia bisa selalu bahagia bersamaku, itu pikirku dulu.
Setahun selanjutnya, semuanya mulai berubah aku tak habis pikir jika semua ini akan berakhir seperti ini. Menyakitkan? Sangat menyakitkan malah. Jika akhirnya orang yang selalu kau damba-damba akhirnya menjadi pacar sahabatmu sendiri. Itulah yang kurasakan.
Setahun aku menyimpan perasaan ini berharap dia sadar akan perasaanku. Namun apa? Dia tak cukup peka, ataukah aku yang terlalu pintar menyembunyikan perasaan hingga diapun tak pernah sadar jika aku selalu menantinya? Dia malah meremukkan semua angan dan kenangan indahku bersamanya. Menghancurkan kedekatanku dengannya!

*

Petir mulai menyambar di langit gelap itu. Dia memacu sepeda motornya dengan sedikit kencang. Langitpun gelap-gulita hanya sesekali petir menyambar menerangi kelamnya lagit, menandakan bahwa hujan akan turun dengan derasnya.
Angin bertiup kencang. Sepertinya malam ini hujan akan turun lama. Aku menghela nafas sambil merapatkan jaket yang ku kenakan, ketika gerimis besar-besar mulai menghantam helm yang kukenakan.
“Kamu enggak keberatan kan kalau kita berteduh dulu? Kayaknya hujan bakalan deras banget deh.” tanyanya dari balik kemudi.
“Iya gapapa kok. Aku nanti bisa minta izin mama kalau pulang telat karena kejebak hujan.” Tentu saja berteduh adalah pilihan yang paling tepat. Tidak baik menerjang hujan yang deras dengan sepeda motor. Aku kasihan juga kalau dia harus mengendarai motor saat hujan deras seperti ini.
Dia memilih untuk berteduh di depan minimarket yang tak terlalu ramai.
 Saat dia memarkirkan motornya agar tidak kehujanan, aku memilih duduk bersila di lantai pojok kiri teras minimarket itu. Lalu dia meminta izin kepadaku untuk membeli minuman di dalam dulu. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
Tak lupa aku juga mengabari mama kalau aku pulang telat karena kejebak hujan. Aku paling benci kalau mama panik, karena bakalan repot banget buat aku.
Aku memandang hujan yang turun begitu derasnya. Cahaya lampu berkerlap-kerlip berbias dengan tetesan hujan. Gemeresak suara hujanpun mampu mengalahkan suara lalu-lalang mobil yang sesekali lewat. Petir juga mengkilat-kilat di langit dengan suara gemuruhnya yang memekakkan telinga. Sangat deras, mungkin akan bertahan sampai satu jam pikirku sambil menghela nafas. Sesaat hening, kelebatan masa lalu itu kembali menghantui.

Waktu itu, aku memilih menghindarinya setelah aku mengetahui itu semua. Aku cukup menyadari dan tahu diri.
Selama satu tahun setelah kejadian itu adalah masa-masa sulitku, waktu-waktuku hanya kuhabiskan dengan mengenangnya, mengingat-ngingat kenangan manis bersamanya, menangis--mendengarkan lagu-lagu sendu, menangis--membaca buku-buku tentang patah hati. Menyesali kesalahan masa lalu yang terlalu berharap kepada dia. Aku seakan hanya jalan di tempat tak mampu maju, tenggelam dalam gejolak kegalauan.
Hingga akhirnya aku sadar, aku tak boleh menyiksa diri seperti ini. Aku mulai belajar untuk memendam dalam-dalam kenangan bersamanya, proses melupakan. Memaafkan diri dan berjanji untuk berdamai. Mencoba untuk hidup kembali.
Menyakinkan bahwa aku tidak mau menodai persahabatan hanya karena cinta.

Tak berapa lama ia kembali dengan membawa sekantong plastik putih. Dia menyodorkan sebotol teh dan sebungkus coklat kepadaku lalu ikut duduk bersila di sampingku.
“Dimakan coklatnya, katanya coklat bisa bikin tenang lho.”
Aku mengangguk dan menuruti sarannya memakan coklat itu. Dia juga membuka bungkusan coklat miliknya.
Kami tak banyak bicara hanya sesekali mengobrol pendek dan akhirnya berakhir dengan suara gemeresak hujan yang tak kunjung reda ini. Hampir dua jam dan hujan masih bertahan dengan curah yang sangat deras. Hah, prediksiku salah jika hujan hanya akan bertahan selama satu jam.
“Kamu gapapa kan nunggu selama ini? Mama kamu pasti khawatir.” tanyanya
“Enggak papa kok, santai aja. Tadi aku udah kabarin mama kok.” jawabku sambil tersenyum untuk lebih meyakinkannya. Obrolan kemudian berlanjut.
Tak disangka sudah lima belas menit kami asik mengobrol. Hujanpun sudah mulai reda, tinggal gerimis kecil-kecil yang tersisa. Dia mengusulkan untuk segera pulang karena takut akan terlalu larut malam.

Saat ini apa yang kurasakan? Apakah rasa-rasa itu mulai bermunculan kembali? Apakah hatiku yang membeku ini sudah luluh oleh dirinya? Sesungguhnya aku masih takut untuk sakit hati lagi.

*

            Pukul 21.00 kami sampai di rumahku. Sedikit basah karena gerimis kecil yang membasuh badan selama perjalanan. Aku segera turun dari boncengan dan melepas helm yang kukenakan.
            “Makasih ya, buat semuanya.” kataku sambil mengembalikan helm kepadanya.
            “Iya, besok lagi jangan kapok jalan sama aku.” jawabnya dengan senyum manis yang selalu ku kagumi itu.
            “Enggak kapok kok. Mampir dulu gih.”
            “Enggak deh udah malem banget. Tapi ada sesuatu yang mau aku omongin sama kamu.”
            “Mau ngomong apa? Ngomong aja kali, kenapa harus minta izin?” jawabku sambil terkekeh. Hanya hening, sepertinya serius pikirku.
            “Mmm .., sebenernya aku suka sama kamu.” Hening sesaat. Aku tak tau aku harus bagaimana. Kenapa secepat ini? “Sebenernya udah lama ... sejak kita kelas satu. Waktu itu aku takut kalau kamu bakalan enggak nerima aku.” Apa? Sejak kelas satu? Dadaku terasa tercabik-cabik mendengar kata-kata itu. Kalau sejak kelas satu kenapa dulu dia lebih milih sahabatku sendiri! Melukai perasaanku! Kemana dia selama tiga tahun ini?
            “Mmm ... sekarang kamu mau enggak jadi pacar aku?” Pertanyaan itu, pertanyaan itu yang selalu kunanti-nanti selama tiga tahun silam. Aku tak bisa berkata apa-apa, jantung ku berdegub tak beraturan otakku tak dapat digunakan untuk berfikir dengan normal.
            Apa yang harus kulakukan?
“Maaf. Aku kayaknya butuh waktu untuk berfikir. Kasih waktu aku untuk berfikir ya?” jawabku akhirnya.
             “Oh .., iya gapapa kok. Aku bakalan nunggu jawaban dari kamu.” Jawabnya sambil tersenyum kaku. “Yaudah kalau gitu, aku balik dulu ya. Selamat malam.” Katanya sambil menyalakan mesin motornya.
            Aku membalas salamnya dengan senyuman kaku dan segera memasuki pintu gerbang rumahku.

**

            Setelah berganti pakaian dengan kaos kebesaran warna coklat polos dan celana pendek, aku segera berbaring di tempat tidur.
“Mmm .., sebenernya aku suka sama kamu.” “Sebenernya udah lama ... sejak kita kelas satu. Waktu itu aku takut kalau kamu bakalan enggak nerima aku.” “sekarang kamu mau enggak jadi pacar aku?”
            Hampir satu jam aku berbaring di tempat tidur ini. Kata-kata itu selalu terulang-ulang seperti kaset di benakku.
Aku tak menyangka. Setelah tiga tahun berhasil pergi dari segala kesedihan. Setelah susah payah melawan kesedihan dan menelan kenangan manis yang selalu menyelinap di malam-malam ku dulu. Sekarang dia mendadak kembali. Menanyakan sesuatu yang dahulu telah ku pendam dalam-dalam.
Setelah tiga tahun lalu aku menelan keegoisanku, berusaha mati-matian untuk mematikan rasa ku padanya. Menyakinkan bahwa dia bukanlah untukku. Tiba-tiba saja dia sekarang muncul di depanku, menjanjikan segala hal manis yang dahulu selalu ku damba-dambakan.
Sekarang apa yang harus kulakukan? Apa yang dia harapkan?

Aku fikir kuncinya ada dalam diriku sendiri. Sekarang yang perlu kulakukan adalah menanyakan perasaanku sendiri.
Apakah di hatiku masih tersisa namanya? Kupikir setelah kejadian tiga tahun lalu rasa ku padanya mulai berubah. Sejak dia memilih bersama sahabatku. Aku berfikir bahwa aku memang tak untuk dirinya, maka dari itu aku belajar untuk melupakannya. Nyatanya sekarang proses melupakanku berhasil. Aku tak pernah lagi menangisinya tak pernah lagi merasa cemburu jika dia bersama orang lain.
Sekali lagi kutanyakan pada diriku. Apakah di hatiku masih tersisa namanya? Setelah kejadian dua tahun silam. Aku pikir bahwa semuanya sudah selesai, semuanya sudah jauh di belakang tak ada lagi yang perlu disesali. Rasa yang dulu pernah mengisi hatiku sudah menghilang.
Jadi keputusanku sudah bulat. Besok semuanya harus selesai. Ya! Besok aku akan menemuinya dan menyelesaikan ini semua.

***

            Hanya butuh lima belas menit untuk menuju taman kota ini. Lagi-lagi dia sudah sampai duluan. “Sori lama.” kata ku sambil menyapanya.
            “Iya gapapa kok, santai aja aku belum lama kok.” Aku hanya membalasnya dengan tersenyum dan duduk di sampingnya. Hening sesaat hanya terdengar deru motor yang lalu-lalang di jalanan di depan kami. Aku masih bimbang memulainya dari mana. Sedangkan dia? Entah apa yang sedang dia pikirkan. Cukup lama aku dan dia terdiam, tak ada yang mulai angkat bicara.
            “Hm .. jadi gimana? Kamu udah ada jawabannya?” katanya memecahkan suasana.
            Aku menghela nafas sekali sebelum menjawab pertanyaan itu. “Maaf .. bukannya aku enggak suka sama kamu. Tapi aku udah nganggeb kamu temen aku.” Dia tertunduk mendengar kata-kataku tadi. Aku menghela nafas sekali lagi. “Sebenarnya aku pernah suka sama kamu—tepatnya tiga tahun yang lalu, tapi sejak kamu mutusin buat jadian sama sahabatku. Aku memutuskan untuk melanjutkan hidupku tanpa ‘melihat’ kamu lagi. Aku udah move on dari kamu.” Aku merasakan ada raut kekagetan di wajahnya.
            “Jadi ... sebenernya kamu pernah suka sama aku?” tanyanya dengan bimbang. Aku mengangguk membenarkan. “Tapi sekarang ..  enggak berlebihan kan kalau aku pengin kamu tetep jadi temen aku. Kamu enggak akan jauhi aku kan?” tanyanya lagi.
            “Tentu saja aku mau jadi temen kamu.” jawabku mantap dan terdengar lebih lega.
Dia membalasnya dengan senyuman tulus dan terlihat sedikit lega.

Jadi, aku dan dia tetap berteman, walaupun ada rasa yang pernah tak terbalaskan tapi kami tetap saling memahami.

18 Juni 2014



Sekarang semuanya sudah selesai tidak ada lagi beban tentang cinta pertama. Dia bukan masa laluku yang harus selalu ku musuhi. Dan yah, berdamai juga jalan yang lebih baik. Aku bisa tetap berteman dengannnya tanpa rasa menyakitkan seperti dulu. Menyenangkan. Kupikir ini happy ending :)
 

Girl in the Rain Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos