Langit seakan tahu apa yang kurasakan—hanya mendung kelabu yang begitu
pilu. Bimbang untuk mencurahkan air matanya.
Aku merindukan hujan, sama seperti hari-hari sebelumnya.
Tapi seakan-akan langit tak pernah mau mengabulkan permintaanku.
Hingga akhirnya ...
13 Juli 2014
Ditengah mendung dan indahnya senja.
Aku
masih mengharapkan hadirnya hujan. Bukan! Bukan untuk mengobrak-abrik kenangan
masa lalu itu, hanya saja aku terkadang ingin memeluk semua bayangan indah itu
saat tetes-tetes air bening itu mulai melelehi permukaan tubuh. Mendung kelabu
hari ini sepertinya tak juga mau mengabulkan permintaan ku.
Musim telah mendekati
kemarau, mendung terkadang hanya membuat asa palsu untuk ku harapkan. Bukannya
aku tak suka kemarau, bukankah dulu aku pernah bilang langit musim kemarau
selalu indah; kawanan awan putih yang bersinar cerah, warna senja yang manis,
dan gugusan bintang di langit malam yang tak pernah henti membuat senyum
terlekung. Masih ingatkah kau?
Langit pagi musim ini selalu cantik. Biru bersih dengan semburat awan putih yang bersinar
lembut dan juga angin sepoi yang membuat dedaunan bergemerisik syahdu. Semua
itu selalu mengingatkanku tentang percakapan kita di waktu lampau. Selama ini aku sudah menyimpan rapat-rapat
tentang kenangan masa lalu itu. Bukannya aku melupakanmu, hanya saja aku tak
mau larut dalam luka hatiku. Tidak mengutamakan kenangan masa lalu, proses
menyembuhkan.
Sesungguhnya aku tak
benar-benar menyingkirkan anganku kepadamu. Selama ini, tak habis aku menuliskan
bahwa aku merindukanmu. Bercerita pada langit, titip rindu pada kawanan awan.
Pernahkah kau mendengarkanku? Akankah kau kembali lagi untuk menemuiku?
*
Angin sore kali ini
bertiup lembut dengan kanvas senja yang selalu berwarna manis, menciptakan
perpaduan yang sayang untuk dilewatkan. Aku menatap langit senja itu sama
seperti kebiasanku sore-sore sebelumnya. Sungguh pemandangan terindah.
Sama seperti biasanya
aku tak pernah mudah untuk memalingkan pandanganku jika sudah melihat sang raja
siang itu kembali ke peraduannya, tapi kali ini rasanya berbeda ada seseorang
yang mengusik perhatianku. Dan seketika ... napasku tertahan. Aku tak percaya,
kukerjabkan mataku untuk menyakinkan bahwa aku tidak sedang berhalusinasi.
Sungguh aku mengenali orang yang sedang berdiri tak jauh dariku, yang sedang
mengamati langit senja itu.
Pada saat yang
bersamaan, dia memalingkan wajahnya kepadaku. Aku tak segera memalingkan
wajahku seperti hal kebiasaan jika tertangkap basah sedang mengamati orang
lain. Seakan ada magnet yang terus menarikku untuk menatap matanya yang
misterius itu, sungguh aku merindukan tatapan itu.
Diapun tak juga
memalingkan wajahnya, samar-samar ku lihat senyum kaku di lekungan bibirnya.
Aku tersadar akan lamunanku, dengan bimbang ku balas senyuman itu. Setelah itu
aku tak sadar sudah berapa lama kami saling menatap tanpa kata-kata. Waktu
seakan berjalan lambat, membekukan kenangan itu.
*
Banyak yang berubah
darimu. Garis wajahmu yang semakin mengguratkan kedewasaan, potongan rambutmu
yang rapi, badanmu yang semakin tinggi dan tegap. Sungguh sudah benar-benar
berubah dari pertemuan terakhirku denganmu, tapi satu hal yang tak berubah;
aura misteriusmu yang sealau terpancar dari sikapmu dan senyum manismu yang tak
sembarang kau tebarkan kesiapapun.
Kamu adalah pemandangan
terindahku. Aku memang tak bisa membuat ungkapan puitis untuk menggambarkanmu.
Hanya saja aku tak bisa mengalihkan pandanganku darimu, sama seperti aku tak
bisa mengalihkan pandanganku dari senja. Karena kamu adalah pemandangan
terindahku sama seperti senja.
Tatapanmu yang tajam
sekaligus menghangatkan selalu menemani setiap senjaku. Aku tak mengerti kenapa
kau selalu menatapku seperti itu, anehnya aku juga tidak bisa mengalihkan
pandanganku darimu. Seperti ada sesuatu yang tak terucapkan yang ingin kau
sampaikan. Entahlah, aku tak mengerti.
Sebulan sudah semuanya
berjalan, kamu masih disini. Apa aku harus senang? Setidaknya kamu tidak akan
meninggalkanku secepat dulu kan?
Tapi semuanya berubah,
kebimbangan ini mulai menyerang. Aku takut akan rasa kehilangan lagi. Aku tak
mau hujan dan senja ku menjadi kelabu. Kamu tak pernah meyakinkanku, sedangkan
perasaanku ini mulai meletup-letup diluar kuasaku. Aku tak mau jatuh di lubang
yang sama tapi semua diluar kehendakku. Aku harus bagaimana? Jika kamu ternyata
kembali kesini hanya akan menghilang lagi? Siapa yang akan tahu? Lalu sikap apa
yang harus ku ambil? Aku bimbang.
Luka kehilanganmu, tak
semudah itu untuk disembuhkan. Butuh waktu lama untuk mengikhlaskanmu pergi.
Setahun aku mengubur semua kenangan masa lalu, berharap kamu tidak menerobos
mimpi di dalam tidurku.
Lama aku menunggu dalam
bimbang, was-was terhadap hari esok apa yang akan terjadi. Apakah kamu masih di
sini atau malah sudah kembali menghilang. Sedangkan seiring bertambahnya hari
rasa ku ini malah semakin tak bisa untuk dibendung. Sungguh menyiksa.
Hingga suatu sore, di
tempat kali pertama kita bertemu, kau menghampiriku. Sekian lama kesempatan itu
ku nanti-nantikan, menunggumu untuk angkat bicara. Bukan hanya sekedar
ungkapan; hai atau sapaan singkat lain yang selalu kau layangkan padaku.
Hanya hening yang
terjadi setelah beberapa saat kau duduk di sebelahku. Kamu malah larut dalam
pemandangan senja yang memanjakan mata. Aku mengikutimu untuk memandang
perpaduan warna ungu dan orange yang berpadu menjadi satu di langit barat itu.
Sungguh indah, tak pernah seindah ini apakah karena ada kamu sehingga semuanya
menjadi semakin indah?
“Aku ... akan tetap
disini.”, ucapmu tiba-tiba.
Aku sebenarnya tak
benar-benar mengerti dari ucapan itu. Tapi yang kutahu, kamu meyakinkanku.
Kualihkan pandanganku untuk menatap kesungguhan dalam bola matamu. Tak ada
sinar kebohongan yang dapat ku tangkap dari matamu yang selalu misterius itu.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum, entah untuk meyakinkanku bahwa dia akan
sungguhan tetap disini atau memberikan respon untuk kata yang barusan kau
ucapkan.
Beberapa saat kemudian keheningan
mulai lagi menyelimuti kita, hanya sinar matahari yang semakin meredup di ufuk
Barat.
“Aku kangen kamu.”,
kataku tak sadar telah mengucapkan kalimat yang selama ini selalu kupendam
rapat-rapat. Aku merasa malu telah mengatakan itu, hawa panaspun mulai terasa
menandakan bahwa aku sedang gugup.
Tak kusangka kau
tersenyum, belum pernah sebelumnya aku melihat kamu tersenyum semanis itu. “Aku
juga kangen kamu, kangen senyum kamu, kangen sikap salting kamu.”, katamu
sambil menatapku seakan menyatakan kesungguhannya.
Ternyata kau selama ini
juga merindukanku. Aku seakan tak percaya, kukira selama ini hanya aku yang
tersiksa akan perasaan itu. Hanya senyum lebar yang dapat kuberikan padamu
untuk mengobati rindu.
“Aku akan tetap di sini,
aku enggak akan pergi tiba-tiba lagi. Maafin aku karena dulu enggak pamit sama
kamu.”, ucapmu dengan sangat hati-hati dan sungguh-sungguh.
Aku hanya tersenyum dan
mengangguk, rasanya ingin menangis. Kau meyakinkanku. Bukankah selama ini aku
hanya membutuhkan kehadiran dan keyakinanmu. Dan sekarang semuanya terwujud.
Aku bahagia pernah
mengenalmu, sungguh..
Setelah semusim kamu kembali, menutup masa-masa penantianku. Di musim
antara kemarau dan hujan. Lihat semuanya menjadi nyata. Kau adalah alasan
bahagiaku. Kau yang membuat senjaku semakin indah. Kau adalah pangeranku yang
menjelma bersama hujan dan senja. Dan aku menyayangimu...
23 September 2014
.jpg)
0 komentar:
Posting Komentar