Minggu, 26 Oktober 2014

Stuck on You [CakShill] part 2

Diposting oleh Girl in the Rain di 06.52
Sesampainya di kantin, aku mulai bisa bernafas lega. Karena hanya ada beberapa anak cowok yang sedang makan dan sepertinya tak terlalu menggubris kedatangan kami.
“Nasi oseng dua, Bu. Sama es tehnya dua” ucapnya setelah kami mendaratkan tubuh kami di kursi. “Eh Bu. Saya es teh aja deh.” Sambungku, sebenarnya aku tak terlalu lapar, pergi ke kantin sebenarnya hanya alasanku saja untuk dapat melarikan diri dari hadapan Cakka ini.
Setelah pesanan datang, dia segera melahap cepat makanannya.
“Kamu enggak inget aku?” tanyanya tiba-tiba.
Aku berpikir sejenak, maksudnya gimana? Bukannya dia Cakka, jelas-jelas dia temen sekelasku. Lalu maksud pertanyaannya gimana? Seakan mengerti kebingunganku dia kembali berkata.
“Maksud aku, kita pernah ketemu. Kamu bener-bener enggak inget aku?”
“Enggak.. kamu salah orang kali. Mungkin orang itu bukan aku.” Aku diam sebentar mengingat-ngingat.  “Seingetku aku enggak pernah punya temen namanya Cakka dari dulu.” lanjutku
“Em.. kalau Kaka?” ucapnya berbinar, terlihat raut berharap di wajahnya.
Kaka? Kayaknya pernah denger. Siapa sih Kaka? Aku mulai memutar otak mencoba mencari-cari nama itu di memori otakku. Tiba-tiba aku menemukan kepingan masa lalu itu.
“Loh, kamu Kaka? Kok .. bisa?” ucapku setengah ingin berteriak karena terkejut.
“Ya bisa lah nama aku kan Cakka temen-temen kadang panggil Kka ka-ka-a.” ucapnya sambil mengeja nama panggilannya.
“Bukan itu, maksudku ... kok bisa jadi kayak gini bukannya kamu dulu pendiem ya? Anteng gitu orangnya, enggak beda jauh sama aku. Kok sekarang jadi kayak gini?” kataku sambil tertawa bener-bener enggak percaya deh. Dia kecebur apa sih sampai bisa jadi manusia over pede gini?
“Oh.. masalah itu, aku juga enggak tau kenapa jadi kayak gini. Tapi sejak masuk SMP aku tau kalau aku punya bakat buat ikut lomba debat. Sejak itu aku engak tau kenapa bisa berubah jadi kayak gini. Emang beda banget ya?”
“Banget 180 derajat. Ngeselin lagi.” jawabku. Tiba-tiba handphoneku bergetar. Ternyata Angel sudah menunggu di depan karena ekstra musiknya sudah selesai. Akupun segera membayar pesanan kami.
“Aku duluan ya Ka, udah ditungguin Angel tuh di depan.” Izinku
“Iya, ati-ati.” Jawabnya.

Di perjalanan aku mulai mengingat-ngingat tentang Kaka, tak banyak yang dapat ku ingat dari memori masa lalu itu. Seingatku mamanya Kaka sama mama ku itu temenan dekat. Kaka pernah se SD sama aku tapi cuma setahun waktu kelas 1 SD, terus dia pindah entah kemana sejak itu aku enggak pernah ketemu dia lagi.
Yang aneh dari semua ini seingatku Kaka itu anaknya pendiem banget-banget deh, anteng, dan penurut gitu. Malah dulu aku sama dia jarang ngobrol gara-gara aku tipe orang yang pendiem dan dia juga pendiem. Jadi, kita enggak bisa dibilang akrab.
Sedangkan Cakka, aduh .. dia itu seratus delapan puluh derajat bedanya sama si Kaka. Tapi sejak aku ngeliat dia waktu kelas satu emang ada pikiran kayak pernah lihat si Cakka itu sih, tapi enggak pernah sekecilpun kebayang kalau Cakka itu adalah Kaka temen masa kecil ku. Dan kadang kalau aku lewat di depannya Cakka tuh sering ngeliatin aku, aku sih biasa aja aku enggak pernah ada urusan sama dia, jadi aku cuek-cuek aja dan enggak pernah nanggepin dia.
“Woi, dari mana? Kok lama bener sih. Perasaan kelas kita Cuma deket deh.” teriak Angel mengagetkan lamunanku.
“Dari kantin.” Angel langsung memasang tampang kaget. “Tumben mau ke kantin sendirian, biasanya paling males.”
 Jawab jujur enggak ya? Udah deh jawab jujur Angel pasti juga bakal ngertiin. “Enggak sendiri kok, tadi sama Cakka.”
Tebakanku benar pasti si Angel bakal masang tampang terkejutnya itu dan .. “Serius! Wah jangan-jangan kamu ada apa-apa ya sama Cakka?”
“Enak aja! Enggak lah! Aku tadi dipaksa buat traktir karena tadi dia udah kasih tebengan waktu telat tadi.” Ucapku cepat untuk menyanggah hipotesis Angel yang terlalu ngelantur itu.
“Oh.. kalau ada apa-apa juga gapapa kali Shill. Itung-itung nanti aku dapet PJ nya hahaha..” aku langsung mencubit lengannya. “Aduuh.. bercanda kali Shill.” Katanya bersungut-sungut. Haha rasain tuh, emang enak. Aku segera berjalan mendahuluinya menuju lapangan parkir, meninggalkannya dengan wajah yang masih bersungut-sungut.

***

Tak ada warna emas yang seindah perpaduan warna orange dan ungu senja yang terlukis di ufuk Barat langit senja. Aku selalu menikmati kemanisan warna senja itu disetiap soreku. Ditemani oleh alunan musik dan novel favorit di balkon belakang rumahku. Ah, menyenangkan.
Drrtt.. drrt.. terdengar handphoneku bergetar dua kali menandakan bahwa ada chatt masuk. Nomornya tidak ter-save di handphone ku. Aku segera membaca isi chatt tersebut.
NN : Hai Shill. Lagi ngapain?
Aneh siapa sih? Tiba-tiba nanyain lagi ngapain. Sebenarnya aku paling males nggubris orang yang enggak kenal gini, tapi enggak tau ada sesuatu yang mendorongku untuk membalas pesan itu.
                Shilla : siapa?
                Cakka : ini aku Cakka. Pertanyaan ku enggak dijawab nih?
                Shilla : dapet nomer ku dari mana? Enggak lgi ngapa-ngapain kok.
                Cakka : hahaha dari mana aja boleh.
                Shilla : serius Ka! Ada apa? tumben chatt aku?
                Cakka : gak ada apa-apa sih, cuma mau ngobrol sama kamu hehe.
                Shilla : dasar aneh!
                Cakka : Shill
Cakka : Shilla?
Cakka : Yaudah deh.
Tiga kali chatt yang masuk darinya tidak aku gubris, sebenarnya aku males sama manusia super aneh itu. Dia itu sumber masalah. Baru sekali aku nebeng dia aja. Aku udah jadi musuh cewek-cewek seantero sekolah. Jadi, kali ini aku memilih untuk menghindarinya dan tak menggubris tentang masa lalunya kalau dia adalah teman masa kecilku.

***

Untung aja pagi ini ban motornya Mas Elang udah beneran, jadi aku enggak perlu ketemu sama Cakka. Tapi, sepertinya kali ini Dewi Fortuna sedang tidak berpihak kepadaku.
Pelajaran sejarah kali ini adalah membentuk kelompok yang beranggotakan 5 orang, untuk menyusun presentasi. Aku, Angel, Ify, dan Sivia memang selalu menjadi satu kelompok setiap kali ada pembentukan kelompok di kelas kami tapi kali ini kami kekurangan anggota.
“Aku ikut kelompok kalian ya?” tiba-tiba Cakka menawarkan diri menjadi anggota kelompok kami. Aku baru saja ingin mengatakan enggak. Tapi sebelum ku ucapkan Angel sudah menyela pembicaraanku.
Of course Cakka, kamu boleh gabung dengan kami.” Aku hanya melayangan tatapan melotot kepada Angel. Angel yang diberi tatapan malah senyum-senyum sendiri penuh arti. Ah, Angel awas aja nanti!
Jadilah kami berlima mulai membahas topik yang akan kami presentasikan. Bel tanda pelajaran berakhir berbunyi, tapi bahan-bahan yang kami kumpulkan belum lengkap. Akhirnya Sivia mengusulkan untuk meneruskan pekerjaan kami di rumahnya pada hari Sabtu sepulang sekolah. Dan kami sepakat untuk itu.

Kesialan kedua hari ini adalah; ternyata Angel ada jam tambahan musik untuk persiapan lomba paduan suara Minggu depan. Terpaksa aku harus pulang sendiri naik bus karena Mas Elang enggak bisa jemput karena ada jam kuliah.
Aku berjalan hendak melewati gerbang sekolah ketika tiba-tiba ada sebuah mobil yang berhenti di sampingku. Cakka. Dia menurunkan kaca mobilnya.
“Shill, aku anter pulang yuk.”
Aku menggeleng. “Enggak usah, aku naik bus aja.”
“Ayo.” Dia tidak mengerakkan mobilnya. Tetap diam di tempat hingga menyebabkan kemacetan kendaraan lain yang ingin keluar dari gerbang.
“Enggak usah, aku bisa pulang sendiri.” Suara klakson di belakang mulai terdengar tidak sabar, dan aku mulai tidak tahan mendengarnya.
“Aku enggak akan ke mana-mana sampai kamu naik.”
Aku sudah tidak tahan lagi dengan omelan orang-orang yang menyuruh mobil Cakka jalan. Aku masuk ke dalam mobil dan sedikit membanting pintu.
“Aduh .. keras kepala banget sih kamu.” Omelku saat mobil itu mulai melaju menjauhi gerbang sekolah.
“Kamu sih kalau enggak di keras kepalain enggak bakalan mau. Coba dari tadi kamu nurut, aku pasti enggak bakal dimarahin orang-orang tadi.”
“Dasar keras kepala!” gerutuku. Dia malah tertawa mendengarnya.
Sejenak keheningan menyelimuti kami.
Menghindarinya sebenarnya adalah hal yang sulit, pasti ada saja yang membuatku nurut sama keinginannya. Dan ini adalah kesialanku.
“Aku mau mampir ke toko buku dulu. Turunin aku di mal aja.”
“Aku temenin. Lagian sekarang kamu jadi tanggung jawabku.”
“Idih apaan! Whatever lah.” kataku sambil terkekeh. Apa katanya? Aku menjadi tanggung jawabnya. Lucu! Sungguh lucu!

Setelah memasuki toko buku, aku segera pergi ke rak buku Biologi mencari buku untuk bahan referensi persiapan menghadapi OSK biologi. Sedangkan dia entah kemana, tapi kulihat dia melesat ke arah deretan majalah.
Dan akhirnya dia menemuiku saat aku melihat-lihat deretan novel terbaru. “Udah ketemu bukunya?” tanyanya kemudian.
“Udah ini, kamu enggak cari apa-apa?” tanyaku basa-basi.
“Enggak. Kamu masih cari apa lagi?”
“Enggak cari apa-apa lagi. Yaudah kalo gitu aku ke kasir dulu ya?” Dia hanya mengangguk.

Setelah keluar dari toko buku, kami hanya berjalan-jalan untuk turun ke lantai bawah.

“Shill aku laper, makan dulu yuk?” ucapnya saat kami melewati salah satu gerai foodcourt di mal tersebut. Aku terdiam sebentar menimbang-nimbang, uangku mulai menipis gara-gara membeli buku biologi tadi. Sedangkan tadi aku tidak ada rencana untuk mampir makan. Tapi Cakka tanpa aba-aba telah menarik tanganku memasuki rumah makan itu. Bersambung

0 komentar:

Posting Komentar

 

Girl in the Rain Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos