Jumat, 20 Juni 2014

Bukan Cinta Pertama

Diposting oleh Girl in the Rain di 07.37


Ini bukan tentang cinta pertama, hanya sebuah rasa kagum yang harus layu sebelum bersemi. Tentang cinta yang tak lagi menyisakan serpihan rasa maupun pondasinya, karena setelah dia pergi rasa itu telah tercerabut bersama dengan pondasinya, hingga tak tersisa apapun. Habis sudah. Tak tersisa sedikitpun.

2013

Drrt.. drrtt..
            Ku ambil handphoneku dan segera membaca pesan yang baru saja masuk dengan bimbang. Nama itu lagi. Nama yang selama seminggu ini selalu menghantui otakku. Nama yang seketika mengingatkan tentang luka masa lalu. Tentang kenyataan pahit. Tentang kenangan yang tak pernah bisa hilang.

“Ada bazar buku ni di gedung Citra. Hari ini terakhir lho :) Kamu mau bareng sama aku enggak?”

            Aku menghela nafas setelah membaca pesan itu. Bimbang antara menolak atau menerima tawaran itu.
Mungkin ini tawaran bagus, mama enggak mungkin juga mau anter ke sena. Mending-mending dapet tebengan gratis. Yah, ini salah satu pendapatku untuk membesarkan hati agar tidak ragu, mencoba menepis kegelisahan. Yah, tak ada salahnya. Kubalas pesan itu segera bahwa aku menyanggupinya.

**

            Pukul 04.00 aku bersiap dengan kemeja polos biru dongker dan memakai sepatu converse sneaker warna abu-abu, yah seperti biasa tak ada yang istimewa.
            Tepat waktu. Itu salah satu sifat positifmu yang selalu ku ingat.
            “Sori, lama ya nunggu?”
            “Enggak kok, paling baru lima menit.” jawabnya dengan tersenyum. Sudah lama aku tak melihat senyum itu, tepatnya sudah lama dia tidak pernah tersenyum manis seperti itu kepadaku.
            “Yuk, keburu malem.” katanya sambil meyodorkan helm kepadaku. Aku segera naik keatas boncengan setelah mengenakan helm. Dia menghidupkan mesin motornya dan melajukan perlahan di jalan raya. Selama di perjalanan kita tak banyak bicara. Aku sibuk dengan pikirianku sendiri.
            Duduk di boncengan motor ini bersama dia mengingatkanku tentang kejadian di masa lalu, kenangan yang memulai kegelisahan-kegelisahan ini.

            Tiga tahun silam. Aku dan dia masih berseragam putih biru tua, masa-masa dimana kenangan-kanangan ini bermula.
Sore itu langit tak terlalu bersahabat, langit senja yang bergelantung awan kelabu. Aku sedikit panik, pasalnya sekarang sudah pukul 04.30 dan tak ada satu bus pun yang berhenti. Saat itu kebetulan dia lewat di depanku, dia adalah teman sekelompokku yang juga baru pulang dari mencari referensi di perpustakaan, dia menemaniku menunggu bus. Menurutku saat itu dia sangat perhatian padaku, satu hal yang membuatku mulai mengaguminya.
Namun hingga pukul 05.00 tak ada satupun bus yang longgar, dia akhirnya menawarkan diri untuk mau diantarnya sampai rumah. Aku berusaha menolak, karena rumah dia berlawanan arah denganku. Aku kasihan jika dia nanti kemalaman sampai di rumah. Diapun berhasil membujukku, dia mengantarkanku dengan motor ini. Sejak saat itu dia selalu mengantarkanku sampai ke rumah setelah kami belajar kelompok. Sangat romantis dan perhatian dari segi pikirku. Dan mulai sejak itu aku tidak sadar jika sudah ada percikan-percikan yang mulai merekah di hatiku.

Tiga puluh menit, untuk menuju gedung ini. Aku segera tersadar akan lamunanku setelah motor ini memasuki gerbang untuk menuju lapangan parkir. Satelah motor berhenti dan terparkir rapi. Aku dan dia segera memasuki gedung.
Aku tak tahu kalau selama ini dia menyukai buku. Selama aku kenal dia, dia tak pernah sengaja membaca suatu buku dengan serius. Yah dia memang pintar, tapi yang kulihat semasa di bangku SMP dia hanya membaca buku-buku pelajaran. Entahlah, mungkin aku belum benar-benar mengenalnya.
“Mmm.. lihat buku ini deh. Kamu suka pengarang buku ini kan?” tanyanya mengejutkan lamunanku.
“Hah?” aku sedikit bingung, gimana dia bisa tau? Perasaan aku tak pernah memberitahunya. “Kok kamu bisa tahu sih?”
“Iyadong, tau ajasih. Enggak dari mana-mana kok.” Jawabnya terkekeh sambil nyengir.
Aku hanya tersenyum datar. Jangan-jangan dia selama ini juga mengawasiku, pikirku. Ah, entahlah.

*

            Aku mengambil tiga buku, dua dari pengarang favoritku dan satu buku cerita untuk adikku. Dia? Dia mengambil entah buku apa tadi, aku tak tahu, yang pasti berhubungan dengan jurusan yang dia ambil di sekolahnya.
            Sebelum pulang, kami mampir makan malam dulu di warung tenda yang menjual nasi goreng tak jauh dari gedung itu. Kami banyak mengobrol tentang sekolah kita, rutinitas sehari-hari dan masa lalu. Atmosfer kecanggungan itu mulai mengelupas digantikan dengan kehangatan.

Dulu, tiga tahun silam. Sebelum semuanya berubah aku pernah merasakan ini semua dengan utuh tanpa ada kecanggungan yang membatasi. Membagi canda tawa ini bersama dia. Selama setahun aku berharap dia bisa menjadikanku lebih dari teman.
Kedekatan ku dan dia selama itu telah membuatku sadar bahwa aku menyukainya, dan berharap dia menjadikanku bintang di hatinya, seperti aku yang telah memilihnya menjadi bintang yang paling terang di hatiku. Sikapnya yang selalu perhatian dan romantis itu yang meyakinkanku bahwa dia juga menyukaiku. Apa salahnya berharap?

“Dulu kita berdua pernah di hukum guru super killer berdiri di depan kelas, sambil ditanya sampai mati kutu, gara-gara kita salah ngerjain tugas itu. Kamu inget enggak?” tanyanya membuyarkan keheningan.
“Iyalah aku inget, itukan aku nyontek kamu. Harusnya kamu yang disalahin.” Tentu saja aku mengingat itu, itu kali pertama aku dapat melihatnya dengan dekat, pertama kali aku sekelompok dengan dia.
“Hahaha, kamu juga kenapa enggak ngerjain? Ikut-ikut orang salah kayak aku gini.” jawabnya sambil tertawa, menertawakan kecerobohanku karena itu pertama kalinya aku tidak mengerjakan tugas.

Tiga tahun yang lalu memang masa-masa menyenangkan. Aku dan dia memang benar-benar dekat. Tak apa jika aku dan dia akan selalu seperti ini, tak apa tidak ada hubungan antara aku dan dia, asalkan dia bisa selalu bahagia bersamaku, itu pikirku dulu.
Setahun selanjutnya, semuanya mulai berubah aku tak habis pikir jika semua ini akan berakhir seperti ini. Menyakitkan? Sangat menyakitkan malah. Jika akhirnya orang yang selalu kau damba-damba akhirnya menjadi pacar sahabatmu sendiri. Itulah yang kurasakan.
Setahun aku menyimpan perasaan ini berharap dia sadar akan perasaanku. Namun apa? Dia tak cukup peka, ataukah aku yang terlalu pintar menyembunyikan perasaan hingga diapun tak pernah sadar jika aku selalu menantinya? Dia malah meremukkan semua angan dan kenangan indahku bersamanya. Menghancurkan kedekatanku dengannya!

*

Petir mulai menyambar di langit gelap itu. Dia memacu sepeda motornya dengan sedikit kencang. Langitpun gelap-gulita hanya sesekali petir menyambar menerangi kelamnya lagit, menandakan bahwa hujan akan turun dengan derasnya.
Angin bertiup kencang. Sepertinya malam ini hujan akan turun lama. Aku menghela nafas sambil merapatkan jaket yang ku kenakan, ketika gerimis besar-besar mulai menghantam helm yang kukenakan.
“Kamu enggak keberatan kan kalau kita berteduh dulu? Kayaknya hujan bakalan deras banget deh.” tanyanya dari balik kemudi.
“Iya gapapa kok. Aku nanti bisa minta izin mama kalau pulang telat karena kejebak hujan.” Tentu saja berteduh adalah pilihan yang paling tepat. Tidak baik menerjang hujan yang deras dengan sepeda motor. Aku kasihan juga kalau dia harus mengendarai motor saat hujan deras seperti ini.
Dia memilih untuk berteduh di depan minimarket yang tak terlalu ramai.
 Saat dia memarkirkan motornya agar tidak kehujanan, aku memilih duduk bersila di lantai pojok kiri teras minimarket itu. Lalu dia meminta izin kepadaku untuk membeli minuman di dalam dulu. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
Tak lupa aku juga mengabari mama kalau aku pulang telat karena kejebak hujan. Aku paling benci kalau mama panik, karena bakalan repot banget buat aku.
Aku memandang hujan yang turun begitu derasnya. Cahaya lampu berkerlap-kerlip berbias dengan tetesan hujan. Gemeresak suara hujanpun mampu mengalahkan suara lalu-lalang mobil yang sesekali lewat. Petir juga mengkilat-kilat di langit dengan suara gemuruhnya yang memekakkan telinga. Sangat deras, mungkin akan bertahan sampai satu jam pikirku sambil menghela nafas. Sesaat hening, kelebatan masa lalu itu kembali menghantui.

Waktu itu, aku memilih menghindarinya setelah aku mengetahui itu semua. Aku cukup menyadari dan tahu diri.
Selama satu tahun setelah kejadian itu adalah masa-masa sulitku, waktu-waktuku hanya kuhabiskan dengan mengenangnya, mengingat-ngingat kenangan manis bersamanya, menangis--mendengarkan lagu-lagu sendu, menangis--membaca buku-buku tentang patah hati. Menyesali kesalahan masa lalu yang terlalu berharap kepada dia. Aku seakan hanya jalan di tempat tak mampu maju, tenggelam dalam gejolak kegalauan.
Hingga akhirnya aku sadar, aku tak boleh menyiksa diri seperti ini. Aku mulai belajar untuk memendam dalam-dalam kenangan bersamanya, proses melupakan. Memaafkan diri dan berjanji untuk berdamai. Mencoba untuk hidup kembali.
Menyakinkan bahwa aku tidak mau menodai persahabatan hanya karena cinta.

Tak berapa lama ia kembali dengan membawa sekantong plastik putih. Dia menyodorkan sebotol teh dan sebungkus coklat kepadaku lalu ikut duduk bersila di sampingku.
“Dimakan coklatnya, katanya coklat bisa bikin tenang lho.”
Aku mengangguk dan menuruti sarannya memakan coklat itu. Dia juga membuka bungkusan coklat miliknya.
Kami tak banyak bicara hanya sesekali mengobrol pendek dan akhirnya berakhir dengan suara gemeresak hujan yang tak kunjung reda ini. Hampir dua jam dan hujan masih bertahan dengan curah yang sangat deras. Hah, prediksiku salah jika hujan hanya akan bertahan selama satu jam.
“Kamu gapapa kan nunggu selama ini? Mama kamu pasti khawatir.” tanyanya
“Enggak papa kok, santai aja. Tadi aku udah kabarin mama kok.” jawabku sambil tersenyum untuk lebih meyakinkannya. Obrolan kemudian berlanjut.
Tak disangka sudah lima belas menit kami asik mengobrol. Hujanpun sudah mulai reda, tinggal gerimis kecil-kecil yang tersisa. Dia mengusulkan untuk segera pulang karena takut akan terlalu larut malam.

Saat ini apa yang kurasakan? Apakah rasa-rasa itu mulai bermunculan kembali? Apakah hatiku yang membeku ini sudah luluh oleh dirinya? Sesungguhnya aku masih takut untuk sakit hati lagi.

*

            Pukul 21.00 kami sampai di rumahku. Sedikit basah karena gerimis kecil yang membasuh badan selama perjalanan. Aku segera turun dari boncengan dan melepas helm yang kukenakan.
            “Makasih ya, buat semuanya.” kataku sambil mengembalikan helm kepadanya.
            “Iya, besok lagi jangan kapok jalan sama aku.” jawabnya dengan senyum manis yang selalu ku kagumi itu.
            “Enggak kapok kok. Mampir dulu gih.”
            “Enggak deh udah malem banget. Tapi ada sesuatu yang mau aku omongin sama kamu.”
            “Mau ngomong apa? Ngomong aja kali, kenapa harus minta izin?” jawabku sambil terkekeh. Hanya hening, sepertinya serius pikirku.
            “Mmm .., sebenernya aku suka sama kamu.” Hening sesaat. Aku tak tau aku harus bagaimana. Kenapa secepat ini? “Sebenernya udah lama ... sejak kita kelas satu. Waktu itu aku takut kalau kamu bakalan enggak nerima aku.” Apa? Sejak kelas satu? Dadaku terasa tercabik-cabik mendengar kata-kata itu. Kalau sejak kelas satu kenapa dulu dia lebih milih sahabatku sendiri! Melukai perasaanku! Kemana dia selama tiga tahun ini?
            “Mmm ... sekarang kamu mau enggak jadi pacar aku?” Pertanyaan itu, pertanyaan itu yang selalu kunanti-nanti selama tiga tahun silam. Aku tak bisa berkata apa-apa, jantung ku berdegub tak beraturan otakku tak dapat digunakan untuk berfikir dengan normal.
            Apa yang harus kulakukan?
“Maaf. Aku kayaknya butuh waktu untuk berfikir. Kasih waktu aku untuk berfikir ya?” jawabku akhirnya.
             “Oh .., iya gapapa kok. Aku bakalan nunggu jawaban dari kamu.” Jawabnya sambil tersenyum kaku. “Yaudah kalau gitu, aku balik dulu ya. Selamat malam.” Katanya sambil menyalakan mesin motornya.
            Aku membalas salamnya dengan senyuman kaku dan segera memasuki pintu gerbang rumahku.

**

            Setelah berganti pakaian dengan kaos kebesaran warna coklat polos dan celana pendek, aku segera berbaring di tempat tidur.
“Mmm .., sebenernya aku suka sama kamu.” “Sebenernya udah lama ... sejak kita kelas satu. Waktu itu aku takut kalau kamu bakalan enggak nerima aku.” “sekarang kamu mau enggak jadi pacar aku?”
            Hampir satu jam aku berbaring di tempat tidur ini. Kata-kata itu selalu terulang-ulang seperti kaset di benakku.
Aku tak menyangka. Setelah tiga tahun berhasil pergi dari segala kesedihan. Setelah susah payah melawan kesedihan dan menelan kenangan manis yang selalu menyelinap di malam-malam ku dulu. Sekarang dia mendadak kembali. Menanyakan sesuatu yang dahulu telah ku pendam dalam-dalam.
Setelah tiga tahun lalu aku menelan keegoisanku, berusaha mati-matian untuk mematikan rasa ku padanya. Menyakinkan bahwa dia bukanlah untukku. Tiba-tiba saja dia sekarang muncul di depanku, menjanjikan segala hal manis yang dahulu selalu ku damba-dambakan.
Sekarang apa yang harus kulakukan? Apa yang dia harapkan?

Aku fikir kuncinya ada dalam diriku sendiri. Sekarang yang perlu kulakukan adalah menanyakan perasaanku sendiri.
Apakah di hatiku masih tersisa namanya? Kupikir setelah kejadian tiga tahun lalu rasa ku padanya mulai berubah. Sejak dia memilih bersama sahabatku. Aku berfikir bahwa aku memang tak untuk dirinya, maka dari itu aku belajar untuk melupakannya. Nyatanya sekarang proses melupakanku berhasil. Aku tak pernah lagi menangisinya tak pernah lagi merasa cemburu jika dia bersama orang lain.
Sekali lagi kutanyakan pada diriku. Apakah di hatiku masih tersisa namanya? Setelah kejadian dua tahun silam. Aku pikir bahwa semuanya sudah selesai, semuanya sudah jauh di belakang tak ada lagi yang perlu disesali. Rasa yang dulu pernah mengisi hatiku sudah menghilang.
Jadi keputusanku sudah bulat. Besok semuanya harus selesai. Ya! Besok aku akan menemuinya dan menyelesaikan ini semua.

***

            Hanya butuh lima belas menit untuk menuju taman kota ini. Lagi-lagi dia sudah sampai duluan. “Sori lama.” kata ku sambil menyapanya.
            “Iya gapapa kok, santai aja aku belum lama kok.” Aku hanya membalasnya dengan tersenyum dan duduk di sampingnya. Hening sesaat hanya terdengar deru motor yang lalu-lalang di jalanan di depan kami. Aku masih bimbang memulainya dari mana. Sedangkan dia? Entah apa yang sedang dia pikirkan. Cukup lama aku dan dia terdiam, tak ada yang mulai angkat bicara.
            “Hm .. jadi gimana? Kamu udah ada jawabannya?” katanya memecahkan suasana.
            Aku menghela nafas sekali sebelum menjawab pertanyaan itu. “Maaf .. bukannya aku enggak suka sama kamu. Tapi aku udah nganggeb kamu temen aku.” Dia tertunduk mendengar kata-kataku tadi. Aku menghela nafas sekali lagi. “Sebenarnya aku pernah suka sama kamu—tepatnya tiga tahun yang lalu, tapi sejak kamu mutusin buat jadian sama sahabatku. Aku memutuskan untuk melanjutkan hidupku tanpa ‘melihat’ kamu lagi. Aku udah move on dari kamu.” Aku merasakan ada raut kekagetan di wajahnya.
            “Jadi ... sebenernya kamu pernah suka sama aku?” tanyanya dengan bimbang. Aku mengangguk membenarkan. “Tapi sekarang ..  enggak berlebihan kan kalau aku pengin kamu tetep jadi temen aku. Kamu enggak akan jauhi aku kan?” tanyanya lagi.
            “Tentu saja aku mau jadi temen kamu.” jawabku mantap dan terdengar lebih lega.
Dia membalasnya dengan senyuman tulus dan terlihat sedikit lega.

Jadi, aku dan dia tetap berteman, walaupun ada rasa yang pernah tak terbalaskan tapi kami tetap saling memahami.

18 Juni 2014



Sekarang semuanya sudah selesai tidak ada lagi beban tentang cinta pertama. Dia bukan masa laluku yang harus selalu ku musuhi. Dan yah, berdamai juga jalan yang lebih baik. Aku bisa tetap berteman dengannnya tanpa rasa menyakitkan seperti dulu. Menyenangkan. Kupikir ini happy ending :)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Girl in the Rain Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos