Ini bukan tentang cinta pertama,
hanya sebuah rasa kagum yang harus layu sebelum bersemi. Tentang cinta yang tak
lagi menyisakan serpihan rasa maupun pondasinya, karena setelah dia pergi rasa
itu telah tercerabut bersama dengan pondasinya, hingga tak tersisa apapun.
Habis sudah. Tak tersisa sedikitpun.
2013
Drrt..
drrtt..
Ku ambil handphoneku dan segera
membaca pesan yang baru saja masuk dengan bimbang. Nama itu lagi. Nama yang
selama seminggu ini selalu menghantui otakku. Nama yang seketika mengingatkan
tentang luka masa lalu. Tentang kenyataan pahit. Tentang kenangan yang tak
pernah bisa hilang.
“Ada bazar buku ni di gedung Citra.
Hari ini terakhir lho :) Kamu mau bareng sama aku enggak?”
Aku menghela nafas setelah membaca
pesan itu. Bimbang antara menolak atau menerima tawaran itu.
Mungkin
ini tawaran bagus, mama enggak mungkin juga mau anter ke sena. Mending-mending
dapet tebengan gratis. Yah, ini salah satu pendapatku untuk membesarkan hati agar
tidak ragu, mencoba menepis kegelisahan. Yah, tak ada salahnya. Kubalas pesan
itu segera bahwa aku menyanggupinya.
**
Pukul 04.00 aku bersiap dengan
kemeja polos biru dongker dan memakai sepatu converse sneaker warna abu-abu,
yah seperti biasa tak ada yang istimewa.
Tepat waktu. Itu salah satu sifat
positifmu yang selalu ku ingat.
“Sori, lama ya nunggu?”
“Enggak kok, paling baru lima
menit.” jawabnya dengan tersenyum. Sudah lama aku tak melihat senyum itu,
tepatnya sudah lama dia tidak pernah tersenyum manis seperti itu kepadaku.
“Yuk, keburu malem.” katanya sambil
meyodorkan helm kepadaku. Aku segera naik keatas boncengan setelah mengenakan
helm. Dia menghidupkan mesin motornya dan melajukan perlahan di jalan raya.
Selama di perjalanan kita tak banyak bicara. Aku sibuk dengan pikirianku sendiri.
Duduk di boncengan motor ini bersama
dia mengingatkanku tentang kejadian di masa lalu, kenangan yang memulai
kegelisahan-kegelisahan ini.
Tiga
tahun silam. Aku dan dia masih berseragam putih biru tua, masa-masa dimana
kenangan-kanangan ini bermula.
Sore itu langit tak
terlalu bersahabat, langit senja yang bergelantung awan kelabu. Aku sedikit
panik, pasalnya sekarang sudah pukul 04.30 dan tak ada satu bus pun yang
berhenti. Saat itu kebetulan dia lewat di depanku, dia adalah teman
sekelompokku yang juga baru pulang dari mencari referensi di perpustakaan, dia
menemaniku menunggu bus. Menurutku saat itu dia sangat perhatian padaku, satu
hal yang membuatku mulai mengaguminya.
Namun hingga pukul
05.00 tak ada satupun bus yang longgar, dia akhirnya menawarkan diri untuk mau
diantarnya sampai rumah. Aku berusaha menolak, karena rumah dia berlawanan arah
denganku. Aku kasihan jika dia nanti kemalaman sampai di rumah. Diapun berhasil
membujukku, dia mengantarkanku dengan motor ini. Sejak saat itu dia selalu
mengantarkanku sampai ke rumah setelah kami belajar kelompok. Sangat romantis
dan perhatian dari segi pikirku. Dan mulai sejak itu aku tidak sadar jika sudah
ada percikan-percikan yang mulai merekah di hatiku.
Tiga
puluh menit, untuk menuju gedung ini. Aku segera tersadar akan lamunanku
setelah motor ini memasuki gerbang untuk menuju lapangan parkir. Satelah motor
berhenti dan terparkir rapi. Aku dan dia segera memasuki gedung.
Aku
tak tahu kalau selama ini dia menyukai buku. Selama aku kenal dia, dia tak
pernah sengaja membaca suatu buku dengan serius. Yah dia memang pintar, tapi
yang kulihat semasa di bangku SMP dia hanya membaca buku-buku pelajaran.
Entahlah, mungkin aku belum benar-benar mengenalnya.
“Mmm..
lihat buku ini deh. Kamu suka pengarang buku ini kan?” tanyanya mengejutkan
lamunanku.
“Hah?”
aku sedikit bingung, gimana dia bisa tau? Perasaan aku tak pernah
memberitahunya. “Kok kamu bisa tahu sih?”
“Iyadong,
tau ajasih. Enggak dari mana-mana kok.” Jawabnya terkekeh sambil nyengir.
Aku
hanya tersenyum datar. Jangan-jangan dia selama ini juga mengawasiku, pikirku.
Ah, entahlah.
*
Aku mengambil tiga buku, dua dari
pengarang favoritku dan satu buku cerita untuk adikku. Dia? Dia mengambil entah
buku apa tadi, aku tak tahu, yang pasti berhubungan dengan jurusan yang dia ambil
di sekolahnya.
Sebelum pulang, kami mampir makan
malam dulu di warung tenda yang menjual nasi goreng tak jauh dari gedung itu.
Kami banyak mengobrol tentang sekolah kita, rutinitas sehari-hari dan masa
lalu. Atmosfer kecanggungan itu mulai mengelupas digantikan dengan kehangatan.
Dulu, tiga tahun silam.
Sebelum semuanya berubah aku pernah merasakan ini semua dengan utuh tanpa ada
kecanggungan yang membatasi. Membagi canda tawa ini bersama dia. Selama setahun
aku berharap dia bisa menjadikanku lebih dari teman.
Kedekatan ku dan dia
selama itu telah membuatku sadar bahwa aku menyukainya, dan berharap dia
menjadikanku bintang di hatinya, seperti aku yang telah memilihnya menjadi
bintang yang paling terang di hatiku. Sikapnya yang selalu perhatian dan
romantis itu yang meyakinkanku bahwa dia juga menyukaiku. Apa salahnya
berharap?
“Dulu
kita berdua pernah di hukum guru super killer berdiri di depan kelas, sambil
ditanya sampai mati kutu, gara-gara kita salah ngerjain tugas itu. Kamu inget
enggak?” tanyanya membuyarkan keheningan.
“Iyalah
aku inget, itukan aku nyontek kamu. Harusnya kamu yang disalahin.” Tentu saja
aku mengingat itu, itu kali pertama aku dapat melihatnya dengan dekat, pertama
kali aku sekelompok dengan dia.
“Hahaha,
kamu juga kenapa enggak ngerjain? Ikut-ikut orang salah kayak aku gini.”
jawabnya sambil tertawa, menertawakan kecerobohanku karena itu pertama kalinya
aku tidak mengerjakan tugas.
Tiga tahun yang lalu
memang masa-masa menyenangkan. Aku dan dia memang benar-benar dekat. Tak apa
jika aku dan dia akan selalu seperti ini, tak apa tidak ada hubungan antara aku
dan dia, asalkan dia bisa selalu bahagia bersamaku, itu pikirku dulu.
Setahun selanjutnya,
semuanya mulai berubah aku tak habis pikir jika semua ini akan berakhir seperti
ini. Menyakitkan? Sangat menyakitkan malah. Jika akhirnya orang yang selalu kau
damba-damba akhirnya menjadi pacar sahabatmu sendiri. Itulah yang kurasakan.
Setahun aku menyimpan
perasaan ini berharap dia sadar akan perasaanku. Namun apa? Dia tak cukup peka,
ataukah aku yang terlalu pintar menyembunyikan perasaan hingga diapun tak
pernah sadar jika aku selalu menantinya? Dia malah meremukkan semua angan dan
kenangan indahku bersamanya. Menghancurkan kedekatanku dengannya!
*
Petir
mulai menyambar di langit gelap itu. Dia memacu sepeda motornya dengan sedikit
kencang. Langitpun gelap-gulita hanya sesekali petir menyambar menerangi
kelamnya lagit, menandakan bahwa hujan akan turun dengan derasnya.
Angin
bertiup kencang. Sepertinya malam ini hujan akan turun lama. Aku menghela nafas
sambil merapatkan jaket yang ku kenakan, ketika gerimis besar-besar mulai
menghantam helm yang kukenakan.
“Kamu
enggak keberatan kan kalau kita berteduh dulu? Kayaknya hujan bakalan deras
banget deh.” tanyanya dari balik kemudi.
“Iya
gapapa kok. Aku nanti bisa minta izin mama kalau pulang telat karena kejebak
hujan.” Tentu saja berteduh adalah pilihan yang paling tepat. Tidak baik
menerjang hujan yang deras dengan sepeda motor. Aku kasihan juga kalau dia
harus mengendarai motor saat hujan deras seperti ini.
Dia
memilih untuk berteduh di depan minimarket yang tak terlalu ramai.
Saat dia memarkirkan motornya agar tidak
kehujanan, aku memilih duduk bersila di lantai pojok kiri teras minimarket itu.
Lalu dia meminta izin kepadaku untuk membeli minuman di dalam dulu. Aku hanya
mengangguk dan tersenyum.
Tak
lupa aku juga mengabari mama kalau aku pulang telat karena kejebak hujan. Aku
paling benci kalau mama panik, karena bakalan repot banget buat aku.
Aku
memandang hujan yang turun begitu derasnya. Cahaya lampu berkerlap-kerlip
berbias dengan tetesan hujan. Gemeresak suara hujanpun mampu mengalahkan suara
lalu-lalang mobil yang sesekali lewat. Petir juga mengkilat-kilat di langit
dengan suara gemuruhnya yang memekakkan telinga. Sangat deras, mungkin akan
bertahan sampai satu jam pikirku sambil menghela nafas. Sesaat hening, kelebatan
masa lalu itu kembali menghantui.
Waktu itu, aku memilih
menghindarinya setelah aku mengetahui itu semua. Aku cukup menyadari dan tahu
diri.
Selama satu tahun
setelah kejadian itu adalah masa-masa sulitku, waktu-waktuku hanya kuhabiskan
dengan mengenangnya, mengingat-ngingat kenangan manis bersamanya, menangis--mendengarkan
lagu-lagu sendu, menangis--membaca buku-buku tentang patah hati. Menyesali
kesalahan masa lalu yang terlalu berharap kepada dia. Aku seakan hanya jalan di
tempat tak mampu maju, tenggelam dalam gejolak kegalauan.
Hingga akhirnya aku
sadar, aku tak boleh menyiksa diri seperti ini. Aku mulai belajar untuk
memendam dalam-dalam kenangan bersamanya, proses melupakan. Memaafkan diri dan
berjanji untuk berdamai. Mencoba untuk hidup kembali.
Menyakinkan bahwa aku
tidak mau menodai persahabatan hanya karena cinta.
Tak
berapa lama ia kembali dengan membawa sekantong plastik putih. Dia menyodorkan
sebotol teh dan sebungkus coklat kepadaku lalu ikut duduk bersila di sampingku.
“Dimakan
coklatnya, katanya coklat bisa bikin tenang lho.”
Aku
mengangguk dan menuruti sarannya memakan coklat itu. Dia juga membuka bungkusan
coklat miliknya.
Kami
tak banyak bicara hanya sesekali mengobrol pendek dan akhirnya berakhir dengan
suara gemeresak hujan yang tak kunjung reda ini. Hampir dua jam dan hujan masih
bertahan dengan curah yang sangat deras. Hah, prediksiku salah jika hujan hanya
akan bertahan selama satu jam.
“Kamu
gapapa kan nunggu selama ini? Mama kamu pasti khawatir.” tanyanya
“Enggak
papa kok, santai aja. Tadi aku udah kabarin mama kok.” jawabku sambil tersenyum
untuk lebih meyakinkannya. Obrolan kemudian berlanjut.
Tak
disangka sudah lima belas menit kami asik mengobrol. Hujanpun sudah mulai reda,
tinggal gerimis kecil-kecil yang tersisa. Dia mengusulkan untuk segera pulang
karena takut akan terlalu larut malam.
Saat
ini apa yang kurasakan? Apakah rasa-rasa itu mulai bermunculan kembali? Apakah
hatiku yang membeku ini sudah luluh oleh dirinya? Sesungguhnya aku masih takut
untuk sakit hati lagi.
*
Pukul 21.00 kami sampai di rumahku.
Sedikit basah karena gerimis kecil yang membasuh badan selama perjalanan. Aku
segera turun dari boncengan dan melepas helm yang kukenakan.
“Makasih ya, buat semuanya.” kataku
sambil mengembalikan helm kepadanya.
“Iya, besok lagi jangan kapok jalan
sama aku.” jawabnya dengan senyum manis yang selalu ku kagumi itu.
“Enggak kapok kok. Mampir dulu gih.”
“Enggak deh udah malem banget. Tapi
ada sesuatu yang mau aku omongin sama kamu.”
“Mau ngomong apa? Ngomong aja kali,
kenapa harus minta izin?” jawabku sambil terkekeh. Hanya hening, sepertinya
serius pikirku.
“Mmm .., sebenernya aku suka sama
kamu.” Hening sesaat. Aku tak tau aku harus bagaimana. Kenapa secepat ini?
“Sebenernya udah lama ... sejak kita kelas satu. Waktu itu aku takut kalau kamu
bakalan enggak nerima aku.” Apa? Sejak kelas satu? Dadaku terasa tercabik-cabik
mendengar kata-kata itu. Kalau sejak kelas satu kenapa dulu dia lebih milih
sahabatku sendiri! Melukai perasaanku! Kemana dia selama tiga tahun ini?
“Mmm ... sekarang kamu mau enggak
jadi pacar aku?” Pertanyaan itu, pertanyaan itu yang selalu kunanti-nanti
selama tiga tahun silam. Aku tak bisa berkata apa-apa, jantung ku berdegub tak
beraturan otakku tak dapat digunakan untuk berfikir dengan normal.
Apa yang harus kulakukan?
“Maaf.
Aku kayaknya butuh waktu untuk berfikir. Kasih waktu aku untuk berfikir ya?”
jawabku akhirnya.
“Oh .., iya gapapa kok. Aku bakalan nunggu
jawaban dari kamu.” Jawabnya sambil tersenyum kaku. “Yaudah kalau gitu, aku
balik dulu ya. Selamat malam.” Katanya sambil menyalakan mesin motornya.
Aku membalas salamnya dengan
senyuman kaku dan segera memasuki pintu gerbang rumahku.
**
Setelah
berganti pakaian dengan kaos kebesaran warna coklat polos dan celana pendek, aku
segera berbaring di tempat tidur.
“Mmm .., sebenernya aku suka sama
kamu.” “Sebenernya udah lama ... sejak kita kelas satu. Waktu itu aku takut
kalau kamu bakalan enggak nerima aku.” “sekarang kamu mau enggak jadi pacar
aku?”
Hampir satu jam aku berbaring di
tempat tidur ini. Kata-kata itu selalu terulang-ulang seperti kaset di benakku.
Aku
tak menyangka. Setelah tiga tahun berhasil pergi dari segala kesedihan. Setelah
susah payah melawan kesedihan dan menelan kenangan manis yang selalu menyelinap
di malam-malam ku dulu. Sekarang dia mendadak kembali. Menanyakan sesuatu yang
dahulu telah ku pendam dalam-dalam.
Setelah
tiga tahun lalu aku menelan keegoisanku, berusaha mati-matian untuk mematikan
rasa ku padanya. Menyakinkan bahwa dia bukanlah untukku. Tiba-tiba saja dia
sekarang muncul di depanku, menjanjikan segala hal manis yang dahulu selalu ku
damba-dambakan.
Sekarang
apa yang harus kulakukan? Apa yang dia harapkan?
Aku
fikir kuncinya ada dalam diriku sendiri. Sekarang yang perlu kulakukan adalah
menanyakan perasaanku sendiri.
Apakah
di hatiku masih tersisa namanya? Kupikir setelah kejadian tiga tahun lalu rasa
ku padanya mulai berubah. Sejak dia memilih bersama sahabatku. Aku berfikir
bahwa aku memang tak untuk dirinya, maka dari itu aku belajar untuk
melupakannya. Nyatanya sekarang proses melupakanku berhasil. Aku tak pernah
lagi menangisinya tak pernah lagi merasa cemburu jika dia bersama orang lain.
Sekali
lagi kutanyakan pada diriku. Apakah di hatiku masih tersisa namanya? Setelah
kejadian dua tahun silam. Aku pikir bahwa semuanya sudah selesai, semuanya
sudah jauh di belakang tak ada lagi yang perlu disesali. Rasa yang dulu pernah
mengisi hatiku sudah menghilang.
Jadi
keputusanku sudah bulat. Besok semuanya harus selesai. Ya! Besok aku akan
menemuinya dan menyelesaikan ini semua.
***
Hanya butuh lima belas menit untuk
menuju taman kota ini. Lagi-lagi dia sudah sampai duluan. “Sori lama.” kata ku
sambil menyapanya.
“Iya gapapa kok, santai aja aku
belum lama kok.” Aku hanya membalasnya dengan tersenyum dan duduk di sampingnya.
Hening sesaat hanya terdengar deru motor yang lalu-lalang di jalanan di depan
kami. Aku masih bimbang memulainya dari mana. Sedangkan dia? Entah apa yang
sedang dia pikirkan. Cukup lama aku dan dia terdiam, tak ada yang mulai angkat
bicara.
“Hm .. jadi gimana? Kamu udah ada
jawabannya?” katanya memecahkan suasana.
Aku menghela nafas sekali sebelum
menjawab pertanyaan itu. “Maaf .. bukannya aku enggak suka sama kamu. Tapi aku udah
nganggeb kamu temen aku.” Dia tertunduk mendengar kata-kataku tadi. Aku menghela
nafas sekali lagi. “Sebenarnya aku pernah suka sama kamu—tepatnya tiga tahun
yang lalu, tapi sejak kamu mutusin buat jadian sama sahabatku. Aku memutuskan
untuk melanjutkan hidupku tanpa ‘melihat’ kamu lagi. Aku udah move on dari kamu.” Aku merasakan ada
raut kekagetan di wajahnya.
“Jadi ... sebenernya kamu pernah
suka sama aku?” tanyanya dengan bimbang. Aku mengangguk membenarkan. “Tapi sekarang
.. enggak berlebihan kan kalau aku
pengin kamu tetep jadi temen aku. Kamu enggak akan jauhi aku kan?” tanyanya
lagi.
“Tentu saja aku mau jadi temen
kamu.” jawabku mantap dan terdengar lebih lega.
Dia
membalasnya dengan senyuman tulus dan terlihat sedikit lega.
Jadi,
aku dan dia tetap berteman, walaupun ada rasa yang pernah tak terbalaskan tapi
kami tetap saling memahami.
18 Juni 2014
Sekarang semuanya sudah selesai
tidak ada lagi beban tentang cinta pertama. Dia bukan masa laluku yang harus
selalu ku musuhi. Dan yah, berdamai juga jalan yang lebih baik. Aku bisa tetap
berteman dengannnya tanpa rasa menyakitkan seperti dulu. Menyenangkan. Kupikir
ini happy ending :)
0 komentar:
Posting Komentar