Minggu, 16 Juni 2019

Sepanjang Perjalanan

Diposting oleh Girl in the Rain di 10.34 0 komentar

Hari ini sangat panas tapi udaranya enak. Menyengat tapi udaranya sejuk. Aneh? Ya begitulah pokoknya.

Kalau kau termasuk orang yang sangat dekat dengan ku, kau akan tahu bahwa aku benci mengendarai motor pada siang bolong begini.

“Aku selalu mengantuk,” ucapku pada seorang kekasih yang baru-baru ini kuberitahu tentang salah satu fakta diriku. Tapi lain halnya jika aku mengendarai motor secara sadar penuh, yah artinya aku mengendarai motor dengan kecepatan di atas 80 km/jam.

Hari ini jalanan ramai; bus berjajar dan aku malas memacu motorku seperti biasanya. Hanya sekitar 50-70 km/jam yang ditujukan pada layar motor di depanku dan lantas langsung berhasil membuat ku tidak konsen, pikiran ku mulai melayang kemana-mana. Baru 0,1 bagian jalan yang kulewati untuk mencapai tujuan. Aku berpapasan dengan seseorang.

“Mirip sekali dengan seseorang pikirku,” aku melaju dengan kencang untuk membuntuti motor itu dan akhirnya aku bisa berhenti di belakangnya saat berada di lampu merah. Agak terlambat memang karena ia melajukan motornya terlalu ugal-ugalan dan pikiran ku terbersit lagi,

“Sangat mirip dengan seseorang caranya mengendarai motor itu.”

Kuperhatikan dengan seksama seorang laki-laki yang sedang menunggangi motor yang sangat mirip dengan milik ku tapi lain wana, yaitu hitam gelap. Kulihat dia memakai kaca mata hitam dibalik helm INK abu-abunya, dia kenakan sweater putih sewarna dengan jaket yang saat itu sedang kukenakan, kuperhatikan tas dan juga sepatunya.

“Sebenarnya apa tujuan ku?” pikirku. Otakku lantas menjawab, kau penasaran bukan apakah laki-laki itu benar orang yang kau kenal?

Tapi, malah pertanyaan itu yang menyentakku kembali ke kenyataan.

“Bodoh! Bodoh sekali kau!” umpat akal warasku.

Aku sebenarnya belum rela merelakan laki-laki tersebut dan berniat untuk terus membuntutinya, tapi setalah berbelok di persimpangan ternyata laki-laki itu segera berhenti dan mengecek handphone. Jadi mau tak mau aku terus melajukan motorku menjauh darinya.

Melihat laki-laki itu membuatku mengingat masa lalu. Dan tiba-tiba saja ada sesuatu yang membuatku rindu. Aku memikirkan SMA, tidak jelas apa sebenarnya yang aku rindukan. Kehidupan pada masa sekolah menengah ataskah? Atau teman-teman ku pada masa SMA? Semua berbaur menjadi satu.

Taukah engkau apa yang kupikirkan ketika melihat laki-laki tadi? Aku memikirkan seorang teman, ya seorang teman lama. Tapi sampai sekarang aku tetap menganggapnya seorang teman. Walau mungkin kenyataannya saat ini, aku sudah kehilangannya. Aku sudah sama sekali tak mengerti dia. Diaa.. sangat jauh dan tak tergapai. Dia yang paling kusayangi jika kenyataannya dia memang benar-benar pergi menjauh. Dari sekian sedikit teman dekat yang pernah kumiliki pada masa sekolah menengah atas, dia yang paling membekas. Dan saat ini membuat ku seperti dilemparkan kembali ke kenyataan, bahwa dia sudah benar-benar menghilang.

Dulu sebelum selama ini, aku selalu berfikir positif, kita hanya berjarak dan tidak akan lebih. Kita masih bisa bertemu mengingat dan mengulang semua yang pernah terjadi. Kita berempat saat itu, tapi nyatanya sesulit itu untuk mewujudkan seperti impianku. Hingga semua itu menjadi kenyataan yang selalu kusembunyian sebagai hantu di sudut pikiran. Aku selalu menggigil setiap mengingat kenyataan itu dan terus membekap kenyataan itu masuk ke palung paling dalam hingga tak kuberi sedikitpun kesempatan untuknya hadir menghantui pikiranku.

Tapi.. kini salah satu diantaranya yang paling istimewa hadir begitu saja di saat yang tak terduga. Memporak-porakkan semua yang sudah ku tata rapi, membuat ku rakus untuk kembali bisa memilikinya lagi. Keikhlasanku selama ini yang selalu kuperlihatkan dari luar sudah tidak kuat lagi melawan hasrat ini, sungguh aku ingin dia kembali seperti semula. Ingin dia kembali mengisi hari-hari ku seperti dulu kala. Apapun dia menganggapku dulu, walau mungkin hanya sebagai teman menyontek, teman mengerjakan tugas bersama, dan bagaimanapun aku tetap rela jika ia hanya menganggapku seseorang gadis yang memang  harus selalu ditemuinya di bangku belakangnya saat sekolah. Setidak penting itupun aku tetap mau menjadi satu bagian kecil di setiap harinya.

Lantas saat ini aku rakus sekali menginginkan dia kembali. Sedangkan aku sudah memiliki seorang yang sangaat dengan kebaikannya menerima ku dan kami sangat bahagia saat ini tak ada yang kurang begitu pas. Aku harusnya bersyukur. Ingat ada 2 mata koin, tak selamanya bisa kita dapatkan 2 mata yang sama, selalu beriringan 2 sisi yang berbeda. Kau mendapatkan yang baik pasti sekaligus juga akan ada keburukan yang mengikuti. Sudah.. mari hati, kita coba ikhlaskan kembali seorang di masa lalu itu dan mensyukuri orang-rang yang benar-benar baik saat ini. Dan ingat sebanyak apapun buah yang jatuh dari pohon, kita hanya punya 2 tangan. Jadi, yaa… memang beberapa hal memang harus diikhlaskan untuk tidak kita miliki.

Selama perjalanan tadi aku juga menangis. Iya menangis sampai mengeluarkan air mata dan ingus. Tidak tahu tiba-tiba menagis begitu saja. Pikiranku selalu kacau seperti itu apabila ada satu hal buruk pasti ada hal lain yang ikut menyusul untuk dipikirkan, benar-benar manusia aneh aku ini!

Aku memikirkan keluarga ku. Kondisi yang sangat kacau selama seumur hidup yang pernah aku alami. Apa mungkin aku baru sadar saja, ya? Karena saat ini usia ku cukup dewasa untuk dibagi mengenai masalah yang sedang dialami orang tua ku. Saat ini umurku 21 tahun, yaah memang cukup tua, bahkan teman-temanku sudah banyak yang menikah. Tapi belum terlalu cukup untuk lebih mandiri,tapi jugaa malu terus-menerus meminta uang pada orang tua. Yaa… memang seruwet itu.

Roda kami sedang berputar. Ekonomi kami kacau, beberapa kendaraan dan benda-benda berharga mulai dijual satu persatu. Uang saku ku selama seminggu mulai tersendat-sendat. Mimpiku yang selama ini terasa begitu nyata menjadi semakin kabur hingga sama sekali tak terlihat. Aku kadang tak tahu harus membantu bagaimana. Kuliahku saat ini sedikit kacau, Tugas Akhir yang seharusnya segera ku selesaikan, ternyata tidak kuhitung secara matang. Sehingga sepertinya akan keluar dari rencana.

Aku menangis kali itu. Terus menangis dan menangis, ku lajukan motor pelan-pelan dan memilih berjalan di tepi. Aku menangis, tapi tak tahu sebenarnya aku menangis karena sedih atau bahagia. Kadang aku berfikir dari semua ini ada beberapa hal yang berubah menjadi baik dari sekian lama sesuatu buruk yang terus-menerus dipelihara. Kubeberkan saja sekalian, papa-ibukku sebenarnya dari dulu tidak akur. Jarang sekali kutemui mereka tidur bersama, mengobrol saja sangat jarang, bahkan malah sekalinya mereka terlibat obrolan malah berakhir adu cekcok. Aku masih kecil saat semua itu dimulai dan aku tak terlalu peduli untuk menengahi padahal aku seorang anak pertama,yang kumau hanya mereka tidak berpisah. Padahal ingin sekali pada saat seperti itu aku membela ibukku, tapi aku takut papa malah melunjak dan meninggalkan ibuk. Aku tidak mau menjadi anak yang tidak memiliki orang tua yang utuh. Hingga aku sebesar ini, aku tahu sebenarnya papa ku sangat menyayangi ibukku, hanya caranya yang aneh. Dan egonya sebagai lelaki terlalu besar. Setelah semua masalah yang dihadapi keluarga ku saat ini, kedua orang tua ku mulai menjadi lebih baik. Mereka bisa mengobrol santai dan jarang sekali terjadi pertengkaran. Sudah kubilang ada hal bahagia yang kita dapat dari segi keburukan yang datang.

Aku masih menagis ketika membuntuti, sebuah mobil Grand Max tua yang berwarna cream yang memiliki seri Nopol T T belakangnya. Aku merasa diejek ketika melihat dua huruf itu sedang memandangi ku menagis, maka aku memutuskan untuk menyalip mobil yang berjalan terlalu pelan-pelan itu. Saat aku mendahului dari sisi kanan, aku berpapasan sangat dekat dengan sebuah mobil sedan seri tua berwarna hijau tua. Yang seakan membawa ku melompati waktu pada saat aku masih SD, mengingatkanku akan mobil pertama kami; sebuah mobil Katana kecil yang memiliki tulisan ‘Jeep’ di ban belakang yang digendongnya. Mobil itu memiliki warna yang sama persis dengan mobil sedan tadi.

Teman-temanku dulu menganggapnya sebagai mobil penculik, ah mungkin karena pada zaman ku dulu kami terlalu dicekoki sinetron yang memiliki adegan penculikan yang selalu memakai mobil dengan jenis seperti itu. Dulu aku sangat bangga memiliki mobil kecil itu, walaupun kecil tapi di desa ku belum banyak orang yang memiliki mobil. Dan aku senang sekali karena, kalau mau pergi jauh tak perlu naik motor lagi. Pernah suatu ketika saat kami ingin ke rumah Pakde di Gunung Kidul, aku mengendarai motor bertiga dengan orang tua ku, saat itu waktu sudah agak gelap dan untuk menuju ke sana perlu melewati suatu hutan yang sangaaat panjaaang. Ibukku pernah bercerita kalau pakde pernah melihat seekor harimau di sana, maka sepanjang perjalanan itu aku menutup mata karena terlalu ketakutan. Tapi, aku lebih bersyukur lagi ketika keluargaku memiliki motor sendiri pada saat aku akhir sekolah TK. Jadi, kami sekeluarga tak perlu repot-repot lagi untuk jalan kaki dan naik kendaraan umum saat ingin pergi atau berangkat sekolah.

Papa ku seorang yang pintar, beliau belajar menyetir sendiri tanpa ada guru atau kawan yang mengajarinya. Padahal sebenarnya ada seorang kawan dekat papa yang pandai menyetir, Om yang ku kenal satu itu memiliki tubuh besar dan perawakan garang bahkan dipikiranku saat ini aku bisa membayangkannya sebagai seorang bandit. Papa ku bilang, “Dia bukan seorang yang baik,” tapi bagiku dulu  dia orangnya baik walaupun tampangnya demikian. Waktu terus berjalan mungkin kejadian itu sudah berlalu 5 tahun yang lalu, dan ternyata firasat papa ku selama itu benar. Seorang teman yang memang benar-benar sangat dekat dengan papa tersebut nyatanya adalah seorang yang sangat kejam dan jahat. Dia, dengan teganya menghancurkan usaha papa ku. Dia yang saat itu dipercayai sebagai orang yang memegang salah satu usaha yang dirintis papa ku malah dengan seenak hati mencuri semua itu dan mengklaim bahwa semua itu adalah miliknya. Hingga tidak satupun yang tersisa untuk kami. Bodoh memang, jika terlalu percaya pada seorang. Jika terlalu dekat dengan seseorang, orang itu juga yang punya kesempatan untuk menusuk lebih dalam!

Aku pernah merasakan semua itu dari yang tak punya apa-apa, hingga semua serba cukup dan Alhamdulillah bisa lebih. Tapi saat ini, sepertinya roda sedang berputar. Hidup dipergilirkan, dan butuh kekuatan dan mental untuk melewati semua ini. Suatu saat aku percaya roda ini akan kembali berputar menjadi lebih baik, walupun aku tak tahu butuh waktu berapa lama lagi.

Tangisku sudah berhenti setelah beberapa saat, hati ku sudah tidak terlalu kacau, ketika memasuki daerah baru. Banyak sekali orang menikah selama perjalanan itu. Akuu juga ingin menikah, mempunyai anak, dan sebuah keluarga baru. Aku ingin segera bekerja dan membantu kedua orang tua ku. Atau aku ingin kembali saja ketika masa kanak-kanak saat semuanya belum terasa seruwet ini. Aku penat dengan masa sekarang ingin ku melompat maju atau mundur ke masa-masa yang kuinginkan. Tapi kusadar kehidupan memang seperti itu, harus berjalan sesuai semestinya. Aku harus melewati saat ini jika ingin melompat ke tahap selanjutnya. Mungkin di masa sekarang memang sedang sulit, tapi yaa.. memang harus dilewati.

Aku berhenti di atas jembatan yang di bawahnya terdapat anak sungai, kulihat ada kemacetan yang sangaaat panjang karena lampu lalu lintas. Kutengok jam di handphone ku cukup lama perjalanan ku saat itu hampir 2 jam padahal biasanya hanya membutuhkan 1 jam. Di sungai itu ada 4 ekor bebek, 3 ekor bebek berwarna coklat memperhatikan dengan seksama seekor bebek putih yang sedang mandi. “Ah.. segar sekali pikirku. Jadi ingin minum thai tea dingiin.”

Pikiran-pikiran ku tadi mulai tenggelam, aku mulai sibuk menyelip diantara mobil-mobil untuk mencari jalan, aku ingin buru-buru untuk segera menyesap Thai Tea dinginku.

#MenulisAdalahTerapi

Selasa, 21 Agustus 2018

Titik Bifurkasi

Diposting oleh Girl in the Rain di 00.42 0 komentar

Sudah biasa membekap mulut sendiri, sudah biasa mengusap tangisan sendiri.

Suatu ketika tangisan saya pecah lagi. Saya memang lebih sering memendam perasaan sendiri, jika dibilang tidak punya teman. Ya itu betul, saya bukan tipe orang yang gampang percaya pada orang lain. Salah saya sendiri memang selalu mendorang orang-orang yang ingin mendekat karena sejujurnya saya takut tersakiti karena kedekatan itu. Dan secara tidak sadar saya sudah memiliki banyak wajah. Saya secara tidak sengaja sudah memasang tameng untuk beberapa orang yang tidak saya izinkan untuk masuk ke dalam kehidupan saya. Saya terbiasa menggolong-golongkan orang sesuai dengan dugaan saya apakah orang ini berkriteria untuk menyakiti atau tidak. Padahal saya enggak tau yang sebenarnya akan terjadi, mungkin saja orang yang saya pilih untuk memasuki kehidupan saya pada akhirnya juga akan menyakiti saya, sedangkan yang tidak saya izinkan sebenarnya malah lebih bisa menjaga hati.

Di situ kesalahan saya… kadang apa yang saya mau sebenernya bukanlah apa yang terbaik untuk saya. Saya sadar saya salah, namun, bukankah luka dan masa lalu adalah suatu paket komplit untuk membenarkan terbentuknya semua tameng alami ini?

Dengan sikap seperti itu saya baru menyadari, jika sampai saat ini saya tidak mendapatkan apa-apa. Saya tetap tidak mempunyai orang yang dapat saya percayai, seorang yang seperti harapan saya. Karena saya baru mengerti jika teori, “perlakukan orang lain, seperti apa kamu ingin diperlakukan” tidak menjadi prinsip kebanyakan orang dan tentu saja saya tidak bisa memaksa orang lain untuk menjadi seperti saya. Di situ kelemahan yang selama ini membuat saya harus rela menahan kesakitan sendiri, karena sampai sekarang saya masih tidak bisa membagi perasaan dan seluruh cerita saya dengan orang lain. Hingga semuanya mengendap di hati yang lama-kelamaan menjadi gumpalan, hingga akhirnya berujung air mata.

Saya sudah mencoba berubah, menjadi orang yang lebih terbuka. Tetapi, respon orang berbeda-beda. Malah ada yang menjadi menjauh yang dulunya sedekat nadi, rasanya terasingkan oleh orang yang selama ini dianggab paling mengerti itu… tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Mau kecewa, tapi kecewa dengan siapa? Dengan diri sendiri yang sudah menaruh harapan yang terlalu tinggi? Tentu saja diri ini diingatkan kembali jika akar permasalahan ini ada pada diri sendiri. Sedangkan jika ingin dilanjut… saya tipe orang yang terus saja mengingat perlakuan orang-orang yang saya anggap dekat, saya tidak bisa masa bodoh dengan perlakuan mereka dan akan terus-terusan terpikirkan dan akhirnya saya akan menangis lagi karena tidak ada orang lain lagi yang bisa saya bagi cerita.

Rasanya permasalahan-permasalahan saya yang seperti ini tidak pernah memiliki ujung, salahkah pribadi saya yang seperti ini? Lalu bagaimana cara mengubahnya?

#MenulisAdalahTerapi


Jumat, 27 April 2018

Cinta Bertepuk Sebelah Tangan

Diposting oleh Girl in the Rain di 08.59 0 komentar


Kenapa tiba-tiba saya nulis hal begini? Jangan kaget, saya tidak akan membahas tentang cinta yang berhubungan dengan asmara hehe. Cinta bertepuk sebelah tangan disini artinya dimana suatu ketika kalian sudah mengumpulkan segalanya untuk memilih itu tetapi nyatanya ekspektasi kita tidak sebanding dengan kenyataan yang terjadi.
Ekspektasi sebenernya jangan dipupuk terlalu banyak, karena sejatinya kita enggak seharusnya menggantungkan segala sesuatu yang enggak pasti. Kalau dibilang sih, jangan berharap sama ekspektasi nanti takutnya kecewa. Kecewa itu sebenernya kenapa sih bisa hadir? Yaa, karena angan-angan kitanya aja yang terlalu tinggi.
Nah.. saya mau berbagi pengalaman tentang cinta bertepuk sebelah tangan yang sedang saya alami saat ini. Saya mungkin sedang loading menuju 50%, menyesali pilihan yang saya ambil saat ini. Dulu pernah saya berpikir untuk memutuskan berhenti dari pilihan yang saya ambil saat ini. Bukan karena apa-apa, tapi alasan saya cukup kuat untuk berhenti. Ibaratkan saja sebagaimana kalian membaca buku yang tidak kalian sukai dan ending dari buku itu bukan apa yang kalian inginkan. Apakah kalian akan mengulang membaca buku itu?
“Don’t judge a book by its cover…” dari pernyataan ini saya 100% setuju. Saya dulu berpikir positif tentang pilihan itu walaupun sangat terlihat dari cover sebagaimana berlawanannya penilaian baik dilihat dari segala hal. Hingga diakhirpun, saya tidak menemukan sedikit pun ekpektasi yang sebelumnya saya bumbu-bumbui dengan angan yang ternyata sangat oposisi dengan kenyataan di lapangan.
Kecewa? Tentu saja. Pertanyaan yang amat retoris selanjutnya yang akan saya ajukan yaitu, apakah saya akan mengulangi kejadian itu?
Dan jawaban saya saat itu adalah iya. Kenapa bisa begitu? Karena Alhamdulillah saya masih punya orang-orang baik disekitar saya. Orang-orang yang masih mau mengingatkan saya tentang kebaikan, tentang kepercayaan bahwa suatu hal yang buruk itu bisa diubah apabila kita mau berusaha.
Tapi sampai di titik ini, ternyata semangat mereka dengan mudahnya dikalahkan dengan energi negatif yang sebesar atom, silahkan tertawa jika kalian menganggap saya berlebihan :D Tapi nyatanya memang begitu, perilaku negatif nyatana lebih mudah menular daripada perilaku positif. Perilaku negatif itu bagaikan gas karbon monoksida; tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa tapi cepat dan mematikan ketika mulai tersebar.
Riset yang diterbitkan dalam The Journal of Applied Psychology edisi Juni 2015 menunjukkan bahwa, perilaku kasar bisa menular seperti flu. Itu jelas karena perilaku kasar dapat dirasakan, didengar dan dilihat oleh banyak orang. Dan jelas sekali bahwa perilaku negatif tersebut pasti akan menular.
Nah.. sekarang kita ambil contoh perilaku negatif yang bersifat seperti gas CO yaitu, apatis. Apatis menurut KBBI; apa·tis a acuh tidak acuh; tidak peduli; masa bodoh.
Coba kalian tilik balik ke satu kejadian di mana satu orang mulai menujukkan sikap apatis dan tidak ada seorangpun yang menyelamatkan satu orang tersebut. Cukup dengan waktu keterlambatan yang tidak lama, apatis tersebut akan menular ke berbagai orang lain.
Pertanyaannya kenapa sikap apatis itu dapat menular? Bagi saya pribadi mungkin hal ini sesuai dengan teori kejenuhan. Jenuh yaitu kondisi dimana jumlah terlarut lebih banyak dibandingkan dengan pelarut. Bayangkan saja, jika pelaku apatis lebih banyak dibandingkan dengan pelaku aktif maka akan terjadi titik kejenuhan dimana semua komponen itu akhirnya akan berhenti saling mempengaruhi. Jika sudah begitu mau bagaimana lagi?
Jika dilihat ulang dari masa lalu, sebenernya perilaku negatif tersebut merupakan cerminan terhadap apa yang telah diperolehnya pada masa lampau. Jadi, mungkin perilaku apatis bukan suatu hal yang memang sengaja dibentuk oleh suatu individu tapi lebih suatu sifat yang dibentuk oleh faktor lingkungan.
Tapi, bukankah kita masih bisa melihat dari sisi positifnya? Bukankah keputusan yang kita ambil memang harus selalu dipertanggungjawabkan. Jika melulu kita mengikuti ego diri masing-masing, maka secara otomatis kepentingan orang lain bahkan orang banyak bakal terlupakan. Nah.. bahkan secara tidak sadar pun kita bisa melukai harga diri orang lain. Sederhana memang, tapi coba dilihat dari sudut pandang orang tersebut, bayangkan bagaimana orang lain tersebut memandang penting kalian untuk ikut andil hal yang seharusnya bisa kalian lakukan bersama. Dan juga dilihat dari apa yang telah mereka korbankan untuk kalian agar bisa bekerja bersama-sama.
Jadi, kesimpulannya… perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan. Jika kita ingin diperlakukan baik oleh orang lain cobalah untuk memperlakukan baik orang lain dulu. Karena semua hal itu berbanding lurus dengan apa yang kita lakukan “Apa yang disemai akan dituai.”

#MenulisAdalahTerapi

Jumat, 29 Juli 2016

Janua(rain)

Diposting oleh Girl in the Rain di 02.20 0 komentar

4 bulan menunggu hujan.
Dia kembali, tapi tidak untuk tetap tinggal. Mungkin baginya tidak ada tempat yang benar-benar ia sebut rumah.

Jiwa pengelana.
Jiwanya yang bagai awan mendung tak mau menetap di satu tempat. Dia ingin membawa aroma dingin dan sejuk yang indah kemanapun ia mau pergi.
Aku tau aku tak boleh memiliki hujan sendirian, biarkan dia mengelana kemana ia mau. Biarkan hujan menyebarkan kebahagiannya. Toh aku sudah pernah berbagi kebahagian itu.
Ini saatnya aku membiarkan bekas hujan itu mengering, aku tidak mau lagi merasa kedinginan sendiri saat hujan itu mulai pergi.

Hujan.
Dia bukan hanya untukku, dia punya kebahagian sendiri. Biarkan ia lepas membawa seluruh beban keinginannya.
Dia akan tetap datang dan pergi.
Aku selalu menunggunya sendiri, semoga dia masih mau memberikan sedikit tetes hujan itu untukku saat dia mengenalku nanti.

Semoga kata ini bukanlah sebuah perpisahanku untuk membencinya, ini adalah kata hatiku untuk melepaskan. Ini saatnya dia pergi.

Kamis, 02 April 2015

Surat ke-seratus

Diposting oleh Girl in the Rain di 22.16 1 komentar
Tidak semua yang kau baca itu tentangku.

Surat-surat itu adalah saksi bisu seberapa dalamnya perasaanku selama ini...

                Tiga tahun. Lebih dari seperempat dekade. Tiga puluh enam bulan. Dan entah sudah berapa jam, menit, dan detik telah aku habiskan untuk menunggunya; mengaguminya. Dalam waktu itu, banyak kata yang tak tersampaikan untuknya. Seorang yang telah membuatku mematung tanpa mau tahu tentang lini masa.
                Aku tak pernah menghitung sudah berapa banyak surat yang kutulis selama itu, karena aku yakin perkembangan surat-surat itu lebih cepat dari perkembangbiakan nyamuk yang bersarang di kolam-kolam.
                Surat-surat itu berkembang bersama rintik hujan, lirik lagu, sajak puisi, dan kutipan novel. Yang acap kali mengingatkanku pada sosoknya—mengulang kenangan tentang kami yang sering menerobos masuk dan memaksa jemari untuk terus menulis.
                Surat yang terdiri dari sebaris kata hingga berlembar-lembar halaman yang tak pernah sampai pada alamatnya. Bukan karena alamat yang tak lengkap bukan juga karena pos yang tak sampai. Hanya saja selama ini aku tak punya cukup keberanian untuk mengirim sejuta surat itu untuk pemilik nama yang selalu tertera di akhir surat itu.
                Jarak kami tak lebih dari seratus meter; tepatnya dua puluh langkah untuk dapat menjangkaunya. Ruang yang singkat dan tak ada waktu yang memisahkan kami.
---
                Surat pertama tertanggal saat kita saling beradu pandang untuk pertama kalinya. Kali itu aku dilanda cinta buta pada pandangan pertama. Cinta monyet yang terlalu malu untuk mengakuinya.
                Tapi aku yakin itu bukan hanya cinta monyet yang mudah hilang. Dia sempat datang dan pergi dalam kehidupanku. Setahun dia kembali pulang, aku tetap setia menunggunya perasaanku tak berubah malah semakin dahsyat. Saat dia kembali semuanya belum berubah, perasaanku mulai bertambah. Bukankah cinta tumbuh karena terbiasa?

                Surat itu yang menginduki berpuluh-puluh surat yang berserakan di mana-mana. Aku menulis surat itu bukan untuk berbicara padanya aku hanya ingin berbicara pada diriku sendiri. Menceritakan segala hal yang sebenarnya tak bisa kubagi pada siapapun. Merenungkan, menelaah, menafsirkan, dan meminda segala hal yang sebenarnya hanya kumengerti sendiri.
                Terkadang pada suatu titik kulminasi, aku sudah tidak tahan lagi untuk menyimpan semua itu sendirian—terkadang aku ingin mengatakan semua hal yang selama ini hanya dapat kuceritakan pada kertas lewat goresan tinta—dengan sosok asli harapanku.

                Tapi aku tak bisa. Harapanku sebenarnya bukanlah seorang yang pantas untuk diharapkan. Dia tak pernah menginginkanku. Dia tak pernah menyimpanku sedetikpun di hatinya. Tiga tahun kami hanyalah serangkain waktu yang mudah dilupakan, karena aku bukanlah sosok istimewa di matanya.
Dia tak pernah mengatakannya. Tapi aku cukup sadar untuk mengetahuinya dari segala tingkah polah yang dia tunjukkan. Ya. Aku tau kita tidak boleh melihat suatu hal hanya dari satu sisi, tapi aku terlalu takut untuk jatuh karena kenyataan yang sebenarnya tak pernah kuharapkan. Sehingga aku terbiasa menyimpulkan segala sesuatunya dari segi pikiranku sendiri.
---
                Surat-suratku memasuki tahun ketiga. Aku tak pernah lagi membaca ulang surat-surat lampau ku yang menceritakan betapa senangnya perasaan yang selama ini sudah kutanggung.
                Suratku pada tahun ketiga lebih mengarah pada keputus-asaan ku, tentang sikap acuhnya, pengabaian samarnya, dan penghindaran yang selama ini hanya ku lihat secara tak kasatmata.
                Tiga tahun waktu yang cukup lama untuk melihat perkembangan dan pertumbuhan nya di waktu remaja. Aku bisa melihat perbedaan postur tubuhnya yang mulai berubah dari tahun ke tahun, pola berpikirnya yang mencuat jauh dari kali pertama kami bertemu. Dan ku akui dia memang bertambah tampan, tinggi, dan mengagumkan.
Namun buruknya dia mulai berubah. Berubah menjadi sosok lain dari kali pertama kami bertemu; menjadi sosok asing. Dia tak lagi mengenalku tapi aku tetap yakin bahwa aku memang pernah benar-benar mengenalnya.
---
                Dia tak tahu seberapa besar dulu hingga sekarang perasaan yang telah kusimpan untuknya. Dan suatu saat berharap dapat tersampaikan dengan manis. Mendamba perasaan yang terbalas dan akhir yang bahagia.
                Dia tak tahu, bahwa di sini ada aku yang mau menerima dia apa adanya. Tanpa dia harus berubah menjadi orang lain untuk tampak memukau.

                Dan setelah tiga tahun ini aku memutuskan untuk ... BERPISAH. Ya. Aku akan melakukan perpisahan—yang kulakukan sendiri. Perpisahan pada perasaanku sendiri, merelakan perasaanku pergi tanpa balas yang selalu ku damba. Merelakan dia pergi sesuai apa yang dikehendakinya.
                Aku tahu perpisahan sendiri itu lebih sulit dan menyakitkan. Tidak ada yang mengatakan bahwa; cukup hubungan ini berakhir di sini. Atau tangis dan benci yang membuatmu kaku untuk berbalik. Atau malah janji manis yang terucap agar tidak berpaling. Itu semua tidak ada, yang ada hanya keberanian untuk berkomitmen pada diri sendiri; berjanji pada diri sendiri. Dan berani menanggung segala beban perih sendiri. Aku tahu betul sakitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.
Aku tak pernah memaksa bukan? Biar aku yang sakit, hingga perih ini luruh untuk menemukan muaranya. Beradu menjadi satu untuk dapat diikhlaskan.
                Tidak apa untuk sementara waktu aku hidup dengan penyesalan (lagi), mengenang segala yang telah terjadi—mengecap pahit-manis kenangan yang ditakdirkan tak pernah hilang dan mengakhiri seluruh surat ku yang keseratus dengan perpisahan.
“Semoga kau bahagia kelak dengan yang kau harapkan...”

Untuk dia :
Ini surat ku yang ke seratus dan terimakasih telah mengisi hari-hariku selama tiga tahun silam. Banyak kenangan yang telah kau berikan. Kau mampu membuatku  tertawa, mengenalkanku pada kesedihan dan kekecewaan & mengajariku untuk tetap tegar dan terus berdiri menghadapi perasaanku sendiri. Terima kasih. Semoga kita tetap bisa menjadi teman seperti sebelumnya tanpa rasa sakit yang terus menyiksa..


 2012 – 2015



Kamis/02042015

Jumat, 20 Maret 2015

Blinded

Diposting oleh Girl in the Rain di 08.00 0 komentar

  Andai aku tak pura-pura buta sejak dulu pasti semua tidak menjadi seperti ini…

Aku ingat saat pertama kali mengenal laki-laki itu, sosoknya yang baik dan ramah itu mampu melelehkan sikap dinginku. Awal yang canggung, karena aku orang yang sulit berkomunikasi dengan lelaki, tapi senyum dan sapanya yang meluluhkan mampu membiusku menjadi sosok yang utuh.

Waktu terus berlalu. Setahun tak terkira kami saling mengenal, dia banyak tahu tentang aku. Entah kenapa aku bisa mempercainya tentang cerita-cerita yang biasanya hanya kusimpan sendiri. Tapi sejak pertemuan pertama kami aku bisa mendefinisikan bahwa aku mengaguminya, aku suka wajah tampan dan senyum mempesona miliknya aku juga suka tubuh jangkung miliknya. Siapa yang tidak menyukai perawakannya yang begitu mempesona? Banyak kaum perempuan yang mengaguminya, aku tahu itu. Namun sikapnya yang biasa saja--yang tidak sok keren--itu yang membuatnya benar-benar terlihat keren di mataku.

Aku tidak tahu apakah kami memang ditakdirkan untuk bersama. Tahun berikutnya aku masih duduk di depannya seperti tahun kemarin. Dalam selang waktu setahun itu aku lebih mengenalnya, dia sosok yang baik kepadaku.
Aku ingat dia yang sering memotivasi dan memberiku nasehat untuk lebih semangat saat aku down, dia yang sering memujiku saat aku mendapatkan nilai bagus atau atas ide yang tercetus dari otakku. Dia yang sering mengorbankan diri atau lebih tepatnya mengalah hanya untuk memberikan satu hal kepadaku. Aku tidak tahu apakah itu yang membuatku merasakan perasaan yang lain setelah beberapa waktu itu. Dan sejak itu aku rasa aku menyukainya.

Aku sangat senang ketika tiap pagi dia memberi senyum sapa saat aku datang, senang caranya memperlakukanku dan perhatian-perhatiannya. Hingga aku buta—tak mau tau apapun tentang segala hal tentang dia dan orang lain akupun juga mulai tak memikirkan bahwa aku bisa terjatuh dengan terus seperti itu.

 Dia sering memberiku tumpangan saat pulang sekolah. Seperti hari itu, aku hampir hafal gerak-geriknya;  sesaat sebelum bel pulang berbunyi dia akan buru-buru mengemasi barangnya dan setelah bel berbunyi dia bergegas mengenakan tasnya dan mengajakku pulang bersama. Walaupun barang-barangku masih berceceran di mana-mana, tapi dengan sabar dia akan menungguku mengemasinya. Dan sejak rutinitas itu dimulai sepertinya aku salah menafsirkan apa yang terjadi antara aku dan dia.

Aku tak pernah membayangkan jika kemungkinan terburuk itu akan terjadi. Saat itu aku menolak ajakannya untuk pulang bersama karena harus menyelesaikan tugas dari grup jurnalistik.
Saat aku melewati koridor samping lapangan parkir, aku melihat sosok lelaki itu bersama seorang perempuan. Aku mengenal perempuan yang sedang berdiri di depannya itu. Dia teman sekelasku, tempat duduknya tepat di samping lelaki yang selama ini ku kagumi. Mereka tertawa bersama, entah apa yang sedang mereka bicarakan.
Saat melihat itu aku merasa ada batu yang tertahan di tenggorokanku, hingga nafasku terasa sesak. Aku tak pernah melihat dia seperti itu--aku tak pernah melihat dia tertawa lepas seperti itu bersama perempuan. Dan saat itu aku sadar bahwa aku cemburu dengannya, ada rasa kecewa dan marah. Namun tiba-tiba kenyataan menyentakku--aku sadar aku bukan siapa-siapa baginya.

Seminggu setelah kejadian itu aku menghabiskan waktu untuk menyadari kebodohanku selama itu. Aku baru sadar jika sebenarnya lelaki itu memang baik kepada siapapun, dia memang ramah dan sering menebarkan senyum-sapa pada siapa saja yang ia kenal. Sikapnya yang dia tujukan padaku bukanlah hal istimewa karena dia juga melakukan hal yang sama kepada orang lain. Aku salah mengartikan kebaikannya, aku yang salah karena terlalu berharap dengannya.

Karena setelah seminggu dari kejadian itu aku mendapat pukulan pahit; dia—orang yang kusukai berpacaran dengan wanita yang kulihat seminggu lalu.

Dan. Sekarang aku terjatuh. Sendirian. Tenggelam dalam kesalahanku…


14 Maret 2015

Sabtu, 21 Februari 2015

Stuck on You part 5 (END)

Diposting oleh Girl in the Rain di 04.24 0 komentar
Sabtu, tepatnya dua hari setelah kejadian pernyataan perasaan Gabriel pada Shilla. Shilla terpaksa harus izin tidak masuk sekolah. Asma nya kambuh, dia tahu ini pasti karena kelelahan berfikir dan kecapeannya akhir-akhir ini. Memang jika ia terlalu berat memendam pikiran fisiknya tak mau berbohong jika pemiliknya sedang lelah.
                Setelah pergi ke dokter, seharian itu Shilla beristirahat di kamarnya. Sebenarnya ia ingin bersekolah, ia rindu mencuri-curi pandang pada Cakka walau sebenarnya Cakka tak pernah sekalipun menoleh kepadanya. Dan dia cuma bisa berangan-angan tentang bayangnya.

*
                Minggu pagi, kali ini Angel meluangkan waktunya untuk jogging di taman kota. Ia sedang usaha menurunkan berat badan.
                “Tumben di sini? Kayaknya aku jarang lihat kamu jogging di sini.” Kata seseorang yang tiba-tiba duduk di samping Angel. Angel menoleh untuk melihat siapa pemilik suara itu. Cakka.
                “Oh, ini .. lagi pengen aja hehe. Jarang-jarang juga jogging. Kamu sering ke sini?”
Cakka mengangguk. “Rumahku enggak terlalu jauh dari sini.” Lanjutnya. Setelah itu mereka hanya saling diam.

                “Shilla ... gimana sekarang sama Gabriel?” kata Cakka ragu. Wajahnya terpasang ekspresi antisipasi. Sebenarnya selama ini ia selalu memperhatikan Shilla, begitu pula kedekatan Shilla dengan Gabriel. Cakka tau jika mereka sering berangkat dan pulang sekolah bersama, pergi ke kantin bersama. Semuanya dia tahu. Tapi dia tidak tahu apa hubungan mereka sebenarnya. Dia ingin tahu tapi dia tak siap menanggung resikonya.
                “Mereka enggak ada apa-apa.” Jawab Angel kemudian. Cakka terlihat terkejut tapi sorot matanya terlihat mulai tenang. “Shilla ...” suara itu menggantung, Angel terlihat bimbang untuk mengatakannya. Setelah sekali menghela nafas ia akhirnya memutuskan untuk melanjutkannya. “Shilla enggak ada perasaan apa-apa sama kak Gabriel. Shilla udah nganggeb kak Gabriel itu sebagai kakak kandung dia sendiri.” Angel diam sesaat. “Aku enggak tahu apa hak aku ngomomg gini tapi cuma satu tujuan ku; aku pengen bantuin Shilla. Denger aku Kka..” kata Angel dengan menatap Cakka menandakan kesuhguhan apa yang akan dia ucapkan.
                “Shilla itu sukanya sama kamu.” Cakka tak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya. Ia dengan spontan menoleh ke arah Angel. “Aku enggak tau, kenapa Shilla sebodoh itu. Kenapa dia dulu malah ngehindarin kamu dan milih ngehindarin gosipan anak-anak tentang kalian--sampai akhirnya dia sendiri yang menyesal.” Cakka tergugu, ia baru sadar jika ternyata kedekatan mereka dulu bisa membuat Shilla tersiksa seperti itu dan lebih lagi malah dia yang meninggalkan Shilla sendiri menghadapi itu semua.
                “Sekarang Shilla di mana? Kayaknya kemarin aku lihat dia enggak masuk.” Tanya Cakka kemudian. “Dia sakit. Tapi kayaknya hari ini dia udah baikan deh, soalnya tadi pagi dia bilang sama aku kalo pengen ikut jogging di taman kota.” Jawab Angel.
                “Yaudah Ngel, makasih banget karena kamu udah kasih tau semua jawaban yang selama ini jadi teka-teki di otakku.” Ucap Cakka kemudian. Angel mengangguk “Aku juga seneng asal kalian bahagia, enggak saling diem-dieman gitu.” Cakka tersenyum, ia benar-benar berterimakasih akan semua itu.

**
                Jam delapan malam, bel rumah Shilla berbunyi. Mama Shilla segera membukakan pintu dan mempersilahkan tamunya masuk. Tak berapa lama, pintu kamar Shilla diketuk.
                “Dicari Cakka, Shill. Kamu turun apa Cakka aja yang naik ke sini?” tanya mamanya. Shilla sedikit terkejut.

Ada apa tiba-tiba Cakka ke sini? Pikirnya saat dia menuruni tangga untuk menghampiri Cakka. Dia tidak bisa menebak-nebak maksud dan tujuan Cakka kemari, bukankah kemarin-kemarin Cakka masih sama; masih tetap menghindarinya—menganggabnya sebagai orang asing.
                Sesampainya di ruang tamu Shilla segera duduk, dia hanya diam karena merasa canggung dengan Cakka. “Kamu udah baikan?” tanya Cakka kemudian untuk memecah keheningan di antara mereka. Shilla mengangguk.
                “Aku mau ajak kamu ke suatu tempat.” kata Cakka. “Kemana?” jawab Shilla mulai biasa.
                “Nanti kamu juga tau. Tapi ... kamu udah bener-bener sembuhkan?” tanya Cakka dengan nada khawatir. Shilla mengangguk. Cakka malah beranjak berdiri dari kursinya menghampiri Shilla dan tiba-tiba saja menyentuh dahinya. Shilla yang merasakan sengatan tiba-tiba itu terkejut yang terlihat dari sorot matanya.
                Setelah Cakka memastikan bahwa Shilla memang benar dalam kondisi sehat dia mengangguk-angguk sendiri. “Yaudah kita berangkat sekarang. Kamu izin mama kamu dulu gih.” Lanjutnya.
                “Aku ... enggak perlu ganti baju dulu?”
                “Enggak usah, yang penting kamu pake jaket yang tebel.” Shilla mengangguk dan segera pergi ke kamarnya untuk mengambil jaket dan meminta izin mamanya.

                “Ma, aku mau keluar sebentar sama Cakka.” Izin Shilla kepada mamanya. Mamanya tersenyum. “Iya boleh, pulangnya jangan malem-malem, bawa inhaler kamu; buat jaga-jaga.” Shilla mengangguk dan memeluk mamanya tanda terima kasih.

                “Titip Shilla ya Kka, jangan pulang malem-malem.” Kata tante Wiwid; mamanya Shilla kepada Cakka saat beliau mengantar mereka menuju mobil. “Iya, tante. Saya bakal jaga Shilla kok.” Jawab Cakkka mantap.

*
               
                Setengah jam kemudian mereka tiba di tempat tujuan. Daerah ini agak jauh dari perkotaan. Ada taman dan lapangan yang biasanya di gunakan untuk olahraga dan bersantai oleh pengunjung. Shilla pernah mengunjungi tempat ini tapi tak pada malam hari seperti ini. Dia tidak tahu apa maksud Cakka membawanya ke tempat ini.
                “Ayo Shill, kita belum sampai.” Kata Cakka. Kemudian Shilla mengikuti Cakka dan berjalan di sampingnya. Mereka menaiki tangga yang tak jauh dari lapangan, berjalan menanjak menuju tempat yang seperti bukit jika dilihat dari bawah.
                Setelah tiba, Shilla terkagum-kagum terhadap apa yang dilihatnya dari atas sini dia dapat melihat kerlipan lampu jalanan dan lampu rumah-rumah yang berada di bawah sana. Sedangkan jika ia menengadah ke atas dia dapat melihat ribuan kerlip bintang yang bersinar. Cakka tersenyum melihat wajah Shilla. “Kamu suka tempat ini?” tanya Cakka kemudian. Shilla mengangguk senang. “Kok kamu tahu tempat kayak gini sih? Aku bahkan yang pernah ke taman di bawah sana enggak pernah tahu kalau malam, di sini ada tempat yang seindah ini.” Jawab Shilla.
                “Dulu aku sering ke sini sama anak-anak basket.” Jawab Cakka yang kemudian mengajak Shilla duduk di salah satu kursi yang menghadap lampu-lampu perkotaan.

                “Ini indah banget Kka. Makasih udah mau ajak aku ke sini, aku emang suka lihat bintang. Coba aja malam ini ada bintang jatuh kita bisa buat permohonan.” Ucap Shilla.
                “Apa permohonan yang kamu minta?” tanya Cakka penasaran. Shilla hanya memandang bintang di langit itu sambil tersenyum. “mm.. rahasia.” Jawab Shilla kemudian.
                Cakka ikut tersenyum dan mengikuti Shilla memandang langit. “Aku juga akan membuat permohonan.” Shilla menoleh ke arah Cakka, penasaran apa permohonan Cakka. “Apa yang kamu minta?” tanya Shilla.
                Cakka diam cukup lama dan Shilla pun tak mendesak atas jawaban itu, pertanyaan itu dibiarkannya menggantung beberapa saat. “Aku pengen kamu enggak ngehindarin aku lagi dan aku pengen kamu tetep di sampingku apapun yang terjadi.” Kata Cakka, yang sontak berhasil membuat Shilla terkejut.
                Cakka menolehkan wajahnya ke arah Shilla yang otomatis membuat mereka saling berhadapan. Mata mereka saling beradu. “Shill, apa kamu suka sama aku?” tanya Cakka kemudian. Shilla kembali terkejut, dia tak mampu berkata apa-apa lagi. Jantungnya mulai terpompa lebih cepat segala sesuatu di sekitarnya menjadi semakin kental, hingga rasanya ia susah untuk bernafas.
                Cakka masih menanti jawaban dari Shilla, sekalipun itu hanyalah anggukan atau gelengan. Ia ingin mendengar dari Shilla sendiri. Tapi tak ada reaksi apapun yang ditunjukkan Shilla. “Kalau kamu enggak bisa bilang kata-kata itu, aku yang akan bilang sama kamu.” Kata Cakka kemudian.
                “Aku suka sama kamu Shill.” Cakka diam sejenak. “Sebenernya aku udah suka kamu sejak pertama kali lihat kamu di SMA. Tapi, waktu kita sempet deket dulu, kamu seperti jaga jarak sama aku.” Ungkap Cakka. Shilla masih bergeming mulutnya sedikit membuka sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu tapi ditahannya.
                “Selama kedekatan kita dulu aku udah coba untuk nunjukin ke kamu perasaanku. Aku pengen ngungkapin perasaan ku, tapi sebelum aku sempat bilang, kamu malah ngejauh dari hadapanku.” Lanjut Cakka. Shilla mulai membuka mulutnya, mengatakan kata-kata yang sempat tertahan tadi, “Tapi kenapa kamu nyuekin aku terus? Seakan-akan aku orang asing di matamu.”
                “Aku enggak bermaksud jadiin kamu orang asing. Aku cuma coba ngertiin sikap kamu; yang kayaknya enggak nyaman kalau sama aku.” Cakka terdiam. “Dan waktu kamu sempet deket sama Gabriel aku kira hubungan kalian udah serius. Jadi aku coba untuk menghapus kamu dari pikiranku, tapi sebenernya aku enggak bisa.” lanjutnya.
                Cukup lama mereka terdiam dan suasana masih menggantung. Shilla hanya diam berkelana dengan pikirannya sendiri, mencari jalan keluar akan perasaannya. “Apa kamu tahu? Saat kamu tiba-tiba ngehindarin aku, aku mulai sadar kalau aku juga kehilangan setengah dari jiwaku. Karena aku baru sadar, ternyata aku suka sama kamu.” Shilla berhenti sesaat untuk mengambil nafas. “Aku selalu enggak bisa berhenti mikirin kamu. Aku kangen chatting bareng sama kamu. Aku kangen semua itu hingga rasanya aku pengen putar waktu untuk bareng sama kamu lagi aku pengen memperbaiki semua kesalahanku waktu dulu—karena udah ngehindarin kamu.”
                Cakka kemudian menggenggam erat kedua tangan Shilla, ingin menyampaikan segenap perasaannya. “Maafin aku, atas semuanya Shill. Kita bisa bersama lagi. Kita enggak perlu dengerin apa kata mereka tentang kita, karena ini semua tentang kita berdua bukan tentang apa yang mereka inginkan.” Ucap Cakka. Shilla mengangguk tanda mengerti.
                “Kamu enggak perlu takut sama apa yang mereka katakan tentang kita—tentang aku dan kamu. Karena akan selalu ada aku di sampingmu.” Kata Cakka menenangkan Shilla. “Aku tahu Ka. Makasih, karena udah mau bilang semua kejujuran itu. Aku seneng akhirnya bisa berakhir seperti ini.” Jawab Shilla.
                “Iya. Kamu juga harus percaya sama aku, because I love you no matter what people say about us.” Ucap Cakka dan kembali mempererat genggaman tangannya pada Shilla.
“Aku tau Cakka. I love you, too.
Semuanya menjadi indah; langit malam itu menjadi semakin cantik, dingin tubuh yang menjalari tubuh Shilla tak dirasakannya lagi. Hangat genggaman tangan Cakka telah mampu merambat ke hatinya dan membuat seluruh tubuhnya menjadi hangat kembali menggantikan mendung yang selama ini menggantung di hari-harinya. Karena seorang yang dicintainya telah kembali di sampingnya. Berjanji menjaganya.

25 Januari 2015
 

Girl in the Rain Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos