Sudah biasa membekap mulut sendiri,
sudah biasa mengusap tangisan sendiri.
Suatu ketika tangisan saya pecah lagi. Saya memang lebih
sering memendam perasaan sendiri, jika dibilang tidak punya teman. Ya itu
betul, saya bukan tipe orang yang gampang percaya pada orang lain. Salah saya
sendiri memang selalu mendorang orang-orang yang ingin mendekat karena
sejujurnya saya takut tersakiti karena kedekatan itu. Dan secara tidak sadar
saya sudah memiliki banyak wajah. Saya secara tidak sengaja sudah memasang
tameng untuk beberapa orang yang tidak saya izinkan untuk masuk ke dalam
kehidupan saya. Saya terbiasa menggolong-golongkan orang sesuai dengan dugaan
saya apakah orang ini berkriteria untuk menyakiti atau tidak. Padahal saya
enggak tau yang sebenarnya akan terjadi, mungkin saja orang yang saya pilih
untuk memasuki kehidupan saya pada akhirnya juga akan menyakiti saya, sedangkan
yang tidak saya izinkan sebenarnya malah lebih bisa menjaga hati.
Di situ kesalahan saya… kadang apa yang saya mau sebenernya bukanlah
apa yang terbaik untuk saya. Saya sadar saya salah, namun, bukankah luka dan
masa lalu adalah suatu paket komplit untuk membenarkan terbentuknya semua
tameng alami ini?
Dengan sikap seperti itu saya baru menyadari, jika sampai
saat ini saya tidak mendapatkan apa-apa. Saya tetap tidak mempunyai orang yang
dapat saya percayai, seorang yang seperti harapan saya. Karena saya baru
mengerti jika teori, “perlakukan orang
lain, seperti apa kamu ingin diperlakukan” tidak menjadi prinsip kebanyakan
orang dan tentu saja saya tidak bisa memaksa orang lain untuk menjadi seperti
saya. Di situ kelemahan yang selama ini membuat saya harus rela menahan
kesakitan sendiri, karena sampai sekarang saya masih tidak bisa membagi
perasaan dan seluruh cerita saya dengan orang lain. Hingga semuanya mengendap
di hati yang lama-kelamaan menjadi gumpalan, hingga akhirnya berujung air mata.
Saya sudah mencoba berubah, menjadi orang yang lebih
terbuka. Tetapi, respon orang berbeda-beda. Malah ada yang menjadi menjauh yang
dulunya sedekat nadi, rasanya terasingkan oleh orang yang selama ini dianggab
paling mengerti itu… tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Mau kecewa, tapi
kecewa dengan siapa? Dengan diri sendiri yang sudah menaruh harapan yang
terlalu tinggi? Tentu saja diri ini diingatkan kembali jika akar permasalahan
ini ada pada diri sendiri. Sedangkan jika ingin dilanjut… saya tipe orang yang
terus saja mengingat perlakuan orang-orang yang saya anggap dekat, saya tidak
bisa masa bodoh dengan perlakuan mereka dan akan terus-terusan terpikirkan dan
akhirnya saya akan menangis lagi karena tidak ada orang lain lagi yang bisa
saya bagi cerita.
Rasanya permasalahan-permasalahan saya yang seperti ini
tidak pernah memiliki ujung, salahkah pribadi saya yang seperti ini? Lalu
bagaimana cara mengubahnya?
#MenulisAdalahTerapi
0 komentar:
Posting Komentar