Sesampainya di kantin, aku mulai bisa bernafas lega. Karena hanya ada
beberapa anak cowok yang sedang makan dan sepertinya tak terlalu menggubris
kedatangan kami.
“Nasi oseng dua, Bu. Sama es tehnya dua” ucapnya setelah kami
mendaratkan tubuh kami di kursi. “Eh Bu. Saya es teh aja deh.” Sambungku,
sebenarnya aku tak terlalu lapar, pergi ke kantin sebenarnya hanya alasanku
saja untuk dapat melarikan diri dari hadapan Cakka ini.
Setelah pesanan datang, dia segera melahap cepat makanannya.
“Kamu enggak inget aku?” tanyanya tiba-tiba.
Aku berpikir sejenak, maksudnya gimana? Bukannya dia Cakka, jelas-jelas
dia temen sekelasku. Lalu maksud pertanyaannya gimana? Seakan mengerti
kebingunganku dia kembali berkata.
“Maksud aku, kita pernah ketemu. Kamu bener-bener enggak inget aku?”
“Enggak.. kamu salah orang kali. Mungkin orang itu bukan aku.” Aku diam
sebentar mengingat-ngingat. “Seingetku
aku enggak pernah punya temen namanya Cakka dari dulu.” lanjutku
“Em.. kalau Kaka?” ucapnya berbinar, terlihat raut berharap di wajahnya.
Kaka? Kayaknya pernah denger. Siapa sih Kaka? Aku mulai memutar otak
mencoba mencari-cari nama itu di memori otakku. Tiba-tiba aku menemukan
kepingan masa lalu itu.
“Loh, kamu Kaka? Kok .. bisa?” ucapku setengah ingin berteriak karena
terkejut.
“Ya bisa lah nama aku kan Cakka temen-temen kadang panggil Kka ka-ka-a.” ucapnya sambil mengeja nama
panggilannya.
“Bukan itu, maksudku ... kok bisa jadi kayak gini bukannya kamu dulu
pendiem ya? Anteng gitu orangnya, enggak beda jauh sama aku. Kok sekarang jadi
kayak gini?” kataku sambil tertawa bener-bener enggak percaya deh. Dia kecebur
apa sih sampai bisa jadi manusia over pede gini?
“Oh.. masalah itu, aku juga enggak tau kenapa jadi kayak gini. Tapi
sejak masuk SMP aku tau kalau aku punya bakat buat ikut lomba debat. Sejak itu
aku engak tau kenapa bisa berubah jadi kayak gini. Emang beda banget ya?”
“Banget 180 derajat. Ngeselin lagi.” jawabku. Tiba-tiba handphoneku
bergetar. Ternyata Angel sudah menunggu di depan karena ekstra musiknya sudah
selesai. Akupun segera membayar pesanan kami.
“Aku duluan ya Ka, udah ditungguin Angel tuh di depan.” Izinku
“Iya, ati-ati.” Jawabnya.
Di perjalanan aku mulai mengingat-ngingat tentang Kaka, tak banyak yang
dapat ku ingat dari memori masa lalu itu. Seingatku mamanya Kaka sama mama ku
itu temenan dekat. Kaka pernah se SD sama aku tapi cuma setahun waktu kelas 1
SD, terus dia pindah entah kemana sejak itu aku enggak pernah ketemu dia lagi.
Yang aneh dari semua ini seingatku Kaka itu anaknya pendiem banget-banget
deh, anteng, dan penurut gitu. Malah dulu aku sama dia jarang ngobrol gara-gara
aku tipe orang yang pendiem dan dia juga pendiem. Jadi, kita enggak bisa
dibilang akrab.
Sedangkan Cakka, aduh .. dia itu seratus delapan puluh derajat bedanya
sama si Kaka. Tapi sejak aku ngeliat dia waktu kelas satu emang ada pikiran
kayak pernah lihat si Cakka itu sih, tapi enggak pernah sekecilpun kebayang
kalau Cakka itu adalah Kaka temen masa kecil ku. Dan kadang kalau aku lewat di
depannya Cakka tuh sering ngeliatin aku, aku sih biasa aja aku enggak pernah
ada urusan sama dia, jadi aku cuek-cuek aja dan enggak pernah nanggepin dia.
“Woi, dari mana? Kok lama bener sih. Perasaan kelas kita Cuma deket
deh.” teriak Angel mengagetkan lamunanku.
“Dari kantin.” Angel langsung memasang tampang kaget. “Tumben mau ke
kantin sendirian, biasanya paling males.”
Jawab jujur enggak ya? Udah deh
jawab jujur Angel pasti juga bakal ngertiin. “Enggak sendiri kok, tadi sama
Cakka.”
Tebakanku benar pasti si Angel bakal masang tampang terkejutnya itu dan
.. “Serius! Wah jangan-jangan kamu ada apa-apa ya sama Cakka?”
“Enak aja! Enggak lah! Aku tadi dipaksa buat traktir karena tadi dia
udah kasih tebengan waktu telat tadi.” Ucapku cepat untuk menyanggah hipotesis
Angel yang terlalu ngelantur itu.
“Oh.. kalau ada apa-apa juga gapapa kali Shill. Itung-itung nanti aku
dapet PJ nya hahaha..” aku langsung mencubit lengannya. “Aduuh.. bercanda kali
Shill.” Katanya bersungut-sungut. Haha rasain tuh, emang enak. Aku segera
berjalan mendahuluinya menuju lapangan parkir, meninggalkannya dengan wajah
yang masih bersungut-sungut.
***
Tak ada warna emas yang seindah perpaduan warna orange dan ungu senja
yang terlukis di ufuk Barat langit senja. Aku selalu menikmati kemanisan warna
senja itu disetiap soreku. Ditemani oleh alunan musik dan novel favorit di
balkon belakang rumahku. Ah, menyenangkan.
Drrtt.. drrt.. terdengar handphoneku bergetar dua kali menandakan bahwa
ada chatt masuk. Nomornya tidak ter-save
di handphone ku. Aku segera membaca isi chatt
tersebut.
NN : Hai Shill. Lagi ngapain?
Aneh siapa
sih? Tiba-tiba nanyain lagi ngapain. Sebenarnya aku paling males nggubris orang
yang enggak kenal gini, tapi enggak tau ada sesuatu yang mendorongku untuk
membalas pesan itu.
Shilla : siapa?
Cakka : ini aku Cakka.
Pertanyaan ku enggak dijawab nih?
Shilla : dapet nomer ku dari
mana? Enggak lgi ngapa-ngapain kok.
Cakka : hahaha dari mana aja
boleh.
Shilla : serius Ka! Ada apa?
tumben chatt aku?
Cakka : gak ada apa-apa sih,
cuma mau ngobrol sama kamu hehe.
Shilla : dasar aneh!
Cakka : Shill
Cakka : Shilla?
Cakka : Yaudah deh.
Tiga kali chatt yang masuk darinya tidak aku gubris, sebenarnya aku
males sama manusia super aneh itu. Dia itu sumber masalah. Baru sekali aku
nebeng dia aja. Aku udah jadi musuh cewek-cewek seantero sekolah. Jadi, kali
ini aku memilih untuk menghindarinya dan tak menggubris tentang masa lalunya
kalau dia adalah teman masa kecilku.
***
Untung aja pagi ini ban motornya Mas Elang udah beneran, jadi aku
enggak perlu ketemu sama Cakka. Tapi, sepertinya kali ini Dewi Fortuna sedang
tidak berpihak kepadaku.
Pelajaran sejarah kali ini adalah membentuk kelompok yang beranggotakan
5 orang, untuk menyusun presentasi. Aku, Angel, Ify, dan Sivia memang selalu
menjadi satu kelompok setiap kali ada pembentukan kelompok di kelas kami tapi
kali ini kami kekurangan anggota.
“Aku ikut kelompok kalian ya?” tiba-tiba Cakka menawarkan diri menjadi
anggota kelompok kami. Aku baru saja ingin mengatakan enggak. Tapi sebelum ku
ucapkan Angel sudah menyela pembicaraanku.
“Of course Cakka, kamu boleh
gabung dengan kami.” Aku hanya melayangan tatapan melotot kepada Angel. Angel
yang diberi tatapan malah senyum-senyum sendiri penuh arti. Ah, Angel awas aja
nanti!
Jadilah kami berlima mulai membahas topik yang akan kami presentasikan.
Bel tanda pelajaran berakhir berbunyi, tapi bahan-bahan yang kami kumpulkan
belum lengkap. Akhirnya Sivia mengusulkan untuk meneruskan pekerjaan kami di
rumahnya pada hari Sabtu sepulang sekolah. Dan kami sepakat untuk itu.
Kesialan kedua hari ini adalah; ternyata Angel ada jam tambahan musik
untuk persiapan lomba paduan suara Minggu depan. Terpaksa aku harus pulang
sendiri naik bus karena Mas Elang enggak bisa jemput karena ada jam kuliah.
Aku berjalan hendak melewati gerbang sekolah ketika tiba-tiba ada
sebuah mobil yang berhenti di sampingku. Cakka. Dia menurunkan kaca mobilnya.
“Shill, aku anter pulang yuk.”
Aku menggeleng. “Enggak usah, aku naik bus aja.”
“Ayo.” Dia tidak mengerakkan mobilnya. Tetap diam di tempat hingga menyebabkan
kemacetan kendaraan lain yang ingin keluar dari gerbang.
“Enggak usah, aku bisa pulang sendiri.” Suara klakson di belakang mulai
terdengar tidak sabar, dan aku mulai tidak tahan mendengarnya.
“Aku enggak akan ke mana-mana sampai kamu naik.”
Aku sudah tidak tahan lagi dengan omelan orang-orang yang menyuruh
mobil Cakka jalan. Aku masuk ke dalam mobil dan sedikit membanting pintu.
“Aduh .. keras kepala banget sih kamu.” Omelku saat mobil itu mulai
melaju menjauhi gerbang sekolah.
“Kamu sih kalau enggak di keras kepalain enggak bakalan mau. Coba dari
tadi kamu nurut, aku pasti enggak bakal dimarahin orang-orang tadi.”
“Dasar keras kepala!” gerutuku. Dia malah tertawa mendengarnya.
Sejenak keheningan menyelimuti kami.
Menghindarinya sebenarnya adalah hal yang sulit, pasti ada saja yang
membuatku nurut sama keinginannya. Dan ini adalah kesialanku.
“Aku mau mampir ke toko buku dulu. Turunin aku di mal aja.”
“Aku temenin. Lagian sekarang kamu jadi tanggung jawabku.”
“Idih apaan! Whatever lah.”
kataku sambil terkekeh. Apa katanya? Aku menjadi tanggung jawabnya. Lucu!
Sungguh lucu!
Setelah memasuki toko buku, aku segera pergi ke rak buku Biologi
mencari buku untuk bahan referensi persiapan menghadapi OSK biologi. Sedangkan
dia entah kemana, tapi kulihat dia melesat ke arah deretan majalah.
Dan akhirnya dia menemuiku saat aku melihat-lihat deretan novel
terbaru. “Udah ketemu bukunya?” tanyanya kemudian.
“Udah ini, kamu enggak cari apa-apa?” tanyaku basa-basi.
“Enggak. Kamu masih cari apa lagi?”
“Enggak cari apa-apa lagi. Yaudah kalo gitu aku ke kasir dulu ya?” Dia
hanya mengangguk.
Setelah keluar dari toko buku, kami hanya berjalan-jalan untuk turun ke
lantai bawah.
“Shill aku laper, makan dulu yuk?” ucapnya saat kami melewati salah satu
gerai foodcourt di mal tersebut. Aku
terdiam sebentar menimbang-nimbang, uangku mulai menipis gara-gara membeli buku
biologi tadi. Sedangkan tadi aku tidak ada rencana untuk mampir makan. Tapi
Cakka tanpa aba-aba telah menarik tanganku memasuki rumah makan itu. Bersambung
