Selasa, 21 Agustus 2018

Titik Bifurkasi

Diposting oleh Girl in the Rain di 00.42 0 komentar

Sudah biasa membekap mulut sendiri, sudah biasa mengusap tangisan sendiri.

Suatu ketika tangisan saya pecah lagi. Saya memang lebih sering memendam perasaan sendiri, jika dibilang tidak punya teman. Ya itu betul, saya bukan tipe orang yang gampang percaya pada orang lain. Salah saya sendiri memang selalu mendorang orang-orang yang ingin mendekat karena sejujurnya saya takut tersakiti karena kedekatan itu. Dan secara tidak sadar saya sudah memiliki banyak wajah. Saya secara tidak sengaja sudah memasang tameng untuk beberapa orang yang tidak saya izinkan untuk masuk ke dalam kehidupan saya. Saya terbiasa menggolong-golongkan orang sesuai dengan dugaan saya apakah orang ini berkriteria untuk menyakiti atau tidak. Padahal saya enggak tau yang sebenarnya akan terjadi, mungkin saja orang yang saya pilih untuk memasuki kehidupan saya pada akhirnya juga akan menyakiti saya, sedangkan yang tidak saya izinkan sebenarnya malah lebih bisa menjaga hati.

Di situ kesalahan saya… kadang apa yang saya mau sebenernya bukanlah apa yang terbaik untuk saya. Saya sadar saya salah, namun, bukankah luka dan masa lalu adalah suatu paket komplit untuk membenarkan terbentuknya semua tameng alami ini?

Dengan sikap seperti itu saya baru menyadari, jika sampai saat ini saya tidak mendapatkan apa-apa. Saya tetap tidak mempunyai orang yang dapat saya percayai, seorang yang seperti harapan saya. Karena saya baru mengerti jika teori, “perlakukan orang lain, seperti apa kamu ingin diperlakukan” tidak menjadi prinsip kebanyakan orang dan tentu saja saya tidak bisa memaksa orang lain untuk menjadi seperti saya. Di situ kelemahan yang selama ini membuat saya harus rela menahan kesakitan sendiri, karena sampai sekarang saya masih tidak bisa membagi perasaan dan seluruh cerita saya dengan orang lain. Hingga semuanya mengendap di hati yang lama-kelamaan menjadi gumpalan, hingga akhirnya berujung air mata.

Saya sudah mencoba berubah, menjadi orang yang lebih terbuka. Tetapi, respon orang berbeda-beda. Malah ada yang menjadi menjauh yang dulunya sedekat nadi, rasanya terasingkan oleh orang yang selama ini dianggab paling mengerti itu… tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Mau kecewa, tapi kecewa dengan siapa? Dengan diri sendiri yang sudah menaruh harapan yang terlalu tinggi? Tentu saja diri ini diingatkan kembali jika akar permasalahan ini ada pada diri sendiri. Sedangkan jika ingin dilanjut… saya tipe orang yang terus saja mengingat perlakuan orang-orang yang saya anggap dekat, saya tidak bisa masa bodoh dengan perlakuan mereka dan akan terus-terusan terpikirkan dan akhirnya saya akan menangis lagi karena tidak ada orang lain lagi yang bisa saya bagi cerita.

Rasanya permasalahan-permasalahan saya yang seperti ini tidak pernah memiliki ujung, salahkah pribadi saya yang seperti ini? Lalu bagaimana cara mengubahnya?

#MenulisAdalahTerapi


Jumat, 27 April 2018

Cinta Bertepuk Sebelah Tangan

Diposting oleh Girl in the Rain di 08.59 0 komentar


Kenapa tiba-tiba saya nulis hal begini? Jangan kaget, saya tidak akan membahas tentang cinta yang berhubungan dengan asmara hehe. Cinta bertepuk sebelah tangan disini artinya dimana suatu ketika kalian sudah mengumpulkan segalanya untuk memilih itu tetapi nyatanya ekspektasi kita tidak sebanding dengan kenyataan yang terjadi.
Ekspektasi sebenernya jangan dipupuk terlalu banyak, karena sejatinya kita enggak seharusnya menggantungkan segala sesuatu yang enggak pasti. Kalau dibilang sih, jangan berharap sama ekspektasi nanti takutnya kecewa. Kecewa itu sebenernya kenapa sih bisa hadir? Yaa, karena angan-angan kitanya aja yang terlalu tinggi.
Nah.. saya mau berbagi pengalaman tentang cinta bertepuk sebelah tangan yang sedang saya alami saat ini. Saya mungkin sedang loading menuju 50%, menyesali pilihan yang saya ambil saat ini. Dulu pernah saya berpikir untuk memutuskan berhenti dari pilihan yang saya ambil saat ini. Bukan karena apa-apa, tapi alasan saya cukup kuat untuk berhenti. Ibaratkan saja sebagaimana kalian membaca buku yang tidak kalian sukai dan ending dari buku itu bukan apa yang kalian inginkan. Apakah kalian akan mengulang membaca buku itu?
“Don’t judge a book by its cover…” dari pernyataan ini saya 100% setuju. Saya dulu berpikir positif tentang pilihan itu walaupun sangat terlihat dari cover sebagaimana berlawanannya penilaian baik dilihat dari segala hal. Hingga diakhirpun, saya tidak menemukan sedikit pun ekpektasi yang sebelumnya saya bumbu-bumbui dengan angan yang ternyata sangat oposisi dengan kenyataan di lapangan.
Kecewa? Tentu saja. Pertanyaan yang amat retoris selanjutnya yang akan saya ajukan yaitu, apakah saya akan mengulangi kejadian itu?
Dan jawaban saya saat itu adalah iya. Kenapa bisa begitu? Karena Alhamdulillah saya masih punya orang-orang baik disekitar saya. Orang-orang yang masih mau mengingatkan saya tentang kebaikan, tentang kepercayaan bahwa suatu hal yang buruk itu bisa diubah apabila kita mau berusaha.
Tapi sampai di titik ini, ternyata semangat mereka dengan mudahnya dikalahkan dengan energi negatif yang sebesar atom, silahkan tertawa jika kalian menganggap saya berlebihan :D Tapi nyatanya memang begitu, perilaku negatif nyatana lebih mudah menular daripada perilaku positif. Perilaku negatif itu bagaikan gas karbon monoksida; tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa tapi cepat dan mematikan ketika mulai tersebar.
Riset yang diterbitkan dalam The Journal of Applied Psychology edisi Juni 2015 menunjukkan bahwa, perilaku kasar bisa menular seperti flu. Itu jelas karena perilaku kasar dapat dirasakan, didengar dan dilihat oleh banyak orang. Dan jelas sekali bahwa perilaku negatif tersebut pasti akan menular.
Nah.. sekarang kita ambil contoh perilaku negatif yang bersifat seperti gas CO yaitu, apatis. Apatis menurut KBBI; apa·tis a acuh tidak acuh; tidak peduli; masa bodoh.
Coba kalian tilik balik ke satu kejadian di mana satu orang mulai menujukkan sikap apatis dan tidak ada seorangpun yang menyelamatkan satu orang tersebut. Cukup dengan waktu keterlambatan yang tidak lama, apatis tersebut akan menular ke berbagai orang lain.
Pertanyaannya kenapa sikap apatis itu dapat menular? Bagi saya pribadi mungkin hal ini sesuai dengan teori kejenuhan. Jenuh yaitu kondisi dimana jumlah terlarut lebih banyak dibandingkan dengan pelarut. Bayangkan saja, jika pelaku apatis lebih banyak dibandingkan dengan pelaku aktif maka akan terjadi titik kejenuhan dimana semua komponen itu akhirnya akan berhenti saling mempengaruhi. Jika sudah begitu mau bagaimana lagi?
Jika dilihat ulang dari masa lalu, sebenernya perilaku negatif tersebut merupakan cerminan terhadap apa yang telah diperolehnya pada masa lampau. Jadi, mungkin perilaku apatis bukan suatu hal yang memang sengaja dibentuk oleh suatu individu tapi lebih suatu sifat yang dibentuk oleh faktor lingkungan.
Tapi, bukankah kita masih bisa melihat dari sisi positifnya? Bukankah keputusan yang kita ambil memang harus selalu dipertanggungjawabkan. Jika melulu kita mengikuti ego diri masing-masing, maka secara otomatis kepentingan orang lain bahkan orang banyak bakal terlupakan. Nah.. bahkan secara tidak sadar pun kita bisa melukai harga diri orang lain. Sederhana memang, tapi coba dilihat dari sudut pandang orang tersebut, bayangkan bagaimana orang lain tersebut memandang penting kalian untuk ikut andil hal yang seharusnya bisa kalian lakukan bersama. Dan juga dilihat dari apa yang telah mereka korbankan untuk kalian agar bisa bekerja bersama-sama.
Jadi, kesimpulannya… perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan. Jika kita ingin diperlakukan baik oleh orang lain cobalah untuk memperlakukan baik orang lain dulu. Karena semua hal itu berbanding lurus dengan apa yang kita lakukan “Apa yang disemai akan dituai.”

#MenulisAdalahTerapi

 

Girl in the Rain Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos