Sabtu, 27 September 2014

Kamu dan Senja

Diposting oleh Girl in the Rain di 06.03 0 komentar

Langit seakan tahu apa yang kurasakan—hanya mendung kelabu yang begitu pilu. Bimbang untuk mencurahkan air matanya.
Aku merindukan hujan, sama seperti hari-hari sebelumnya.
Tapi seakan-akan langit tak pernah mau mengabulkan permintaanku.
Hingga akhirnya ...

13 Juli 2014
Ditengah mendung dan indahnya senja.

            Aku masih mengharapkan hadirnya hujan. Bukan! Bukan untuk mengobrak-abrik kenangan masa lalu itu, hanya saja aku terkadang ingin memeluk semua bayangan indah itu saat tetes-tetes air bening itu mulai melelehi permukaan tubuh. Mendung kelabu hari ini sepertinya tak juga mau mengabulkan permintaan ku.
Musim telah mendekati kemarau, mendung terkadang hanya membuat asa palsu untuk ku harapkan. Bukannya aku tak suka kemarau, bukankah dulu aku pernah bilang langit musim kemarau selalu indah; kawanan awan putih yang bersinar cerah, warna senja yang manis, dan gugusan bintang di langit malam yang tak pernah henti membuat senyum terlekung. Masih ingatkah kau?
Langit pagi musim ini selalu cantik. Biru bersih dengan semburat awan putih yang bersinar lembut dan juga angin sepoi yang membuat dedaunan bergemerisik syahdu. Semua itu selalu mengingatkanku tentang percakapan kita di waktu lampau.  Selama ini aku sudah menyimpan rapat-rapat tentang kenangan masa lalu itu. Bukannya aku melupakanmu, hanya saja aku tak mau larut dalam luka hatiku. Tidak mengutamakan kenangan masa lalu, proses menyembuhkan.
Sesungguhnya aku tak benar-benar menyingkirkan anganku kepadamu. Selama ini, tak habis aku menuliskan bahwa aku merindukanmu. Bercerita pada langit, titip rindu pada kawanan awan. Pernahkah kau mendengarkanku? Akankah kau kembali lagi untuk menemuiku?

*

Angin sore kali ini bertiup lembut dengan kanvas senja yang selalu berwarna manis, menciptakan perpaduan yang sayang untuk dilewatkan. Aku menatap langit senja itu sama seperti kebiasanku sore-sore sebelumnya. Sungguh pemandangan terindah.
Sama seperti biasanya aku tak pernah mudah untuk memalingkan pandanganku jika sudah melihat sang raja siang itu kembali ke peraduannya, tapi kali ini rasanya berbeda ada seseorang yang mengusik perhatianku. Dan seketika ... napasku tertahan. Aku tak percaya, kukerjabkan mataku untuk menyakinkan bahwa aku tidak sedang berhalusinasi. Sungguh aku mengenali orang yang sedang berdiri tak jauh dariku, yang sedang mengamati langit senja itu.
Pada saat yang bersamaan, dia memalingkan wajahnya kepadaku. Aku tak segera memalingkan wajahku seperti hal kebiasaan jika tertangkap basah sedang mengamati orang lain. Seakan ada magnet yang terus menarikku untuk menatap matanya yang misterius itu, sungguh aku merindukan tatapan itu.
Diapun tak juga memalingkan wajahnya, samar-samar ku lihat senyum kaku di lekungan bibirnya. Aku tersadar akan lamunanku, dengan bimbang ku balas senyuman itu. Setelah itu aku tak sadar sudah berapa lama kami saling menatap tanpa kata-kata. Waktu seakan berjalan lambat, membekukan kenangan itu.

*

Banyak yang berubah darimu. Garis wajahmu yang semakin mengguratkan kedewasaan, potongan rambutmu yang rapi, badanmu yang semakin tinggi dan tegap. Sungguh sudah benar-benar berubah dari pertemuan terakhirku denganmu, tapi satu hal yang tak berubah; aura misteriusmu yang sealau terpancar dari sikapmu dan senyum manismu yang tak sembarang kau tebarkan kesiapapun.

Kamu adalah pemandangan terindahku. Aku memang tak bisa membuat ungkapan puitis untuk menggambarkanmu. Hanya saja aku tak bisa mengalihkan pandanganku darimu, sama seperti aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari senja. Karena kamu adalah pemandangan terindahku sama seperti senja.
Tatapanmu yang tajam sekaligus menghangatkan selalu menemani setiap senjaku. Aku tak mengerti kenapa kau selalu menatapku seperti itu, anehnya aku juga tidak bisa mengalihkan pandanganku darimu. Seperti ada sesuatu yang tak terucapkan yang ingin kau sampaikan. Entahlah, aku tak mengerti.

Sebulan sudah semuanya berjalan, kamu masih disini. Apa aku harus senang? Setidaknya kamu tidak akan meninggalkanku secepat dulu kan?
Tapi semuanya berubah, kebimbangan ini mulai menyerang. Aku takut akan rasa kehilangan lagi. Aku tak mau hujan dan senja ku menjadi kelabu. Kamu tak pernah meyakinkanku, sedangkan perasaanku ini mulai meletup-letup diluar kuasaku. Aku tak mau jatuh di lubang yang sama tapi semua diluar kehendakku. Aku harus bagaimana? Jika kamu ternyata kembali kesini hanya akan menghilang lagi? Siapa yang akan tahu? Lalu sikap apa yang harus ku ambil? Aku bimbang.
Luka kehilanganmu, tak semudah itu untuk disembuhkan. Butuh waktu lama untuk mengikhlaskanmu pergi. Setahun aku mengubur semua kenangan masa lalu, berharap kamu tidak menerobos mimpi di dalam tidurku.

Lama aku menunggu dalam bimbang, was-was terhadap hari esok apa yang akan terjadi. Apakah kamu masih di sini atau malah sudah kembali menghilang. Sedangkan seiring bertambahnya hari rasa ku ini malah semakin tak bisa untuk dibendung. Sungguh menyiksa.
Hingga suatu sore, di tempat kali pertama kita bertemu, kau menghampiriku. Sekian lama kesempatan itu ku nanti-nantikan, menunggumu untuk angkat bicara. Bukan hanya sekedar ungkapan; hai atau sapaan singkat lain yang selalu kau layangkan padaku.
Hanya hening yang terjadi setelah beberapa saat kau duduk di sebelahku. Kamu malah larut dalam pemandangan senja yang memanjakan mata. Aku mengikutimu untuk memandang perpaduan warna ungu dan orange yang berpadu menjadi satu di langit barat itu. Sungguh indah, tak pernah seindah ini apakah karena ada kamu sehingga semuanya menjadi semakin indah?
“Aku ... akan tetap disini.”, ucapmu tiba-tiba.
Aku sebenarnya tak benar-benar mengerti dari ucapan itu. Tapi yang kutahu, kamu meyakinkanku. Kualihkan pandanganku untuk menatap kesungguhan dalam bola matamu. Tak ada sinar kebohongan yang dapat ku tangkap dari matamu yang selalu misterius itu. Aku hanya mengangguk dan tersenyum, entah untuk meyakinkanku bahwa dia akan sungguhan tetap disini atau memberikan respon untuk kata yang barusan kau ucapkan.
Beberapa saat kemudian keheningan mulai lagi menyelimuti kita, hanya sinar matahari yang semakin meredup di ufuk Barat.
“Aku kangen kamu.”, kataku tak sadar telah mengucapkan kalimat yang selama ini selalu kupendam rapat-rapat. Aku merasa malu telah mengatakan itu, hawa panaspun mulai terasa menandakan bahwa aku sedang gugup.
Tak kusangka kau tersenyum, belum pernah sebelumnya aku melihat kamu tersenyum semanis itu. “Aku juga kangen kamu, kangen senyum kamu, kangen sikap salting kamu.”, katamu sambil menatapku seakan menyatakan kesungguhannya.
Ternyata kau selama ini juga merindukanku. Aku seakan tak percaya, kukira selama ini hanya aku yang tersiksa akan perasaan itu. Hanya senyum lebar yang dapat kuberikan padamu untuk mengobati rindu.
“Aku akan tetap di sini, aku enggak akan pergi tiba-tiba lagi. Maafin aku karena dulu enggak pamit sama kamu.”, ucapmu dengan sangat hati-hati dan sungguh-sungguh.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk, rasanya ingin menangis. Kau meyakinkanku. Bukankah selama ini aku hanya membutuhkan kehadiran dan keyakinanmu. Dan sekarang semuanya terwujud.
Aku bahagia pernah mengenalmu, sungguh..

Setelah semusim kamu kembali, menutup masa-masa penantianku. Di musim antara kemarau dan hujan. Lihat semuanya menjadi nyata. Kau adalah alasan bahagiaku. Kau yang membuat senjaku semakin indah. Kau adalah pangeranku yang menjelma bersama hujan dan senja. Dan aku menyayangimu...

23 September 2014 
 

Girl in the Rain Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos