Ini bukanlah cerita dongeng
yang akan berakhir bahagia ini hanyalah sepenggal kisah klasik yang mewarnai
rintikan hujan ku.
Oktober 2012
Seperti biasa aku melewati jalan ini untuk menuju kios
di ujung, memang tak ada yang berubah sama seperti biasanya banyak
orang berlalu-lalang melawati ku. Aku tak terlalu tertarik untuk sekedar
melihat lingkungan sekitar.
“Baru pulang
nak? Tumben pulangnya sore sekali?” suara itu tiba-tiba mengagetkan lamunanku.
“Hehe iya bude,
tadi les dulu maklum sudah mau ujian.” jawabku sambil tersenyum setelah
meyadari ternyata bude Sri yang memanggilku, Bude Sri masih muda mungkin
usianya baru berkepala 4.
Beberapa saat kemudian aku tertarik untuk mengedarkan pandangan ke
warung makan Bude Sri entah dorongan apa yg membuatku melakukan hal itu,
seketika aku menahan nafas ketika melihat sosok laki-laki berhidung mancung
dengan celana jeans pendek yang dipadukan dengan polo shirt hitamnya.
“Oh iya ya kan
udah mau ujian hehe.” Terdengar suara Bude Sri yang membuatku segera menghela
nafas karena nafasku yang tiba-tiba tertahan oleh pesona cowok itu.
“Iya bude, ya
udah saya permisi pulang dulu.” kata ku meminta izin untuk segera menuju tujuan
awalku.
Bude Sri hanya mengangguk sambil tersenyum.
Beberapa waktu
lalu aku tahu ternyata dia anak Bude Sri yang tinggal di Palembang, aku baru tahu
ternyata beliau punya anak yang terpaut satu tahun diatasku, menurut informasi
yang kutahu dari ibuku ternyata dia di Palembang tinggal bersama kakek dan
neneknya. Sejak kejadian itu, aku tak tahu apa yang sebenarnya kurasakan
melihatnya dan mengkhayalkannya membuatku melupakan luka di masa lalu. Bolehkah
dia menggantikan orang di masa lalu? Kumohon Tuhan berikan kesempatan itu.
Nama? Itu salah
satu hal tersulit yang pernah kualami dalam perjalanan waktuku, hal ini menjadi
sangat sulit untuk ku temukan, setiap saat hal itu selalu bergelantungan dalam
benakku. Namun, aku menyadarkan diri
apa arti sebuah nama jika dalam do’a pun aku masih bisa menyebutnya dan Tuhan
pasti tahu siapa yang kumaksud tanpa
harus menyebut namanya. Sejak saat itu aku tak memperdulikan
tentang nama, tak apalah aku tak tau namanya yang penting aku bisa selalu
memandangnya. Maka, kuputuskan untuk terus menatap dia dari balik rak kaca,
meskipun dia sibuk dengan banyak hal. Beberapa kali dia berbicara dengan ibunya, dan itulah
kali pertama bibirnya terlekung membentuk
seulas senyum, jantungku berdegub tak karuan aku tak
sadar ternyata sedari tadi aku sudah menahan nafas. Sungguh senyuman yang mempesona seketika hatiku
leleh melihatnya. Sungguh aku ingin dia tersenyum seperti itu kepadaku.
Entah sudah
berapa lama aku memandang dia, mataku seakan tak pernah jemu untuk melihat dia,
hatiku tak pernah mengizinkan jika dia hanya menghilang sekejab dari bola
mataku, seakan dia adalah kutub
magnet yang
mempunyai daya tarik terkuat. Dan aku
benci jika waktuku habis; aku harus pulang. Berarti aku harus menunggu hari
esok untuk melihatnya lagi.
Setelah itu aku
sudah tak kenal
waktu, yang ada hanyalah rindu padanya. Wajahnya selalu terangan-angan di
benakku. Rambut, hidung, bibir, dan matanya selalu berkelebatan dalam benakku.
Dalam tidurku selalu ada dia yang menghiasai mimpiku, dalam setiap doa ku
selalu ada dia untuk setiap kebahagiannya.
Hari-hari terus
berlalu tepatnya ini sudah musim hujan di tahun 2013. Aku tak terlalu menyukai
hujan bukan benci hanya tak terlalu suka, hujan selalu membuatku kedinginan dan
tak bebas bermain di luar rumah. Tetapi hujan tak membuatku berhenti untuk
selalu memperhatikannya diam-diam dari rak kaca ini, Aku tahu dia tak akan sadar jika kuperhatian,
dan mungkin saja dia memang tak mau tahu tentang gadis yang diam-diam menyimpan sketsa wajahnya dalam ingatan, dan
akhirnya aku hanya terjebak pertemuan semu yang berakhir menyakitkan, jika yang
kuharapkan tak sejalan dengan kenyataan. Tapi, aku masih sangat berharap dia
bisa mengetahui sosokku walaupun aku tak pernah berharap dia tahu perasaanku.
Kau tahu secara
tidak sadar dia telah mengubah semua yang absurd menjadi jelas, dia mengubah
rasa dinginku menjadi kehangatan, dia menggantikan mendung yang selama ini
menggelayut berubah menjadi matahari, dia mengenalkanku kembali kepada sesuatu
yang sulit ku definisikan.
Aku tahu salah
satu kebiasaannya setelah beberapa lama ini aku mencoba mengenalnya, dia
berangkat menuju warung makan ibunya sekitar jam 2, ya itu karena dia baru
pulang sekolah sekitar jam satu siang, aku tahu ini karena aku pernah bertanya
pada salah satu temanku yang kebetulan juga bersekolah di tempat dia
bersekolah. Dua dia sering berjalan menuju sebrang jalan, kalau hal ini entah
aku tak tahu apa sebenarnya yang dia lakukan mungkin mengantar pesanan atau
mengambil tambahan bahan untuk dijual atau mungkin untuk ke toilet yang unik dari hal ini
dia tak pernah memakai payung jika hujan turun, mungkin dia lebih senang
berhujan-hujanan, entah aku juga tak tahu.
Sore itu hujan
turun seperti hari-hari sebelumnya, hari ini aku ada jam tambahan jadi pulang
lebih sore, aku tak terlalu bersemangat saat akan menuruni bus yang kutumpangi,
di luar hujan turun begitu derasnya hal lain yang mendukung mood ku begitu anjlok adalah aku lupa
tidak membawa payung dan tidak memakai jaket, setelah turun dari bus udara
dingin segera menyambut tubuhku sekejab badanku merasa menggigil, sungguh
dingin sekali. Aku harus menyebrang jalan untuk menuju kios orang tuaku, namun
dalam keadaan hujan deras seperti ini tak memungkinkanku untuk menyebrang jalan
tanpa adanya
payung, terpaksa aku menunggu di halte bus ini sampai hujan reda.
Setahuku di
halte ini hanya ada aku yang menunggu hujan reda, namun lamunan ku tersadar
ketika ada sosok cowok yang tiba-tiba sudah berdiri disampingku, nafasku
tiba-tiba tercekal. Dia .. iya benar dia .. dia yang selalu ku dambakan berdiri di sampingku, sungguh ada
rasa tak percaya yang tiba-tiba menyelinab dalam hatiku, ku kedip-kedipkan
mataku untuk memastikan jika dia memang benar-benar nyata bukan hanya imajinasiku,
ada rasa bahagia yang membuncah dalam hatiku setelah aku sadar memang benar-benar dia yang sekarang sedang
berdiri di sampingku.
Seseorang yang
kuperhatikan sepertinya tersadar jika sedang ada yang memperhatikannya, dia
menoleh ke arahku lalu tersenyum, hah dia tersenyum? Dia tersenyum kepadaku!
Sungguh Tuhan jika ini hanya mimpi izinkan aku untuk sedikit lebih lama untuk
memandang wajah manis itu.
“Hai, kamu
anaknya yang punya counter seberang jalan
itukan?” tanyanya menyadarkanku untuk kembali ke dunia nyata. Seulas senyum
masih menghiasi lekungan bibirnya.
“Oh, hehe iya,
anaknya Bude Sri ya?” tanya ku sekedar basi-basi.
“Iya, kok tau
sih?” tanya nya kemudian
“Ya tau dong.”
jawab ku sambil tersenyum
“Hehe iyadeh,
hujannya deras banget gak baik kalo nekat hujan-hujanan.” kata nya entah
mengatakan untuk dirinya sendiri atau untuk ku.
“Aku enggak suka
hujan, hujan membuat semua jadi ribet, basah dimana-mana, dingin, dan susah mau
main ke luar.”
kata ku entah untuk apa aku mengatakan hal itu.
“Aku suka
hujan, suara rintikan hujan membuatku damai, basuhan rintikannya saat mengenai
tubuh seakan meluruhkan seluruh beban dan masalah yang sedang menggumpal dan membuatku
merasa segar kembali, dan aku merasa bahagia saat aku berhujan-hujanan seakan
semua rintikan hujan itu menamaniku dan membuatku tak merasa sendiri.” dia menghela nafas. “Dan
juga walaupun tidak selalu ada, tidak akan ada pelangi tanpa hujan kan?” jawabnya sambil
menerawang melihat tetes-tetes hujan yang turun perlahan dari langit itu.
Aku terhipnotis oleh rentetan kata-kata yang keluar dari mulutnya,
seakan itulah sepenggal sajak yang begitu indah, dan melupakan ketidaksukaanku pada
hujan.
“Aku menyukai langit,
dengan memandang langit seakan aku dapat menyentuh awan, bintang, dan bulan
yang jauh di sana. Aku seakan dipeluk oleh langit yang begitu luas yang
menenangkanku dalam suasana yang buruk, dengan melihat langit yang begitu luas
aku merasa bahwa masalah yang kualami hanyalah secuil kecil dibandingkan dengan
luasnya langit itu.” Aku menghela
nafas sekali untuk mengatur napasku yang berburu. “Langit selalu menemaniku
saat tak ada teman disampingku, langit adalah hal indah yang menyimpan hal-hal
yang mekjubkan seperti bintang, bulan, pelangi, awan putih yang bersinar cerah,
dan langit jingga bersemu ungu yang menakjubkan.” Aku diam sesaat sambil menerawang. “Tapi entah aku tidak terlalu menyukai hujan, tapi
jika kupikir-pikir hujan juga tak seburuk yang kupikirkan, jadi apa salahnya
jika mencoba berdamai dengan hujan.” kata ku panjang lebar entah dorongan dari
mana aku mengucapkan rentetan kata itu.
“Wow, kata-kata
mu sungguh mengagumkan. Aku juga menyukai langit, sungguh langit menyimpan
begitu banyak keindahan.” katanya sambil tersenyum
Pipiku sedikit panas ketika dia memujiku, aku hanya tersenyum sambil memandangnya.
“Hujannya udah
mulai reda nih tinggal gerimis, gimana kalau sekarang kita menyebrang, sekalian
merasakan sensasi berhujan-hujanan.” ajak dia sambil mengulurkan tangannya
untuk merasakan tetes-tetes hujan yang mengenai telapak tangannya.
“Iya ayo.”
jawabku sambil mengangguk.
Aku berjalanan
beriringan di sampingnya menyusuri trotoar untuk menuju zebra cross sambil menikmati rintikan kecil yang membasuh wajah dan
tubuhku, sungguh sensasi yang begitu membahagiakan yang belum pernah kurasakan
berhujan-hujanan seperti ini, sekali lagi dia melempar senyum kepadaku,
seketika pipi ku terasa panas dan aku takut jika tiba-tiba jantungku putus
karena deguban jantungku yang begitu keras ini.
Kemampuan menyebrangku memang sangat payah, aku
biasanya menunggu hingga jalan benar-benar safe
untuk bisa dilaluli kadang aku menunggu hingga begitu lama. Dengan bantuan
cowok yang berada di sampingku ini, aku tidak merasa kesulitan untuk menyebrang.
Sesampainya di marka jalan tiba-tiba dia menggandeng pergelangan tanganku untuk
segera menyebrang, karena kendaraan dari kejauhan terlihat ramai. Tubuhku serasa membeku ketika dia menyentuh pergelangan tanganku, jalan ku
terasa seperti tersendat. Semoga dia tidak merasakan perubahan pada tubuhku,
pikirku saat itu. Setibanya di trotoar dia melepaskan genggammannya.
“Makasih ya udah disebrangin.” jawabku seraya
memberikan senyuman termanisku untuk menutupi rasa salah tingkah dalam diri ku.
“Hehe iya sama-sama.”
“Yaudah, aku duluan ya.” kataku meminta izin untuk
segera pergi.
Dia hanya mengangguk sambil tersenyum. Sungguh manis sekali.
Sejak kejadian
itu semuanya berubah, yang pertama tidak saling mengenal kini kami sudah bisa
saling bertegur sapa, mengobrol pendek, dan saling melempar senyum. Sungguh
membuatku bahagia, rasa yang selama ini kusimpan rapat-rapat seakan lebih membuncah menyadari hal itu. Aku
masih takut-takut untuk mengandai-andai apakah hubunganku dengannya dapat
menjadi “kita” yang lebih serius. Aku takut jika itu hanya harapan yang terlalu
tinggi dan sulit untuk kugapai, aku tak tau dalam bentuk apa dia menganggabku, sekedar teman biasa atau
malah lebih. Tapi tak apa jika aku hanya bisa jatuh cinta diam-diam dan hanya
bisa memendam perasaan sendirian, merasakan kebahagian yang hanya bisa
kunikmati sendirian. Yang penting dia selalu di dekatku. Dia yang berbeda dari
lainnya, dia yang sederhana--apa adanya, misterius, dan sulit ditebak.
Hingga suatu
hari cambuk pahit menyadarkanku bahwa aku tak boleh mengkhayalkannya begitu
tinggi. Dia pergi tanpa ucapan pisah dan pamit. Dia pergi dengan keadaan tak tahu siapa sebenarnya aku.
Aku tak ingin perpisahan, tapi Tuhan berkehendak lain aku dan dia berpisah. Dia
pergi, ketika aku mulai menyayanginya. Kepergiannya telah menyadarkanku bahwa
aku tak perlu berharap terlalu tinggi. Rasa sakit ini begitu pedih dia menghilang tanpa
kabar, menjelma bersama hujan.
Dia kembali ke
Palembang kakeknya sakit parah, neneknya tidak bisa mengurusnya sendirian,
saudara-saudaranya banyak yang merantau keluar kota bahkan ke luar Sumatra. Dia
amat menyayangi kakek dan neneknya mendengar hal itu dia buru-buru berkemas
untuk kembali ke kampung halamannya.
Setelah dia mendapat
informasi itu, paginya setelah mendapat izin dari orang tuanya dan mendapatkan
tiket dia bergegas berangkat menuju Palembang. Ya memang tidak ada kata
perpisahan.
“Kini aku melewati hari
yang berbeda, sudah tidak ada lagi dia. Melupakan sesuatu yang sudah mulai
melekat bukanlah hal yang mudah. Dia pergi tanpa pamit. Dia menghilang tanpa
mengizinkan aku jujur mengenai perasaanku. Dia pergi ketika aku mulai menata
mimpi.
Semoga aku
segera merelakan dan mengikhlaskan. Inikah sakitnya perpisahan?”
Kutulis kenangan ini
setelah semusim kepergiannya, aku masih berharap dia kembali bersama hujan
ataupun panas matahari sekalipun, satu hal yang perlu engkau tahu aku
mencintaimu. Entah sampai kapan aku akan menunggu apa sampai musim kedua, musim
ketiga, atau musim-musim selanjutnya aku akan tetap menunggumu, dan aku tak
tahu kapan kamu akan kembali lagi…
Februari 2014
Keyword : Cerpen remaja, cerpen hujan

