Selasa, 25 Februari 2014

Tentang Aku, Kamu, dan Hujan

Diposting oleh Girl in the Rain di 06.35 0 komentar

Ini bukanlah cerita dongeng yang akan berakhir bahagia ini hanyalah sepenggal kisah klasik yang mewarnai rintikan hujan ku.

Oktober 2012

Seperti biasa aku melewati jalan ini untuk menuju kios di ujung, memang tak ada yang berubah sama seperti biasanya banyak orang berlalu-lalang melawati ku. Aku tak terlalu tertarik untuk sekedar melihat lingkungan sekitar.
                “Baru pulang nak? Tumben pulangnya sore sekali?” suara itu tiba-tiba mengagetkan lamunanku.
                “Hehe iya bude, tadi les dulu maklum sudah mau ujian.” jawabku sambil tersenyum setelah meyadari ternyata bude Sri yang memanggilku, Bude Sri masih muda mungkin usianya baru berkepala 4.
Beberapa saat kemudian aku tertarik untuk mengedarkan pandangan ke warung makan Bude Sri entah dorongan apa yg membuatku melakukan hal itu, seketika aku menahan nafas ketika melihat sosok laki-laki berhidung mancung dengan celana jeans pendek yang dipadukan dengan polo shirt hitamnya.
                “Oh iya ya kan udah mau ujian hehe.” Terdengar suara Bude Sri yang membuatku segera menghela nafas karena nafasku yang tiba-tiba tertahan oleh pesona cowok itu.
                “Iya bude, ya udah saya permisi pulang dulu.” kata ku meminta izin untuk segera menuju tujuan awalku.
Bude Sri hanya mengangguk sambil tersenyum.
               
                Beberapa waktu lalu aku tahu ternyata dia anak Bude Sri yang tinggal di Palembang, aku baru tahu ternyata beliau punya anak yang terpaut satu tahun diatasku, menurut informasi yang kutahu dari ibuku ternyata dia di Palembang tinggal bersama kakek dan neneknya. Sejak kejadian itu, aku tak tahu apa yang sebenarnya kurasakan melihatnya dan mengkhayalkannya membuatku melupakan luka di masa lalu. Bolehkah dia menggantikan orang di masa lalu? Kumohon Tuhan berikan kesempatan itu.

                Nama? Itu salah satu hal tersulit yang pernah kualami dalam perjalanan waktuku, hal ini menjadi sangat sulit untuk ku temukan, setiap saat hal itu selalu bergelantungan dalam benakku. Namun, aku menyadarkan diri apa arti sebuah nama jika dalam do’a pun aku masih bisa menyebutnya dan Tuhan pasti tahu siapa yang kumaksud  tanpa harus menyebut namanya. Sejak saat itu aku tak memperdulikan tentang nama, tak apalah aku tak tau namanya yang penting aku bisa selalu memandangnya. Maka, kuputuskan untuk terus menatap dia dari balik rak kaca, meskipun dia sibuk dengan banyak hal. Beberapa kali dia berbicara dengan ibunya, dan itulah kali pertama bibirnya terlekung membentuk seulas senyum, jantungku berdegub tak karuan aku tak sadar ternyata sedari tadi aku sudah menahan nafas. Sungguh senyuman yang mempesona seketika hatiku leleh melihatnya. Sungguh aku ingin dia tersenyum seperti itu kepadaku.
                Entah sudah berapa lama aku memandang dia, mataku seakan tak pernah jemu untuk melihat dia, hatiku tak pernah mengizinkan jika dia hanya menghilang sekejab dari bola mataku, seakan dia adalah kutub magnet  yang mempunyai daya tarik terkuat. Dan aku benci jika waktuku habis; aku harus pulang. Berarti aku harus menunggu hari esok untuk melihatnya lagi.

                Setelah itu aku sudah tak kenal waktu, yang ada hanyalah rindu padanya. Wajahnya selalu terangan-angan di benakku. Rambut, hidung, bibir, dan matanya selalu berkelebatan dalam benakku. Dalam tidurku selalu ada dia yang menghiasai mimpiku, dalam setiap doa ku selalu ada dia untuk setiap kebahagiannya.

                Hari-hari terus berlalu tepatnya ini sudah musim hujan di tahun 2013. Aku tak terlalu menyukai hujan bukan benci hanya tak terlalu suka, hujan selalu membuatku kedinginan dan tak bebas bermain di luar rumah. Tetapi hujan tak membuatku berhenti untuk selalu memperhatikannya diam-diam dari rak kaca ini, Aku tahu dia tak akan sadar jika kuperhatian, dan mungkin saja dia memang tak mau tahu tentang gadis yang diam-diam menyimpan sketsa wajahnya dalam ingatan, dan akhirnya aku hanya terjebak pertemuan semu yang berakhir menyakitkan, jika yang kuharapkan tak sejalan dengan kenyataan. Tapi, aku masih sangat berharap dia bisa mengetahui sosokku walaupun aku tak pernah berharap dia tahu perasaanku.
                Kau tahu secara tidak sadar dia telah mengubah semua yang absurd menjadi jelas, dia mengubah rasa dinginku menjadi kehangatan, dia menggantikan mendung yang selama ini menggelayut berubah menjadi matahari, dia mengenalkanku kembali kepada sesuatu yang sulit ku definisikan.

                Aku tahu salah satu kebiasaannya setelah beberapa lama ini aku mencoba mengenalnya, dia berangkat menuju warung makan ibunya sekitar jam 2, ya itu karena dia baru pulang sekolah sekitar jam satu siang, aku tahu ini karena aku pernah bertanya pada salah satu temanku yang kebetulan juga bersekolah di tempat dia bersekolah. Dua dia sering berjalan menuju sebrang jalan, kalau hal ini entah aku tak tahu apa sebenarnya yang dia lakukan mungkin mengantar pesanan atau mengambil tambahan bahan untuk dijual atau mungkin untuk ke toilet yang unik dari hal ini dia tak pernah memakai payung jika hujan turun, mungkin dia lebih senang berhujan-hujanan, entah aku juga tak tahu.

                Sore itu hujan turun seperti hari-hari sebelumnya, hari ini aku ada jam tambahan jadi pulang lebih sore, aku tak terlalu bersemangat saat akan menuruni bus yang kutumpangi, di luar hujan turun begitu derasnya hal lain yang mendukung mood ku begitu anjlok adalah aku lupa tidak membawa payung dan tidak memakai jaket, setelah turun dari bus udara dingin segera menyambut tubuhku sekejab badanku merasa menggigil, sungguh dingin sekali. Aku harus menyebrang jalan untuk menuju kios orang tuaku, namun dalam keadaan hujan deras seperti ini tak memungkinkanku untuk menyebrang jalan tanpa adanya payung, terpaksa aku menunggu di halte bus ini sampai hujan reda.
                Setahuku di halte ini hanya ada aku yang menunggu hujan reda, namun lamunan ku tersadar ketika ada sosok cowok yang tiba-tiba sudah berdiri disampingku, nafasku tiba-tiba tercekal. Dia .. iya benar dia .. dia yang selalu ku dambakan berdiri di sampingku, sungguh ada rasa tak percaya yang tiba-tiba menyelinab dalam hatiku, ku kedip-kedipkan mataku untuk memastikan jika dia memang benar-benar nyata bukan hanya imajinasiku, ada rasa bahagia yang membuncah dalam hatiku setelah aku sadar  memang benar-benar dia yang sekarang sedang berdiri di sampingku.
                Seseorang yang kuperhatikan sepertinya tersadar jika sedang ada yang memperhatikannya, dia menoleh ke arahku lalu tersenyum, hah dia tersenyum? Dia tersenyum kepadaku! Sungguh Tuhan jika ini hanya mimpi izinkan aku untuk sedikit lebih lama untuk memandang wajah manis itu.
                “Hai, kamu anaknya yang punya counter seberang jalan itukan?” tanyanya menyadarkanku untuk kembali ke dunia nyata. Seulas senyum masih menghiasi lekungan bibirnya.
                “Oh, hehe iya, anaknya Bude Sri ya?” tanya ku sekedar basi-basi.
                “Iya, kok tau sih?” tanya nya kemudian
                “Ya tau dong.” jawab ku sambil tersenyum
                “Hehe iyadeh, hujannya deras banget gak baik kalo nekat hujan-hujanan.” kata nya entah mengatakan untuk dirinya sendiri atau untuk ku.
                “Aku enggak suka hujan, hujan membuat semua jadi ribet, basah dimana-mana, dingin, dan susah mau main ke luar.” kata ku entah untuk apa aku mengatakan hal itu.
                “Aku suka hujan, suara rintikan hujan membuatku damai, basuhan rintikannya saat mengenai tubuh seakan meluruhkan seluruh beban dan masalah yang sedang menggumpal dan membuatku merasa segar kembali, dan aku merasa bahagia saat aku berhujan-hujanan seakan semua rintikan hujan itu menamaniku dan membuatku tak merasa sendiri.” dia menghela nafas. “Dan juga walaupun tidak selalu ada, tidak akan ada pelangi tanpa hujan kan?” jawabnya sambil menerawang melihat tetes-tetes hujan yang turun perlahan dari langit itu.
Aku terhipnotis oleh rentetan kata-kata yang keluar dari mulutnya, seakan itulah sepenggal sajak yang begitu indah, dan melupakan ketidaksukaanku pada hujan.
                “Aku menyukai langit, dengan memandang langit seakan aku dapat menyentuh awan, bintang, dan bulan yang jauh di sana. Aku seakan dipeluk oleh langit yang begitu luas yang menenangkanku dalam suasana yang buruk, dengan melihat langit yang begitu luas aku merasa bahwa masalah yang kualami hanyalah secuil kecil dibandingkan dengan luasnya langit itu.” Aku menghela nafas sekali untuk mengatur napasku yang berburu. “Langit selalu menemaniku saat tak ada teman disampingku, langit adalah hal indah yang menyimpan hal-hal yang mekjubkan seperti bintang, bulan, pelangi, awan putih yang bersinar cerah, dan langit jingga bersemu ungu yang menakjubkan.” Aku diam sesaat sambil menerawang. “Tapi entah aku tidak terlalu menyukai hujan, tapi jika kupikir-pikir hujan juga tak seburuk yang kupikirkan, jadi apa salahnya jika mencoba berdamai dengan hujan.” kata ku panjang lebar entah dorongan dari mana aku mengucapkan rentetan kata itu.
                “Wow, kata-kata mu sungguh mengagumkan. Aku juga menyukai langit, sungguh langit menyimpan begitu banyak keindahan.” katanya sambil tersenyum
Pipiku sedikit panas ketika dia memujiku, aku hanya tersenyum sambil memandangnya.
                “Hujannya udah mulai reda nih tinggal gerimis, gimana kalau sekarang kita menyebrang, sekalian merasakan sensasi berhujan-hujanan.” ajak dia sambil mengulurkan tangannya untuk merasakan tetes-tetes hujan yang mengenai telapak tangannya.
                “Iya ayo.” jawabku sambil mengangguk.

                Aku berjalanan beriringan di sampingnya menyusuri trotoar untuk menuju zebra cross sambil menikmati rintikan kecil yang membasuh wajah dan tubuhku, sungguh sensasi yang begitu membahagiakan yang belum pernah kurasakan berhujan-hujanan seperti ini, sekali lagi dia melempar senyum kepadaku, seketika pipi ku terasa panas dan aku takut jika tiba-tiba jantungku putus karena deguban jantungku yang begitu keras ini.
Kemampuan menyebrangku memang sangat payah, aku biasanya menunggu hingga jalan benar-benar safe untuk bisa dilaluli kadang aku menunggu hingga begitu lama. Dengan bantuan cowok yang berada di sampingku ini, aku tidak merasa kesulitan untuk menyebrang. Sesampainya di marka jalan tiba-tiba dia menggandeng pergelangan tanganku untuk segera menyebrang, karena kendaraan dari kejauhan terlihat ramai. Tubuhku serasa membeku ketika dia menyentuh pergelangan tanganku, jalan ku terasa seperti tersendat. Semoga dia tidak merasakan perubahan pada tubuhku, pikirku saat itu. Setibanya di trotoar dia melepaskan genggammannya.
“Makasih ya udah disebrangin.” jawabku seraya memberikan senyuman termanisku untuk menutupi rasa salah tingkah dalam diri ku.
“Hehe iya sama-sama.”
“Yaudah, aku duluan ya.” kataku meminta izin untuk segera pergi.
Dia hanya mengangguk sambil tersenyum. Sungguh manis sekali.

                Sejak kejadian itu semuanya berubah, yang pertama tidak saling mengenal kini kami sudah bisa saling bertegur sapa, mengobrol pendek, dan saling melempar senyum. Sungguh membuatku bahagia, rasa yang selama ini kusimpan rapat-rapat seakan lebih membuncah menyadari hal itu. Aku masih takut-takut untuk mengandai-andai apakah hubunganku dengannya dapat menjadi “kita” yang lebih serius. Aku takut jika itu hanya harapan yang terlalu tinggi dan sulit untuk kugapai, aku tak tau dalam bentuk apa dia menganggabku, sekedar teman biasa atau malah lebih. Tapi tak apa jika aku hanya bisa jatuh cinta diam-diam dan hanya bisa memendam perasaan sendirian, merasakan kebahagian yang hanya bisa kunikmati sendirian. Yang penting dia selalu di dekatku. Dia yang berbeda dari lainnya, dia yang sederhana--apa adanya, misterius, dan sulit ditebak.

                Hingga suatu hari cambuk pahit menyadarkanku bahwa aku tak boleh mengkhayalkannya begitu tinggi. Dia pergi tanpa ucapan pisah dan pamit. Dia pergi  dengan keadaan tak tahu siapa sebenarnya aku. Aku tak ingin perpisahan, tapi Tuhan berkehendak lain aku dan dia berpisah. Dia pergi, ketika aku mulai menyayanginya. Kepergiannya telah menyadarkanku bahwa aku tak perlu berharap terlalu tinggi. Rasa sakit ini begitu pedih dia menghilang tanpa kabar, menjelma bersama hujan.
                Dia kembali ke Palembang kakeknya sakit parah, neneknya tidak bisa mengurusnya sendirian, saudara-saudaranya banyak yang merantau keluar kota bahkan ke luar Sumatra. Dia amat menyayangi kakek dan neneknya mendengar hal itu dia buru-buru berkemas untuk kembali ke kampung halamannya. Setelah dia mendapat informasi itu, paginya setelah mendapat izin dari orang tuanya dan mendapatkan tiket dia bergegas berangkat menuju Palembang. Ya memang tidak ada kata perpisahan.

                Kini aku melewati hari yang berbeda, sudah tidak ada lagi dia. Melupakan sesuatu yang sudah mulai melekat bukanlah hal yang mudah. Dia pergi tanpa pamit. Dia menghilang tanpa mengizinkan aku jujur mengenai perasaanku. Dia pergi ketika aku mulai menata mimpi.
                Semoga aku segera merelakan dan mengikhlaskan. Inikah sakitnya perpisahan?

Kutulis kenangan ini setelah semusim kepergiannya, aku masih berharap dia kembali bersama hujan ataupun panas matahari sekalipun, satu hal yang perlu engkau tahu aku mencintaimu. Entah sampai kapan aku akan menunggu apa sampai musim kedua, musim ketiga, atau musim-musim selanjutnya aku akan tetap menunggumu, dan aku tak tahu kapan kamu akan kembali lagi…

Februari 2014

                

Keyword : Cerpen remaja, cerpen hujan
 

Girl in the Rain Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos